Suasana menjadi histeris saat Rani jatuh pingsan semua orang yang berada di acara itu berhambur menghampiri Rani."Rani!" teriak Asma mempercepat langkah kakinya. Sementara Abah yang duduk di samping Rani segera beranjak dari atas bangku menolong Rani."Ran, bangun Nak!" seru Abah menepuk pelan pipi Rani yang sudah tidak sadarkan diri."Ya Allah, Rani!" teriak Umi panik, butiran bening berlolosan membasahi pipinya. Tubuhnya limbung dan hampir ikut pingsan. Beruntungnya ada Ustaz Azhar dengan sigap menangkap tubuh wanita itu._____Hati Asma seketika hancur saat membaca isi dari amplop berwarna coklat yang seseorang berikan kepada Rani. Ia sekarang tau apa yang sudah membuat adiknya jatuh pingsan dan tidak sadarkan diri di hari pernikahannya."Ran!"Panggilan itu membuyarkan lamunan Asma. Dengan cepat ia menyeka air mata yang membasahi pipi. Ia tidak ingin lelaki yang menjatuhkan tubuhnya duduk pada bangku di hadapannya melihat kesedihannya."Bagaimana keadaan Rani ustaz?" tanya Asma p
Tubuh Asma dibasahi oleh peluh. Ia semakin gusar karena sudah setengah jam yang lalu belum ada satupun dokter ataupun suster yang keluar dari ruang ICU tempat Abah dilarikan beberapa saat yang lalu. Bahkan lampu yang berada di atas ruangan itupun masih menyala. Menandakan jika masih dilakukan tindakan di dalam ruangan."Sabar Asma!" lirih Ustaz Azhar yang duduk di samping Asma. Hanya lelaki itulah yang menemani Asma saat ini. Karena Umi kembali jatuh pingsan. Sementara Rani, tidak ada satupun orang yang memberitahukan kepadanya kejadian Abah yang mendadak terkena serangan jantung. "Tapi aku takut, Ustaz!" ucap Asma menatap dengan netra berkaca-kaca. Tubuhnya gemetaran, menahan ketakutan.Lelaki yang duduk di samping Asma menjatuhkan tatapan teduh. Meskipun ia tahu jika wanita itu kini sedang dilanda kegelisahan dan ketakutan yang amat sangat. "Kita doakan saja, semoga Abah dalam keadaan baik-baik saja," ucap Ustaz Azhar berusaha untuk memberikan energi positif pada Asma. "Amin, Ust
Kedua kaki Asma terasa lemas. Lelaki yang sudah menghilang hampir satu bulan itu kini kembali muncul di hadapannya. Namun gemuruh di dalamnya, seperti ingin meledak saat itu juga. Bisa-bisanya Wisnu membiarkan sendiri melewati masa tersulit di dalam hidupnya."Neng!" lirih Wisnu menurunkan tas yang berada di atas punggungnya di luar pintu rumah. Lelaki itu berjalan gontai menghampiri Asma yang mematung di dalam pintu rumah menatap datar kepadanya."Neng, maafkan Abang jika ...!" Wisnu meletakkan kedua tangannya pada bahu Asma. Dengan cepat wanita itupun menepis kasar tangan Wisnu yang berada di atas bahunya."Tidak ada yang perlu kita bicarakan lagi, Bang!" cetus Asma dengan netra berkaca-kaca. Gerimis yang sedari tertahan kini berjatuhan membahasi pipinya. Asma terisak, meluapkan semua sesak yang selama ini menganjal di dalam dada."Neng tunggu!" Asma melangkahkan kakinya cepat masuk ke dalam ruangan. Ia tidak ingin mendengar apapun yang Wisnu katakan kepadanya."Asma!" teriak Wisnu
Asma berjalan masuk ke dalam rumah. Ia sengaja pulang larut malam. Ia pikir, sesampainya di rumah, Wisnu tidak akan menemukannya. Tapi sayangnya, justru lelaki itu masih tetap terjaga, menunggu kepulangannya.Asma mengabaikan lelaki yang baru saja bangkit dari bangku ruang tamu rumah dan berjalan ke arahnya. Wanita itu berpura-pura acuh, meskipun sebenarnya ia tetap memperhatikan Wisnu."As, tunggu Asma!" Panggil Wisnu yang sama sekali tidak diindahkan oleh Asma. Wanita yang membawa Akbar dalam gendongannya berjalan cepat menuju kamar. Sedikitpun ia tidak menoleh pada Wisnu yang semakin mempercepat langkah kakinya, mengejar.Wisnu membuang nafas berat berdiri di ambang pintu menatap kepada Asma yang sedang membaringkan putranya di atas pembaringan. Wanita dengan bibir masam itu tidak lantas menghampiri Wisnu. ia berjalan menuju ke arah lemari seraya melepaskan kerudung yang menutupi kepalanya sejak tadi. Dari gerakan kasar tubuhnya, menandakan sebuah kemarahan."As, dengarkan dulu apa
