"Marla babu! Bawain air hangat buat Yudha mandi!"
Teriakan seorang wanita paruh baya terdengar nyaring dari ruang tamu, membuat Marla yang saat itu sedang menyetrika pakaian terpaksa harus menghentikan aktivitasnya dan bergegas. “Lelet banget sih! Kalau dipanggil tuh langsung datang, jangan leha-leha!” “Maaf, Nyonya.” Makian dari ibu mertuanya hanya bisa membuatnya menganggukkan kepalanya. Marla tahu, tak peduli seberapa keras Marla memberikan pembelaan diri, ibu dari suaminya itu tetap akan menyalahkannya, dan akan semakin marah jika Marla melawan. Marla akhirnya bergegas, tergopoh-gopoh membawa air hangat menuju kamar mandi yang ada di lantai atas. Namun, belum sempat Marla masuk ke kamar mandi, Marla terpaksa menghentikan langkah kakinya kala tak sengaja mendengar suara aneh yang berselingan dengan suara percikan air dari kamar mandi. “Ah … Mas Yudha ….” Orang bodoh juga tahu, bahwa suara aneh itu adalah sebuah suara desahan wanita yang sedang berada di puncak kenikmatan. Tak hanya itu, Marla juga sadar, jika pintu kamar mandi sedikit terbuka, membuat Marla melihat terang-terangan perbuatan intim antara suaminya dan juga selingkuhannya. Detik itu juga, Marla amat terkejut, hingga dirinya tak sengaja menjatuhkan teko air panas ke lantai. Teko yang jatuh ke lantai menciptakan suara dentingan yang cukup keras, sehingga tak lama, ibu mertuanya dengan cepat menghampiri Marla yang masih menangisi apa yang baru saja dia saksikan. “Heh, dasar bodoh! Kerja gitu saja tidak becus! Diminta bawain air hangat buat Yudha, kamu malah jatuhin begitu aja!?” Makian dari ibu mertuanya seolah hanya menyebar ke udara, karena saat ini, Marla tak bisa berpikir atau menerima apapun, selain fakta bahwa suaminya sendiri, bersetubuh dengan wanita lain. “Ma-maaf, Nyonya, tapi .…” jawab Marla perlahan sembari tetap berusaha menahan tangis. “Tapi apa?!” “Mas Yudha .…” ucap Marla, jarinya menunjuk ke arah celah pintu kamar mandi di sampingnya. Tepat saat itu, Yudha dan selingkuhannya keluar dari pintu kamar mandi. Sang wanita dengan handuk kimono, sedangkan Yudha dengan handuk yang melekat di pinggangnya. Keduanya berjalan sembar tertawa kecil, seolah memamerkan kebahagiaan setelah apa yang mereka lakukan di kamar mandi. “Loh, Ma, kenapa ada di depan pintu?” tanya Yudha tak sedikitpun menunjukkan rasa bersalah. Pria itu justru menampilkan wajah berseri, seolah baru saja mendapatkan lotre hari itu. “Oooh, jadi bukannya nganter air hangat ke Yudha, kamu malah mengintip Yudha dan Kamilia? Dasar tidak tahu malu kamu, ya!” Mendengar ucapan dari ibu mertuanya, Marla kini sudah tak bisa menahan emosi yang membuncah di dadanya. Yudha adalah suaminya. Mengapa ibu mertuanya bertingkah seolah Yudha yang baru saja berselingkuh, bahkan bersetubuh dengan wanita lain, adalah hal yang normal? “Kamu jahat, Mas Yudha!” teriak Marla, mendorong bahu polos sang suami dengan sekuat tenaga. Marla merasakan amarah, kecewa, dan juga sedih yang bercampur menjadi satu. Dia tak percaya, suaminya bisa semudah itu selingkuh darinya. Marla juga merasa kecewa karena kepercayaannya kepada Yudha dan juga Kamilia disia-siakan begitu saja. “Dan kamu, Kamilia. Sebegitu mudahnya kamu menghancurkan pertemanan kita selama bertahun-tahun? Aku tak percaya kamu serendah itu.” Manik Marla kini menatap nyalang Kamilia, sahabatnya sejak ia tinggal di panti asuhan karena kehancuran perusahaan, dan kepergian keluarganya. Selama ini, Marla memang percaya begitu saja pada Kamilia yang berkali-kali datang ke kediaman mereka, dengan alasan Yudha yang selalu mengatakan ada urusan pekerjaan yang tak bisa dikerjakan di kantor. Tapi ternyata, semua hanya omong kosong. Keduanya berselingkuh, tepat di depan mata Marla. “Apa katamu?” Plak! Belum sempat Marla