“Tega kamu sama aku? Kamu tahu kan Mas Tio itu suamiku? Ayah dari Arlan dan Echa? Aku gak nyangkaa.” “Sayang, dengerin aku dulu yaa ….” “Surat cerai biar aku yang urus. Aku pastikan hak asuh Arlan dan Echa jatuh ke tanganku!” — “Kenapa sih kamu selalu merebut kebahagiaan akuu? Udah bagus kamu ngajuin gugatan cerai, kenapa milih rujuk sama Mas Tio?” “Kamu gak tahu malu yaa? Memangnya kamu saja yang muak? Aku juga muak. Gak tau diri. Kamu ngaca! Kalau bukan karena aku yang maksa Bunda dan Papa untuk merawat kamu, kamu bukan apa-apa sampai hari ini.” “Kamu ….” “Apa? Aku kurang baik apa sama kamu, hah? Semua aku kasih. Perhatian, kasih sayang, harta, aku kasih semua buat kamu. Tapi apa balasannya? Kamu main sama suami aku dibelakang aku, Harena!” — “Melanjutkan perjalanan dengan motor yang cacat, atau berhenti untuk mencari kendraaan lain supaya bisa lebih nyaman dan aman untuk kembali melakukan perjalanan.” --Zandi Hariztaza. – Cindya Aurelia Yasya, perempuan cantik yang lebih menyukai berpakaian sederhana, ia terlahir di keluarga cemara dan sangat berkucupan dalam segi materi. Perempuan itu memilih untuk menikah dengan Dharmatio Satya, seorang laki-laki yang telah menyelamatkan nyawanya. Laki-laki yang menurutnya baik dan sayang kepadanya, ternyata semua itu manipulasi. Zadin Haristaza, yang merupakan sahabat Cindya pun turun tangan dan menggunakan celah tersebut untuk merebut Cindya, membawa kembali cinta pertamanya
View MoreCindya tertegun dengan pemandangan yang terpampang di depan matanya. Jantungnya berdegup lebih kencang daripada biasanya, mencoba mencerna apa yang baru saja dilihatnya. Dharmatio—suaminya—dan Harena—adik perempuannya—sedang berpelukan di ruang tamu. Situasi ini membuat otaknya berputar dengan berbagai pertanyaan yang sulit ia abaikan.
“Mas Tio ….”
Dharmatio dan Harena sama-sama terkejut melihat kehadiran Cindya. Wajah Harena pucat seolah ingin menjelaskan sesuatu, sementara Dharmatio dengan segera melepaskan pelukannya, tetapi tetap memandang Harena dengan ekspresi khawatir. “Kamu baik-baik saja, Harena?” tanya Dharmatio dengan nada lembut, memastikan kondisi Harena.
Cindya yang berdiri di ambang pintu memicingkan mata, membuat suasana semakin berat. Ia melangkah mendekati mereka dengan langkah yang mantap namun perlahan, kedua tangannya terlipat di depan dada. Ekspresi wajahnya sulit dimengerti—gabungan antara kecewa, bingung, dan kesal.
“Harena, kenapa kamu ada disini? Dan kamu, kenapa kamu ada di rumah pada jam segini?” tanyanya dengan suara tenang tetapi penuh tekanan.
Harena segera mengangkat tangan, seperti ingin menjelaskan, tetapi mulutnya tidak segera mengeluarkan kata-kata. Sementara Dharmatio mengambil langkah ke depan, mencoba menjembatani suasana yang tegang itu. "Cindya, aku bisa jelaskan," katanya dengan nada hati-hati.
Cindya menatap suaminya tanpa berkedip, menunggu jawaban yang jelas. “Aku menunggu penjelasanmu,” katanya dengan nada lebih rendah, meskipun hatinya sedang bergolak.
Dharmatio menarik napas panjang, lalu mengarahkan pandangannya ke Harena, memberikan isyarat agar adik iparnya membantu menjelaskan. Harena, yang terlihat gelisah, akhirnya berbicara. "Kak, aku datang ke sini karena aku butuh bantuan. Aku merasa tertekan akhir-akhir ini, dan aku tidak tahu harus bicara dengan siapa. Aku pikir Mas Tio ada di rumah, jadi aku datang ke sini," katanya, suaranya sedikit gemetar.