"Tapi apa, Bang?" Asma mengeryitkan dahi, menjatuhkan tatapan penuh penasaran pada Wisnu yang bungkam dengan wajah berpikir."Kita harus tinggal di Jakarta, As!" Wisnu menjeda ucapannya. Ia tahu wanita itu pasti tidak akan menyetujui apa yang baru saja Wisnu katakan kepadanya."Itu tidak mungkin, Bang!" ucap Asma cepat.Dari wajahnya terlihat jika wanita itu tidak sejalan dengan apa yang Wisnu katakan. "Bagaimana mungkin aku meninggalkan Umi, Bang. Apalagi sekarang Abah sudah tidak ada," ucap Asma dengan nada lesu, menjatuhkan tatapan serius kepada Wisnu yang berdiri tidak jauh darinya.Asma berjalan ke arah sudut beranda rumah. Membuang tatapannya pada pemandangan lampu-lampu rumah yang memadati lereng bukit. Hampir menyerupai bintang-bintang."Aku tidak mungkin meninggalkan Umi Bang. Apalagi sekarang Abah sudah pergi, dan abang tahu sendiri kan, Rani, pernikahannya gagal." Asma menoleh ke arah Wisnu yang menatap kepadanya. Kekacauan tergambar jelas dari wajah Asma. "Bahkan sampai ha
Asma berlari tergopoh-gopoh menuju rumah yang berada di belakang Umi. Matahari memang sudah naik tinggi, tapi ia yakin jika Ustaz Azhar masih ada di rumah. Karena di setiap hari Jumat lelaki itu akan datang ke pondok pesantren di saat sore hari."Ustaz, ustaz Azhar!" teriak Asma di depan pintu rumah Ustaz Azhar dengan nada memburu, tanpa mengucapkan salam terlebih dahulu. Ia mengetuk pintu rumah Ustaz Azhar dengan keras."Asma, ada apa?" ucap wanita yang muncul dari balik pintu rumah. Ia terkejut melihat kedatangan Asma."Bu, di mana Ustaz ...!" Belum sempat Asma menyelesaikan kalimatnya lelaki yang mengenakan celana panjang longgar dan kaos ketat berwarna hitam muncul dari dalam kamar. "Ustaz, ustaz harus membantu saya!" seru Asma dengan nada memburu pada lelaki yang baru muncul itu."Ada apa, As?" Ustaz Azhar segera berjalan menghampiri Asma, memasang wajah panik."Rani, Ustaz, Rani!" cetus Asma memburu.Kerongkongan Asma seperti tercekik, ia tidak bisa menceritakan hal yang terja
"Apa?" Lelaki bertubuh tegap itu tercekat seketika. Kedua netranya membola penuh menatap pada Tuan Hamzah."Nyonya Nada meminta Tuan Wisnu untuk segera kembali ke Jakarta," imbuh Tuan Hamzah. Sekilas ia melirik pada Asma yang berada di samping Wisnu.Wajah' Wisnu semakin kacau. Ia menatap pada Asma yang diam mematung. Ia yakin wanita yang sudah menemaninya hampir beberapa tahun belakangan itu pasti mengerti dengan keadaan yang Wisnu alami. Setalah tau jika Ayah' mertuanya sedang di rawat di rumah sakit."Pergilah, bawa Asma bersama kamu. Biar Umi dan Ustaz Azhar yang menjaga Rani di sini," sela Umi seketika mengalihkan tatapan Asma pada wanita yang terduduk pada bangku tunggu di luar ruangan ICU."Tapi Umi!" Wanita berwajah lugu itu tampak tidak tega jika harus meninggalkan Umi sendirian di rumah sakit. Apalagi di saat keadaan Rani sedang tidak baik-baik saja. Namun di satu sisi ia juga tidak mungkin membiarkan Wisnu melewati masa sulitnya sendiri."Umi tidak apa-apa, As, nanti kalau
Suara mengaji terdengar sayup-sayup masuk ke dalam indra pendengaran Rani. Menyadarkannya dari ketidaksadaran yang ia pikir itu adalah adalah sebuah kematian dan dia telah berhasil mengakhiri hidupnya.Perlahan gadis yang terbaring di atas ranjang pasien itupun membuka kedua matanya. Menatap pada langit-langit kamar. Sejenak kemudian menatap pada wanita yang sedang mengaji di sampingnya."Umi!" batin Rani menghela nafas panjang. Ia pikir percobaan butuh diri yang ia lakukan telah berhasil dan saat ini dirinya sudah mati."Alhamdulillah, Rani!" Umi segera menyudahi membaca kitab suci Alquran yang berada di tangannya saat ia melihat Rani telah tersadar. "Kamu sudah sadar, Nak?" ucap Umi penuh haru. Namun yang ada justru gadis itu terisak semakin menjadi."Umi ... Hu ... Hu ...!" tangis Rani pecah."Ran, kenapa kamu, Nak? Apa yang sakit?" Wajah Umi berubah panik melihat Rani menangis kembali. Air mata berlinang membanjiri pipi gadis itu."Kenapa aku tidak mati, Umi," tangis Rani. "Aku ti