menjawab, tiba-tiba telapak tangan sudah mendarat di pipinya yang seketika memerah. “Beraninya kamu berucap seperti itu kepada Kamilia. Yang rendahan itu kamu, Marla!” Saat itu juga, Marla sudah tak mampu membendung air matanya yang sedari tadi ia tahan. Dia tidak peduli dengan rasa perih di pipinya, karena dia merasakan sakit di hatinya yang seakan dihancurkan berkeping-keping. ••••• "Mas Yudha?" Marla membuka mata, setengah sadar ketika merasakan beban di atas tubuhnya. Wanita itu mencoba mengingat memori beberapa jam sebelumnya, saat dia beragumen dengan sang suami, hingga menerima tamparan keras di pipi kanannya. Setelah itu, Marla lari, menangis sekeras mungkin hingga ia lelah dan tertidur. Kegelapan adalah satu-satunya hal yang menyapa penglihatannya di bawah deru nikmat yang perlahan merayap. Marla mengembuskan napas perlahan, mempertanyakan apakah mungkin sang suami menyesal? Hingga kini pria itu datang dan menginginkan hatinya kembali? "Mas? Apakah kamu akhirnya menginginkanku?" tanya Marla senada bisikan. Namun, tetap tak ada suara yang keluar dari bibir lawan bicaranya. Yang terdengar hanyalah suara kecupan bibir sang suami di leher, dan tubuh Marla. “Mas .…” Marla menahan desahannya agar tidak lolos. Dia takut apabila mengganggu tidur sang mertua yang kamarnya tak jauh dari kamar miliknya. Tak lama, Yudha langsung melucuti seluruh pakaian yang Marla kenakan. Bibir wanita itu dibungkam oleh ciuman panas yang memabukkan. Marla tidak mampu menolak, dia bergabung dalam permainan yang pria itu inginkan. Malam itu, Marla serasa berada di atas angin. Dia tidak pernah bercinta dengan Yudha hingga semenggairahkan ini. Dalam diam, Marla mengharapkan lebih. Akan tetapi, selepas satu permainan hebat, pria yang semula menindihnya itu terbaring lemah. "Mas Yudha, sebetulnya kamu masih mencintaiku kan?" Marla menambatkan pelukannya pada tubuh sang suami. Ciuman susulan kembali menghantam bibir manis Marla. Berlangsung selama lima degup jantung, pangutan tersebut terlepas dengan sendirinya. "Mas Yudha ...." Malam itu, merupakan malam paling indah yang sangat langka dalam hidup Marla. Dia berpikir, akhirnya pria itu luluh dan mau berhubungan dengannya lagi setelah sekian lama. Akan tetapi, Marla tidak menyadari bahwa dia akan bertemu dengan ombak paling ganas pada keesokan harinya.Pasangan Purnama tengah bercakap dengan rekan bisnis lain. Melihat kesempatan tersebut, Mariana meneruskan langkah ke arah Marla yang berdiri agak menepi. Selagi hidangan belum disajikan, sebenarnya Marla ingin sekali pergi keluar ruang naratama untuk mencari angin segar—sekaligus melarikan diri. Namun, sepertinya dia tidak akan bisa lolos dengan mudah. "Ternyata benar dugaanku. Kita akan bertemu di sini lagi, Nona Marla. Kamu terlihat cantik sekali," puji Mariana setengah hati dengan tatapan merendahkan. Tidak perlu diragukan, Marla bisa mengenalinya. Mariana seperti mengejek penampilan Marla yang tidak dalam balutan gaun mewah nan mahal seperti yang Mariana kenakan. "Kamu juga cantik sekali, Mariana. Jujur saja, aku menyukai gaya rambutmu malam ini." Balasnya. Alis kanan Mariana meninggi. "Benarkah? Yah, aku mengaturnya di salon sejak dua jam yang lalu, sekaligus melakukan perawatan rutin. Kalau seluruh tubuhku tidak dijaga dengan baik, apalah gunanya uang yang telah Ayah dan B
