"Pak Arya adalah cucu pemilik yayasan yang menaungi Universitas Panca Satrya, dan Bu Mega yang hanya memiliki hubungan keponakan dengan pembantu dekan fakultas ekonomi, telah berani mengusik cucu sekaligus menyakiti cucu menantu pemilik yayasan." Hasan menggelengkan kepalanya berulang kali. Ia sendiri tidak sanggup membayangkan hukuman yang akan diterima Mega. Rudy benar-benar syok. Ia tidak pernah menyangka jika Arya yang ia kenal begitu rendah hati, dingin dan sedikit bicara itu ternyata cucu orang penting tempatnya bekerja. "Saya jadi khawatir. Selama ini saya sangat sering menggoda beliau, memperlakukan beliau seperti orang biasa," "Jangan begitu. Saya pun sama. Percayalah, setelah mengetahui kenyataan itu, lutut ini langsung lemas. Tulang ini serasa lepas dari tempatnya." Riski yang semula hendak berkonsultasi, memilih menyerahkan skripsi yang sudah direvisi lalu pamit undur diri. Kejadian hari ini memberi banyak informasi bagi dirinya. "Saya harus bertemu dengan Pak Ary
"Kalian sebenarnya siapa?" Dinda menatap tajam Fahri. Fahri tersenyum lalu tertawa kecil. "Kami ... sama seperti kalian. Tidak ada yang berbeda. Sama makan nasinya. Minumnya pun sama air putih dan terkadang kopi hitam atau teh hangat manis." Dinda mengerucutkan bibirnya. "Tsk. Bukan itu maksudnya." "Dahlah. Mending tanya Hunny Bee lu aja. Pasti mau jawab, nggak kek dia," sungut Mita. Arya melambaikan tangannya ke arah Dinda, diikuti oleh Hasan dan Rudy. Keduanya terkejut ketika melihat sosok Fahri yang tengah menatap mesra Mita. "I-itu ..." Rudy menunjuk ke arah Fahri. "Dia kakak saya. Pengusaha." "Ooh, dan itu bukannya .. itu ..." Mita menganggukkan kepalanya. "Hai, Pak Rudy." Mita menyapa dengan riang. "..." Rudy bingung. "Itu Mita, Pak Rudy. Di sebelahnya suaminya," terang Dinda ketika dirinya duduk di sebelah Arya. "Oooh." "Karena keberangkatan saya diundur bulan depan, jadi resepsi pernikahan kami dimajukan." "Hah? Beneran?" Dinda kaget. Dirinya sendiri tidak tah
Mega tidak juga beranjak dari tempat duduknya. Netranya masih terus menatap layar ponselnya yang masih terus menyala. Balasan yang ia tunggu dan nantikan tidak kunjung ia dapatkan. Emosinya mulai terpancing. Di benaknya mulai terbentuk rencana untuk menemui Si Mahasiswa Abadi yang besok lusa ikut maju sidang skripsi. Mega akhirnya tidak lagi dapat menahan kesabarannya. Ia langsung menekan nomor yang sejak tadi ia harapkan membalas pesannya. Nada panggil terdengar. Itu artinya nomor yang ia tuju aktif dan ponsel dalam keadaan hidup. Satu kali. Nihil. Mega mencoba lagi. Lagi-lagi tidak dijawab. Yang ketiga kali, panggilannya tidak juga diangkat. Mega lantas menghubungi Mona. "Berikan alamat bocah itu! Mengapa dia tidak juga menjawab pesanku??" Mega meluapkan seluruh emosinya, ketika panggilan yang ia buat untuk Mona, diangkat gadis itu. *Siapa yang Bu Mega maksud? "Mahasiswa yang tidak juga lulus itu. Siapa namanya? Jika begini, aku akan melakukan hal yang sama padanya, seperti
Dinda menatap sedih ke langit biru. Andai dirinya dapat menjelma menjadi seekor burung, ia ingin terbang tinggi mengelilingi pengunungan, turun ke lembah-lembah lalu terbang rendah saat dirinya berada di laut lepas. Hembusan angin pastilah dapat membawa pergi segala penat dan beban yang kini masih bergelayut mesra di benak dan pikirannya. Dinda sangat ingin menghapus semua kejadian buruk yang beberapa bulan ini menimpanya. Atau melenyapkan mereka-mereka yang sudah berani membuat hari-hari terakhirnya terasa begitu kelabu, hingga meninggalkan kenangan buruk dalam ingatannya. Ting. Notifikasi pesan masuk berdenting. Dinda buru-buru membuka ponsel dan mencari pesan yang baru saja masuk. Keningnya berkerut penuh keheranan karena pesan itu bukan pesan tulisan namun pesan suara dan video. Ia agak ragu untuk membuka setiap kali sebuah pesan yang berbentuk video dan suara, masuk ke dalam ponselnya. Terakhir kali video yang masuk ke ponselnya berisi video menjijikkan dari nomor tidak di
