"Prims? Kamu di sini juga?" sapa Richard dengan mata yang berbinar senang."H-halo," jawab Prims dengan ragu. Menoleh pada Arley yang berdiri di sebelah kanannya.Sekilas pandang saja Prims tahu jika Arley tak suka dengan pertemuan ini. Apalagi dengan bola matanya yang berputar dengan malas dan enggan itu.'Bagaimana kalau Arley mengira aku dan Richard sengaja bertemu di sini?' batin Prims tidak tenang, sedikit banyak menanggung kepanikan."Kamu datang dengan siapa?" tanya dari Richard mengakhiri pemikirannya."I-itu ...." Menatap pada Richard, Prims bingung harus menjawab apa. Dia hanya takut salah berucap.Dan barangkali Arley tak akan suka jika Prims mengatakan dia datang ke sini bersama dengan suaminya, atau Arley tidak ingin membawa status pernikahan mereka ke depan banyak orang.Kebimbangan yang menyergapnya dikejutkan oleh Arley yang lebih dulu mengenalkan dirinya, "Denganku. Arley Miller, suaminya Primrose."Deg!'Dia benar-benar mengatakan suami?' batin Prims tidak percaya.N
“Tidak!” sanggah Arley dengan cepat menyadari kalimat Prims lebih terdengar seperti, ‘Anda sangat mesum, Tuan Arley!’Prims mengangkat salah satu sudut bibirnya mendengar sanggahan pria itu, tawa lirih ejekannya membuat Arley kembali mengelak. “Aku salah memilih film! Bukan film ini yang—” Arley berhenti bicara karena Prims membungkam mulutnya dengan sebelah tangan. “Ssshh ....” desis Prims dengan mata terpejam kesal karena Arley mengundang perhatian semua penonton yang ada di dalam sana dengan suara baritonnya yang menggema sangat keras.“Jangan bicara keras-keras,” lirih Prims hampir putus asa karena mereka menjadi pusat perhatian dari puluhan pasang mata yang sepertinya lebih tertarik dengan keributan mereka daripada film yang belum beranjak dari adegan dewasa di depan sana.Dan memandang tangannya yang tengah membungkam Arley membuat Prims sadar dia dalam masalah, ‘Oh astaga ... apa yang aku lakukan?!’ batinnya panik dan perlahan menarik tangannya dari bibir Arley.Mata pria itu
Prims terdiam, tenggelam dalam betapa membiusnya mata Arley yang menguncinya tepat setelah lengan kekarnya membuat Prims duduk di pangkuannya.Dan Arley memang benar jika rasanya nyaman, lebih nyaman ketimbang berdiri dan menggerutu merutuki sempitnya tempat di mana mereka berada ini.Prims terhening dengan tak melakukan apapun bahkan setelah menit bergulir, sibuk mencerna situasi yang menjeratnya secara tiba-tiba.“Kamu tidak akan mengambil fotonya?” tanya Arley yang membuat Prims sedikit terkejut. Dia menatap Arley yang wajahnya sekarang sedikit lebih rendah darinya.“T-t-tapi ini ....” gugup Prims dengan meremas tangannya yang terasa berkeringat. “Apa?” tanya Arley dengan kedua alisnya yang terangkat.“Apa tidak apa-apa aku duduk di sini seperti ini?” Prims sekilas menyentuh pipinya yang terasa semakin panas. Dia menghindari tatapan Arley yang tak beranjak dari irisnya sama sekali. Sedang pria itu tak berminat memberi Prims jawaban dan lebih memilih untuk mendesaknya, “Cepatlah!”
Hening menyergap, debar jantung menjerat hingga bibir terpasung tak bisa terucap. Prims menatap seringai dari salah satu sudut bibir Arley yang tertarik. Kilatan matanya menggoda Prims, menyudutkannya hingga tak bisa bergerak. Alisnya yang lebat terangkat sebelah saat dia sekali lagi bersuara. Kali ini bibirnya mendekat di telinga Prims. “Apapun pilihanmu, aku bisa mewujudkannya.” Kemudian dia menarik wajahnya dan mengamati setiap sudut wajah Prims sekali lagi. Prims menelan ludahnya gugup, berpikir bahwa ini bukan saatnya untuk termakan bujuk rayunya, apalagi diam dan menerima desakan. Setelah beberapa kesempatan sebelumnya Arley membuatnya salah tingkah, ‘Ini waktunya melawan,’ pikirnya menggebu penuh tekad. Alih-alih meremas tangannya guna meredam kegugupan, Prims justru mengangkat dagunya. “Ternyata benar yang aku katakan tentangmu tadi, Tuan Arley,” ucapnya dengan tawa lirih yang menyiratkan ejekan. “Apa?