Marla telah mendapati sang suami menanti di meja makan, melahap makanan seraya memindai tablet yang terpampang pada sisi kanan piring pria itu.Entah kapan Arjuna pulang ke rumah, saking pudarnya kehangatan dalam hubungan mereka, Marla tidak tahu kapan suaminya pulang. Tidak seperti dulu, saat dia menunggu kepulangan Arjuna dengan hati berdebar, sekarang rasanya berbeda.Mau ditunggu, rasanya seakan-akan suaminya itu sengaja memperlambat diri pulang ke rumah. Alhasil, Marla jadi kelelahan sendiri hanya untuk menunggu kepulangan sang suami.Menarik napas perlahan, Marla memantapkan diri sebelum mengambil tempat di meja makan. Wanita itu berupaya untuk tak mencuri lirikan ke arah sang suami.Jujur saja, semalam tidurnya tidak nyenyak sama sekali. Bahkan, dia mendapati diri terjaga di tengah malam setelah bermimpi buruk.Tidak bisa dimungkiri, mimpi buruk itu datang lantaran dipicu oleh foto yang didapatkannya. Arjuna dan Julie. Sebetulnya apa yang mereka sembunyikan darinya?Apakah bena
Arjuna melirik arloji yang melingkari pergelangan tangan kirinya. Pria itu mendesah lelah, menyandarkan diri pada punggung kursi kerjanya.Seharian ini dia sudah dibuat kesal lantaran Yudha datang tanpa pemberitahuan ke rumahnya hanya untuk membujuk Marla lagi.Kening pria itu berkerut, tidak memahami mengapa sekarang Yudha ingin sekali kembali mengambil Marla, setelah dulu memperlakukan wanita itu semena-mena."Tuan, saya mendapat laporan dari mata-mata, semuanya berjalan sesuai rencana."Arjuna hanya mengangguk sekilas saat mendengar ucapan Julie. Seharusnya dia merasa puas atas segala sesuatu yang berjalan sesuai rencana. Namun, mengingat belakangan ini dia harus menjaga jarak dengan Marla meski sebentar, membuat suasana hatinya memburuk."Lalu, apakah sudah ada kabar dari si pengancam?" tanyanya dengan tangan mengepal erat.Mendengar pertanyaan tersebut, sepasang alis Julie bertaut serius. Bukan hanya Arjuna, tetapi Julie turut waspada akan si pengancam yang selama ini sedang meng
Marla tengah melayani salah satu pembeli saat dia mendapatkan pesan masuk dari nomor yang tidak dikenal. [Hai, Marla? Apa kamu tidak penasaran dengan seseorang yang sudah menjebakmu sehingga tidur dengan Arjuna malam itu? Ya, malam terakhir di mana kamu bermalam di kediaman Anugerah, seseorang menjebak kalian berdua.] Kening wanita itu berkerut, memindai kata-kata yang tersusun tepat di layar ponselnya. Kemudian, ditiliknya nomor asing yang tidak pernah diketahui sebelumnya itu. "Siapa pun yang mengirim ini, sepertinya dia mengetahui banyak hal tentangku yang tidak aku ketahui sama sekali." Marla menahan pergerakan ibu jarinya yang hendak melayangkan pesan balasan. Untuk sesaat, dia berdiam diri dengan mata berkedip gelisah. Haruskah dia menanggapi pesan tersebut? Bagaimana kalau semua itu hanya berupa tipuan belaka? Jangan-jangan pesan tersebut berasal dari Yudha? Mengingat pagi tadi, mantan suaminya itu telah menimbulkan keributan kecil di rumahnya. "Tapi ... Yudha tidak m
"Cepat bawa orang itu keluar dari sini!"Marla belum genap mencerna perkataan Yudha, ketika Arjuna datang dengan dua pengawal yang datang bersamanya. Sepertinya, suaminya itu sudah berada di perjalanan ke suatu tempat, terlihat dari setelan Arjuna yang cukup rapi seperti hari-hari biasanya.Yudha berdecak kesal, tak mengira jika Arjuna akan datang lebih cepat dari perkiraannya. Lantaran dia enggan diseret secara paksa, Yudha mengangkat kedua tangan tanda menyerah."Baiklah, baiklah, aku akan pergi dengan sendirinya, puas?"Meski Yudha berkata demikian, tatapan pria itu membuat Arjuna kesal bukan main. Sebelum Yudha memutar langkah, dia sempat bertatapan dengan Marla.Segaris kebingungan masih mendominasi wajah wanita itu. Marla ingin bertanya, tetapi yang ada malah memperlihatkan jika dirinya mudah terpancing oleh omongan Yudha.Tidak. Bisa saja Yudha sedang bermain-main dengannya. Bisa saja mantan suaminya itu ingin mengetahui seberapa bodoh Marla agar bisa ditipu untuk yang kesekian