"Dan soal siapa Si Mahasiswa Abadi itu, saya sepertinya tahu siapa dia?" Dinda menatap Arya dengan penuh keyakinan. Arya merasa tegang seketika. Ia merasa jika sosok yang akan disebut Dinda ini adalah seseorang yang akan menjadi rivalnya dalam memenangkan perasaan Dinda, dan itu membuat dirinya merasa terancam. "Dia seorang pria?" Dinda mengangguk mantap. "Dia pria tapi kalian belum pernah bertemu satu sama lain. Dia sudah ada di sini lima tahun sebelum suamiku ini bekerja sebagai dosen muda di kampus. Saat Pak Arya mulai mengampu mata kuliah di kampus, dia hanya mengambil mata kuliah skripsi tanpa mengambil mata kuliah yang lain. Meski begitu skripsi itu pun tidak dikerjakannya, karena ia pesimis dengan hasil sidang jika dia maju sidang untuk ke sekian kalinya." Arya mendengarkan dengan seksama. Ujung-ujungnya, masalah sidang lagi. Ada apa dengan sistem pelaksanaan sidang di kampusnya? Apakah ada yang sengaja mempermainkannya hingga beberapa mahasiswa yang bernasib sial harus men
*Bu Mega! Lu tahu kan Bu Mega? Kenal Bu Mega'kan? "Iya. Kenapa dengan Bu Mega? Cepetan, deh. Penasaran tahu nggak, sih?" Dinda benar-benar tidak sabar. "Buruan cerita!" *Bu Mega ... Masuk rumah sakit. "Hah???!!!!" Ponsel Dinda terlepas dari tangannya. Teriakan kaget Dinda mengejutkan Arya yang sedang memakai deodoran. Ia bergegas menghampiri Dinda yang wajahnya kini begitu pucat. "Ada apa? Kenapa?" Arya mengguncang tubuh Dinda, setengahnya untuk menyadarkan Dinda yang terlihat begitu syok. *Halooo ... Halooo... Dindaaaaa! Yuda berteriak-teriak di ujung sana ketika ia mendengar suara brak, dan ia yakin jika ponsel sahabatnya sudah sukses mendarat di lantai. "Ada apa? Kenapa Dinda teriak syok seperti itu?" Arya mengambil ponsel Dinda, dan menjawab telpon Yuda. *Anu-Itu, Pak. Bu Mega - Bu Mega ... Yuda menjadi gagap sejenak. Ia tidak menyangka jika akan berbicara dengan dosen paling fenomenal di kampusnya itu. "Memang kenapa Bu Mega? Berbuat ulah apa lagi?" Nada suara Arya
"Ada apa sebenarnya? Soal sidang skripsi? Nilai atau apa?" Arya menatap Rudy yang kini mengajaknya ke komplek ruang dosen. "Ada yang harus saya tunjukkan kepada Pak Arya. Kita ke ruangannya Pak Hasan lebih dulu." Arya tidak lagi bicara. Ia terus menggenggam tangan Dinda yang makin ke sini makin dingin. Arya melirik Dinda. Wajah istrinya itu belum berubah. Masih pucat dan kali ini terlihat semakin cemas. "Mengkhawatirkan sesuatu?' bisik Arya, membuyarkan lamunan Dinda yang tidak-tidak. "Apakah itu dia?" Suara Dinda terdengar sedikit bergetar. "Pak Rudy. Apakah dia di sini?" "Siapa?" Arya kini menatap tajam Dinda. Ia jadi semakin mengkhawatirkan keadaan Dinda. Rudy terkejut. Dari mana Dinda tahu jika ada seseorang yang akan ia tunjukkan kepada Arya. "Mbak Dinda tahu dari mana?" "Yuda. Dia bilang kalau ada mahasiswa yang ditahan." Arya tidak menyangka jika istrinya itu mendengar pembicaraannya dengan Yuda. "Mbak Dinda tidak usah ikut masuk. Biarkan Pak Arya saja." Dinda mengge
Arya menatap wajah cantik istrinya yang masih terlelap. Dinda akhirnya jatuh pingsan dalam gendongan Arya. Ia tidak lagi ingat dimana ia berada. Yang ia rasakan hanyalah gelombang ketakutan yang melibas semua rasa percaya diri dan keberaniannya. Kata-kata jujur dari Denny membawa efek yang sangat menakutkan bagi dirinya. Dinda, masih tidak percaya jika Mega, yang notabene berjenis kelamin sama dengannya, telah menyuruh seseorang untuk melecehkannya, hanya demi rasa cintanya yang membabi buta pada seorang pria yang sama sekali tidak mencintainya. Arya terus mengusap punggung tangan Dinda, berharap sang istri segera sadar dari pingsannya. "Din!" seru Mita langsung tertahan ketika mendapati Arya secara reflek menoleh ke arahnya sambil meletakkan telunjuk di depan bibir. Beberapa menit yang lalu, Mita segera lari kocar-kacir dari kursi tempatnya duduk, ketika Arya mengabarkan perihal pingsannya Dinda di kampus. Ia baru saja tiba di kediaman Broto, menjemput suaminya, Fahri. Ia ingi