Cindya tetap memandang mereka bergantian, masih mencoba menilai kejujuran dari kata-kata Harena. "Terus, kenapa kalian berpelukan?" tanyanya lagi, menajamkan tatapannya.
Dharmatio segera menjawab. "Harena tadi menangis, Sayang. Dia menceritakan banyak hal yang membuatnya merasa tertekan. Aku mencoba menenangkan dia, dan dia spontan memelukku. Itu saja."
Harena mengangguk cepat, mencoba mendukung penjelasan Dharmatio. "Itu benar, Kak. Aku hanya merasa sangat sedih, dan aku tidak tahu harus bagaimana lagi."
Cindya menghela napas panjang, mencoba menenangkan pikirannya. Meski penjelasan mereka masuk akal, masih ada rasa ganjil yang belum hilang dari hatinya.
"Lain kali, Harena, kalau kamu merasa tertekan, aku harap kamu bisa langsung bicara padaku. Aku selalu ada untukmu,” ucap Cindya kepada Harena yang diangguki oleh perempuan dihadapannya saat ini, lalu atensinya kini beralih menatap suaminya. “Aku ingin kamu memberitahuku jika sesuatu seperti ini terjadi. Kita adalah keluarga, dan aku ingin semua hal terbuka di antara kita," tambahnya dengan nada tegas namun lembut.
Dharmatio mengangguk penuh penyesalan. "Aku mengerti, Sayang. Aku seharusnya segera memberitahumu."
Harena mendekati Cindya, memegang tangannya dengan penuh rasa bersalah. "Aku minta maaf, Kak. Aku tidak bermaksud membuatmu marah atau merasa tidak nyaman."
Cindya menatap Harena dengan mata yang mulai melunak. Ia menarik napas dalam-dalam, lalu mengangguk perlahan. "Baiklah, aku percaya kalian. Tapi aku harap kedepannya, kita bisa saling terbuka tanpa ada kejadian-kejadian seperti ini."
Suasana perlahan kembali tenang, meskipun hati Cindya masih menyimpan sedikit keraguan. Namun, ia memilih untuk percaya dan melanjutkan hari-harinya, memupuk komunikasi yang lebih baik di antara mereka semua.
*
Keesokan paginya, langkah Cindya terasa ringan menuju ruang makan, tetapi langkah itu mendadak terhenti ketika ia melihat pemandangan yang tak terduga. Di meja makan, hanya ada Dharmatio dan Harena. Suaminya sedang menyuap Harena dengan potongan kecil buah, dan Harena tertawa kecil sambil menerima suapan itu. Keceriaan yang terpancar dari keduanya terasa janggal di mata Cindya.
“Kaliann ….”
Hati Cindya mencelos. Ekspresi wajahnya segera berubah menjadi datar, tetapi matanya mencerminkan sorot penuh kecurigaan. Tanpa sepatah kata, ia melangkah mendekati mereka. Kedua tangannya terlipat di depan dada, langkahnya mantap tetapi perlahan. Kehadirannya langsung menyita perhatian mereka berdua.
Dharmatio yang tadinya sedang tersenyum kini tampak kaget, buru-buru menjauhkan tangannya dari Harena. Harena pun terlihat gugup, memalingkan wajah seperti seseorang yang ketahuan melakukan sesuatu yang tak seharusnya.
Momen itu seperti adegan dalam film, di mana seseorang tertangkap basah. Ruangan yang tadi penuh tawa tiba-tiba menjadi sunyi, hanya ada bunyi jam dinding yang berdetak.
"Selamat pagi," ucap Cindya dingin, matanya bergantian menatap Dharmatio dan Harena. Suaranya tenang, tetapi ada tekanan yang tidak bisa diabaikan.
"Ah, iya … pagi, Sayang," jawab Dharmatio dengan senyum canggung, mencoba mengubah suasana yang jelas sudah berubah aneh. Ia berusaha terlihat santai, tetapi nada bicaranya mengkhianati kegelisahannya.
"Harena baru saja datang dan kami... hanya sedang sarapan bersama," tambah Dharmatio, sambil melirik Harena seolah meminta dukungan.
