"Kamu kenapa keluar? Kan udah mas bilang jangan keluar. Kenapa sih nggak nurut?" Ridwan tampak kesal. Andai tadi Rina tidak datang sudah bisa dipastikan dirinya bisa bicara dengan Hana. Walaupun hanya sekedar meminta maaf atas apa yang ia lakukan pada Hana. Namun, semuanya telah digagalkan oleh istrinya sendiri."Kamu mau apa dekat-dekat sama dia? Ingat, Mas! Kamu itu sekarang milikku. Memangnya kamu mau kalau semua orang disini tahu kalau ternyata kamu itu dulunya pernah punya hubungan spesial dengan Hana, hmm? Mau kamu gitu?" ujar Rina dengan suara yang tinggi. Ia tak bisa mengontrol nada bicaranya."Rina, kecilkan suara mu! Ini di rumah orang, bukan di rumah kita," ucap Ridwan yang hampir keteteran dibuat sang istri. Ia melihat keadaan sekitar, untungnya tidak ada yang memperhatikan mereka. Buru-buru Ridwan membawa Rina menjauh dari tempat acara itu."Aauh sakit, Mas." Rina menghempaskan tangan Ridwan yang dengan kuat mencekal pergelangan tangannya.
Rayhan langsung menarik kalung itu dari leher Hana, hingga Hana tersentak dari tidurnya."Mas, kamu ngapain?" Hana terlonjak dari tidurnya dan langsung meraba lehernya. Terasa sakit dan perih di beberapa bagian. Kalung itu sudah berada dalam genggaman Rayhan dan sedikit menjuntai."Memang ya kamu itu nggak tahu berterima kasih. Udah bagus diangkat derajatnya sama kami, tapi apa balasan kamu? Beginikah?" Rayhan mengangkat kalung itu ke hadapan Hana. Sementara Hana mematung melihat itu."Mas, itu kalung ...," kata-kata Hana terhenti saat Rayhan dengan kasar menarik tangan Hana keluar dari kamarnya."Ikut saya! Kamu harus jelasin ini sama orang tua ku. Dari mana dan bagaimana kalung ini ada di kamu. Dasar pencuri bermuka baik." Rayhan terus menarik pergelangan tangan Hana menuruni anak tangga dan terus-menerus mencibir, melontarkan kata-kata kasar hingga Hana merasa tak punya harga diri dibuatnya."Mas, lepasin! Sakit." Hana berusaha melepaskan cekalan tangan kekar Rayhan dari pergelanga
Seperginya para lelaki di rumah ini, Inggit mengajak Hana untuk pergi ke klinik kecantikan. Keduanya menghabiskan waktu memanjakan diri di sana. Hana pun mulai terbiasa berada di sana, meski awal-awalnya ia merasa jenuh tapi setelah melihat perubahan pada dirinya, ia merasa puas.Tepat jam tiga sore, Inggit juga mengajak Hana membeli beberapa keperluan pribadinya. Tak lupa Inggit membeli kan skincare untuk Hana.Hana yang merasa ini semua berlebihan tak bisa protes. Karena dari awal Inggit sudah menjelaskan bahwa Hana bukan lagi dianggap sebagai menantu tapi lebih dari itu. "Ma, apa ini nggak berlebihan? Ini sama aja kayak pemborosan, Kan?" Hana sedikit protes karena uang yang dikeluarkan Inggit untuk belanja keperluan pribadi Hana cukup pantastis."Sayang, kita ini perempuan memang tugasnya ngabisin duit suami, kan? Kalau bukan kita yang habisin siapa lagi dong? Udah kamu jangan nggak enakan gitu ya! Lagian kan nggak setiap hari juga kita kayak gini. Udah yuk kita pulang! Sebelum p
Seperti pagi biasa. Keempat orang itu tengah berada di satu meja makan. Rayhan dan yang lainnya masih menikmati sarapan. "Papa udah kirim tiket buka madu kalian ya! Papa harap sewaktu pulang nanti ada kabar gembira dari kalian. Semoga papa dan mama segera punya cucu dari kamu," ucap Adnan disela-sela makannya.Rayhan yang sedang fokus menyuap nasi malah terbatuk-batuk mendengar penuturan sang ayah, "uhhuuuuk ... Uhhuuum." Buru-buru Rayhan mengambil air minum yang ada di depan Hana. "Pelan-pelan dong, Ray! Masa gitu aja keselek sih. Lebai deh," sambung Inggit. Rayhan tidak mengada-ada, ia merasakan sakit sungguhan."Pa, Rayhan masih sibuk di kantor. Dan dalam beberapa Minggu kedepan bisa di pastikan Rayhan bakalan lembur terus. Kan papa tahu sendiri, kita bakal buka cabang pabrik di Malaysia dan Singapura. Jadi butuh ekstra kerja keras, kan?" Rayhan mencoba mencari alasan yang tepat agar dirinya tak perlu berbulan madu dengan Hana."Masalah itu kamu nggak usah khawatir! Anak buah papa