“Wanita sepertimu tahu apa soal masalah begini? Jangan ikut campur kamu!” hardik Katie sekali lagi.Suaranya serak, menyiratkan kebencian yang besar. Menatap Prims dengan dadanya yang naik turun tak beraturan.Prims menghela napasnya, memberi beberapa detik untuknya tenang sebelum pelan-pelan mengatakan alasan dia bertanya seperti itu. “Maaf ... aku hanya ingin membantu saja, Nyonya.”Katie tertawa mendengarnya, dia mendengus semakin marah saat jari telunjuknya menuding Prims, menolak uluran tangan menantunya itu sekali lagi, “Kamu bukan di level kami untuk mengerti hal seperti ini. Jadi berhentilah mempermalukan dirimu sendiri!”Kemarahannya menggema di setiap sudut ruangan.
Hening dalam rasa kagum seketika menjalari seisi ruangan begitu Alice mengatakan bahwa dirinyalah si pemilik identitas Rosefiore sang pelukis legendaris yang namanya disanjung harum oleh semua undangan, tak terkecuali Katie yang masih belum mengalihkan matanya dari Alice sama sekali.“Sungguh itu kamu, Alice? Benar begitu, Profesor Mashe?”Netranya kemudian beralih pada Profesor Mashe yang terpaku di tempatnya berdiri.Bibir pria berambut putih itu bergerak samar namun tanpa suara. Tatapannya sejenak kosong mengarah pada satu titik sebelum mengedipkan mata sebanyak beberapa kali kemudian menjawab Katie dengan senyum simpul disertai sebuah anggukan“Astaga, Alice ... bagaimana aku harus berterima kasih padamu?” tanya Katie kembali memandang Alice dengan tangannya yang mengusap lembut pipi merona gadis itu. “Kamu memang luar biasa. Benar yang dikatakan orang di luar sana kalau kamu memang sempurna. Seperti inilah cara wan
Melihat Arley yang pergi dan meninggalkannya tanpa memberitahu keperluan apa yang dia lakukan di Fairmount Hotel membuat Prims memikul banyak pikiran.Harusnya Prims tidak perlu terbebani tentang hal ini. Ke mana Arley pergi, atau apa yang akan dia lakukan di luar sana, Prims tidak berhak mengaturnya, ‘kan?Dan bukankah ia harusnya sadar diri bahwa mereka memang tak sedekat itu untuk berpamitan atau mengatakan apa yang dilakukannya di luar sana?Prims meraba dadanya yang terasa sesak, “Kenapa hatiku sesakit ini?” tanyanya pada diri sendiri.Ia menunduk, menatap Persian rug di mana Arley berdiri di sana sebelumnya. Bau parfumnya yang maskulin masih tertinggal di sekitar Prims, sedang pemiliknya sudah dalam perjalanan untuk bertemu dengan wanita pilihan ibunya.Merasakan hatinya yang bergejolak, Prims menanyai dirinya sekali lagi, “Apa aku jatuh cinta padanya?” Yang jika hati kecilnya menjawab dengan ‘iya’ ar
Segala kata tertahan di bibir Prims, ingin dia luapkan teguran untuk keduanya yang seperti tidak memiliki beban saat berjalan berdampingan sekeluarnya dari dalam lift.Prims mengambil satu langkah ke depan, lisannya telah menyiapkan banyak tanya. Dari apa yang sedang mereka lakukan di sini, atau mengapa hanya mereka berdua saja?Namun, hal itu dia urungkan. Prims mempertimbangkannya sekali lagi. ‘Akan jadi apa nama baik keluarga Miller seandainya aku membuat malu Arley di sini?’Bukan hal yang baik jika dirinya memicu keributan dan menjadi konsumsi publik. Jika hal itu ia lakukan ... “Bukankah yang ada Nyonya Katie akan semakin membenciku?” gumam Prims dengan membuang napasnya.Kakinya dia minta untuk mundur teratur, ia memilih untuk menahan diri. “Sebaiknya aku tanyakan langsung pada Arley nanti kalau dia sampai di rumah,” lanjutnya mengambil keputusan.Barangkali ... itu adalah hal yang paling benar.Pri