Harena langsung angkat bicara, suaranya terdengar tergesa-gesa. "Benar, Kak. Aku hanya... aku hanya mampir sebentar karena aku harus ke kampus nanti," ujarnya, tetapi tangannya yang memegang sendok sedikit gemetar.
Cindya memicingkan mata, tetapi ia tetap berdiri di sana tanpa berkata sepatah kata pun, mengamati keduanya dengan cermat. Dadanya terasa sesak, pikirannya bergejolak dengan pertanyaan yang tak bisa ia abaikan. Tapi kemudian, ia menarik napas panjang, mencoba meredam emosi yang hampir meledak.
"Aku harap aku tidak mengganggu momen kalian," ucap Cindya akhirnya, dengan nada yang terdengar lebih menyindir daripada ramah. Ia berbalik menuju dapur, tanpa menunggu jawaban dari keduanya.
Di dapur, Cindya menenangkan pikirannya sambil menuangkan segelas air. Bagaimanapun, ia adalah seorang istri sekaligus kakak yang menginginkan keharmonisan keluarga. Dengan hati yang berat, ia memutuskan untuk tidak memperpanjang masalah ini—untuk saat ini.
Beberapa saat kemudian, Cindya kembali ke ruang makan dengan wajah yang dipaksakan tenang. "Aku ingin ini jelas, Harena. Aku tidak keberatan kamu sering ke sini, tetapi jika ada sesuatu yang perlu aku tahu, aku harap kamu dan Dharmatio berbicara langsung kepadaku," ucapnya tegas, pandangan matanya tajam menembus keduanya.
Dharmatio menunduk sedikit, wajahnya menunjukkan rasa bersalah. "Tidak ada apa-apa, Cindya. Aku janji. Harena hanya adik ipar yang membutuhkan dukungan. Tidak ada yang lebih dari itu," katanya pelan, tetapi suaranya terdengar tulus.
Harena juga segera angkat bicara. "Aku minta maaf, Kak. Aku tidak bermaksud membuatmu merasa tidak nyaman. Aku hanya mencari kenyamanan, dan aku merasa Mas Tio adalah sosok yang bisa mendengarkan," ujarnya, wajahnya terlihat menyesal.
Cindya mengangguk perlahan, meskipun hatinya masih terasa berat. "Baiklah. Aku percaya kalian, tapi aku tidak ingin ada situasi seperti ini lagi. Jangan buat aku harus terus merasa curiga."
Hari itu berlalu dengan keheningan yang lebih dalam daripada biasanya, tetapi Cindya mencoba untuk mempercayai suami dan adiknya. Namun, jauh di lubuk hatinya, ada luka kecil yang mulai terbentuk. Ia berusaha keras untuk tidak membiarkan luka itu tumbuh menjadi sesuatu yang lebih besar.
“Om beneran ke apartementnya Harena?” tanya Zandi to the point, ia duduk di sisi kanan Hergantara yang menganggukkan kepala santai. Kedua matanya bertemu tatap dengan kedua mata pria setengah paruh baya yang merupakan papa dari sahabatnya-Cindya-.Hergantara memberikan gelas kecil yang berisi alkohol, dan diterima oleh Zandi yang tidak langsung meneguknya. “Kamu tahu darimana pin unit apartement Harena?” tanyanya, menaikkan sebelah alis bingung.Hergantara bisa masuk ke dalam unit apartement yang disewakan oleh Dharmatio untuk Harena berkat Zandi. Ia tidak tahu pinnya, sebelum masuk lebih dahulu bertanya kepada Zandi. Zandi dengan senang hati memberitahukannya.Zandi tersenyum penuh arti, “Aku tahu segalanya, Om. Jadi kalau Om butuh informasi, bisa tanya ke aku. Nanti aku kasih tahu secara detail,” tuturnya menaik-turunkan kedua alisnya lalu terkekeh.Pemuda itu meneguk hingga tandas minuman yang diberikan olehh Hergantara kepadanya. Kebetulan malam ini sedang kosong, dan mendapatkan