Sebenarnya apa sih maunya Anisa ini? Dia terlihat masih begitu mencintai ku, tapi kenapa sangat sulit bagi dia mengatakan bahwa Dito itu anak ku. Aku tahu dia tak pernah menikah semenjak kepergiannya itu. Apa sebenarnya alasannya?Andai dia bisa jujur, bicara kalau Dito itu memang anakku, aku nggak akan segan menikahinya dan mencari cara supaya bisa pisah sama Hana. Karena dengan Hana pun aku sama sekali nggak bahagia. Nggak akan mungkin kami bisa hidup bahagia tanpa cinta dan kasih sayang di dalamnya.Sebelum aku mencari tahu sendiri tentang siapa ayah Dito sebenarnya, aku akan berdamai dulu dengan Hana. Aku akan bersikap baik dengannya agar suatu hari dia bisa menerima keputusanku untuk tak lagi bersama.Hari ini aku merasa lelah hati, aku memilih untuk pulang ke rumah dan beristirahat. Namun, tak juga bisa memejamkan mata. Tiba-tiba, terbesit dalam pikiran untuk pindah rumah saja. Yah, aku merencanakan untuk hidup berdua saja dengan Hana di rumah kami. Dengan begitu aku akan lebih l
Mas Rayhan membawa ku pindah dari rumah orang tuanya. Rumah yang lebih kecil dari rumah papa, tapi begitu asri dan nyaman tentunya."Ngapain ngikut ke sini? Kamar kamu di sana. Bukan di sini. Jangan harap saya masih mau tidur sekamar sama kamu lagi. Ingat di sini kamu nggak perlu nyiapin apapun keperluan ku. Sudah sana pergi!" Meski mas Rayhan sudah sering melontarkan kata-kata kasar seperti itu dan aku sudah biasa tetap saja hatiku sakit.Aku pun menarik koper berisi pakaian ku ke salah satu kamar yang ada di lantai satu ini. Namun sebelum aku sampai di kamar itu, langkahku terhenti saat mendengar suara ketukan pintu utama rumah ini.Tok tok tok"Permisi," suara yang tak asing bagi ku, aku melihat ke lantai atas, siapa tahu mas Rayhan mendengar dan langsung menemui orang yang ada di luar sana. Namun, sepersekian menit, mas Rayhan tak kunjung muncul."Hmmm," menghembus napas panjang dan mulai berjalan untuk melihat siapa yang datang.Sesuai dugaan ku, dialah bang Ridwan. Lelaki yang p
"Oh rupanya si Ridwan itu mantan kamu, pantesan" ucap mas Rayhan saat mobil ini baru saja melaju. Sontak aku terkejut dibuatnya."Tahu dari mana?""Nggak perlu tau kamu saya tahu dari mana. Yang jelas kalian pasti udah ...,""Udah apa, Mas? Nggak usah mengada-ada,"ucapku lantang. Enak saja dia ingin menuduhku yang tidak-tidak. Memangnya aku ini wanita murahan, hmm? "Yah memang apa lagi yang lelaki dan perempuan dewasa lakukan selain ...,""Selain apa?" ku patahkan terus ucapannya, aku sudah mulai geram dibuatnya."Stop di sini! Stop!" pekikku. Mas Rayhan pun menghentikan laju mobilnya. Memberhentikannya di tepi jalan. Kebetulan di jalanan sunyi.Aku bangkit dari dudukku dan mencoba meraih kerah baju mas Rayhan. Membuka satu persatu kancing kemejanya."Hana, jangan gila kamu! Mau apa kamu ini?"Mas Rayhan menepis tanganku. Namun aku tak putus semangat. Kembali aku membuka kancing kemeja itu."Jangan kurang ajar, Hana!" sentaknya."Kamu kan yang udah ngajarin aku buat kurang ajar, sek
Selesai makan malam, kami terlibat obrolan di ruang keluarga.Mas Rayhan duduk di sofa yang sama dengan mama, sementara aku duduk berseberangan dengannya."Gimana, Ray? Udah di atur belum jadwal bulan madunya? Mama sama papa udah nggak sabar pengen punya cucu dari kalian," ujar mama sambil mengelus punggung tangan mas Rayhan yang kini berada di pangkuannya.Aku dan mas Rayhan saling pandang. Tak tahu harus berkata apa, karena memang sampai saat ini aku sama sekali belum di sentuh olehnya. Entah lah mungkin mas Rayhan belum selesai dengan kisah masa lalunya. Cukup sadar dan tahu diri saja siapa diri ini, mungkin inilah resiko menikahi tanpa cinta."Yah, sabar aja dulu, Ma! Kan nggak harus bulan madu kalau untuk pengen punya cucu. Di rumah juga kan bisa. Iya, kan?" Tika menimpali. Mas Rayhan tampak mengangguk kecil seakan membenarkan ucapan adik perempuannya itu."Iya juga sih," jawab mama dan itu membuat perasaan mas Rayhan lega. Itu tampak dari raut wajahnya. Ia membuang pandangan k