Malam itu, Marla pulang lebih larut dari biasanya. Dia sudah mempersiapkan alasan bila Arjuna bertanya mengenai keterlambatannya, atas eksistensinya saat membantu Bu Sani di festival. Lantaran sudah telanjur tahu, Marla akan berterus terang saja soal rencananya yang ingin membangun cabang baru, tetapi atas namanya. Dia ingin memperlihatkan passion yang satu-satunya dimiliki. Akan tetapi, rumah dalam keadaan sepi, sunyi, senyap. Begitu meniliki garasi, mobil suaminya juga belum datang.Mengembuskan napas perlahan, Marla merebahkan diri di sofa. Berhenti sejenak selagi memutar kejadian hari ini.Tentu saja, kilas yang berisikan Arjuna dan Julie di festival tadi menjadi hantu nomor satu dalam pikirannya.Semakin lama, seolah-olah Marla tengah diejek oleh dunia, bahwa tempatnya memang bukan berada di samping Arjuna. Dia tidak ada apa-apanya dibanding Julie."Astaga, lagi-lagi pikiran semacam ini ...."Marla mendesah lelah, memijit pelipis dengan insekuritas yang kembali membayangi tiap
Mengatupkan sepasang kelopak mata secara perlahan, Marla menarik napas rakus. Lima degup jantung kemudian, wanita itu membuka mata, dengan manik yang tertuju pada sosok sang suami. Punggung tegap pria itu kian menjauh, tetapi tidak bersamanya.Di antara keramaian festival, Arjuna berjalan beriringan dengan Julie. Kini, menyisakan Marla yang menahan perih luka gores pada siku kanannya. Meskipun lukanya tidak seberapa besar—serta Bu Sani sedang membersihkannya agar tidak terkena infeksi, tetapi nyeri yang bersarang pada hatinya lebih terasa.Marla tidak bisa membohongi diri sendiri. Arjuna dan Julie kian menjauh, lalu tenggelam di antara keramaian festival yang seharusnya menjadikan dirinya penuh semangat. Tadinya memang seperti itu. Namun, kehadiran sang suami beserta Julie membuat pikirannya jadi kacau sebentar."Apa perlu ke puskesmas terdekat, Ipar? Barangkali saja kau membutuhkan pertolongan lebih lanjut?" tawar Revan, yang masih duduk dengan tenang sambil melirik ke arahnya.Marl
"Jadi, kapan kalian akan membayarnya? Setidaknya cicil sedikit, sebagai jaminan bahwa kalian akan benar-benar membayar utang yang sudah kalian perbuat itu."Yudha menggigit pipi dalamnya cemas, kemudian berkata sambil memasang senyum yang diramah-ramahkan. Sedangkan Kamilia, duduk di sampingnya dengan dagu terangkat tinggi, seakan-akan pembicaraan mereka tidak perkara utang dua pulih lima miliar yang tak kunjung lunas itu."Tunggu sebentar, Tuan Matthew," Yudha melirik putra sulung keluarga Mahagana itu dengan harapan mau mendengar kilahnya, "tenggat waktunya masih tersisa beberapa hari lagi sebelum menginjak satu bulan penuh."Matthew bersandar pada punggung kursi empuk kafe yang didatanginya, lantas memberi tanda bagi Yudha untuk meneruskan."Jadi, begini, kenapa kami harus repot-repot menyicil kalau tepat di akhir bulan nanti, kami bisa membayarnya tepat waktu? Dan sebetulnya kami cukup terkejut karena Tuan Matthew sendiri yang datang untuk menemui saya seperti ini. Seharusnya Tuan
Mendengar ucapan Arjuna, membuat Revan meninggikan salah satu alisnya. Namun, dalam dua detik pertama, pria itu tampak terkejut lantaran saudara tirinya membawa topik tersebut."Tidak biasanya kamu membahas soal Ayah, Bang. Ada apa ini? Apakah kamu mulai takut, kalau Ayah tiba-tiba saja berakhir di tangan seorang musuh?" timpal Revan, berupaya agar tetap tenang.Arjuna mendesah lelah, bersandar pada punggung kursi plastik yang dia dapat dari Bu Sani. Di sampingnya, Julie duduk dengan telinga terpasang lebar-lebar. "Bukan takut lagi," Arjuna memandang sosok Marla yang masih sibuk dengan para penikmat festival untuk beberapa saat sebelum melanjutkan, "tapi kenyataannya memang begitu. Tidak heran kalau tiba-tiba saja Ayah meninggal di tahan musuh dalam selimut."Revan tersenyum timpang, "sepertinya kamu mulai paranoid, Bang. Apakah itu hasil setelah lama menjadi montir biasa yang mampunya mengamati dari kejauhan, beberapa tahun ini?""Kamu tidak paham apa-apa, Revan. Dan satu lagi, kamu