Dharmatio melangkahkan kaki mendekati Cindya dan Arlantio yang duduk di salah satu bangku taman, sedangkan Echa berada dalam gendongannya. Bayi perempuan itu sangat tenang, tidak marah-marah atau rewel saat diajak ke taman.“Abang mau ice cream?” tanya Dharmatio, membuat putranya itun mendongak dan bertemu tatap dengannya. “Papa beliin,” lanjutnya.Arlantio menganggukkan kepala, “Aku mau satu. Bunda mau?” tanyanya kepada sang bunda yang bergumam pelan, lalu menggelengkan kepala sebagai jawaban ‘tidak’. Ia mengangguk-anggukkan kepala, kembali memperhatikan papanya yang sedang menatapnya dengan senyum kecil.“Berarti satu, kalau Papa mau, dua. Aku mau rasa coklat,” tuturnya.Dharmatio mengacungkan jempol ke udara, “Oke sebentar. Papa belikan.” Ia segera melenggang pergi bersama dengan Echa yang berada dalam gendongannya tanpa kain atau semacamnya, benar-benar menggendong dengan tangan kosong.Sepeninggalan Dharmatio, kini tinggal Cindya dan Arlantio yang saling menatap satu sama lain. T
PRANG!“ARGHH! SIALANN!”Harena melempar sembarang vas bunga, membuat vas bunga tanpa motif itu terpecah di lantai. Nafasnya naik turun, tangan kanannya menggenggam benda pipih yang dicengkram kuat, bahkan tidak peduli jika nanti benda itu akan rusak dan melukai tangannya.“Cindya lagi … Cindya lagi ….” monolognya, lantas melangkahkan kaki ke arah balkon dan duduk di kursi santai yang sudah tersedia di balkon.Perutnya semakin buncit, sangat terllihat bahwa dirinya sedang hamil. Ini rencananya, tetapi membuatnya kesusahan. Tidak bisa kemanapun yang ia suka, kegiataannya hanya dilakukan di apartement.Bosan di unit apartement? Pergi ke taman, ke kantin, tempat olahraga seperti gym yang ada di lantai satu. Paling jauh? Ke tempat syuting Dharmatio. Jarak yang cukup jauh, ditempuh sendirian olehnya, dan menginap di hotel yang berada di dekat tempat lokasi syuting.“Percuma menjadi istri kedua, kalau tetep menjadi yang kedua,” kesalnya, lalu berdecak.TING TONNGSuara bel membuat perhatian
Arlantio membuka pintu kamarnya dengan perlahan, mempertajam indra pendengarannya. Ia melangkah keluar dari kamarnya dengan langkah pelan ke arah kamar yang ada sedikit jauh dari kamarnya, terhalang dua kamar darinya.“Iya. Aku ke sana. Tapi nanti yaa, aku baru sampai rumah.”Suara itu semakin jelas ditelinga bocah laki-laki yang saat ini berdiri tepat didepan kamar yang memang tidak ditempati oleh siapapun, terkecuali ada keluarga besar yang datang dan menginap. Kamar itu akan digunakan oleh tamu.“Kita sudah hampir setiap hari bertemu, dan your baby juga sudah aku manja. Kamu nuntut apalagi?”Tubuh Arlantio menegang setelah mendengar penuturan yang baru saja diucapkan oleh papanya itu. Dharmatio tadi malam sudah kembali ke rumah selama satu bulan lebih satu minggu tidak ada di rumah, alasannya ada syuting yang harus dihadiri di luar daerah.Arlantio sudah bisa menebak yang sedang telfonan dengan papanya itu, wanita yang sangat ia tidak sukai sejak pertama kali wanita itu datang. Dir
Hergantara menatap cucunya yang kini tertidur di kedua pahanya, tangannya terangkat mengusap puncak kepala bocah laki-laki yang sangat terlihat jelas sedang kelelahan. Ia menghela nafasnya perlahan.Setelah obrolannya dengan Arlantio dua jam yang lalu, membuat Hergantara berfikiran untuk mengirim Harena ke luar kota, tetapi jika difikirkan kembali, tidak ada manfaatnya. Dharmatio akan tetap menemui Harena.Hergantara sengaja menutupi informasi ini dari putrinya, lebih tepatnya ingin menjaga mental Cindya. Selalu bersama dengan Cindya dan kedua cucunya, bergantian dengan Arcinta-istrinya- dan Zandi.“Kamu terlalu dini untuk mengetahui urusan orang dewasa, Arlan,” monolognya. Kalimat itu seharusnya ia katakkan beberapa jam yang lalu, tetapi lidahnya kelu, bibirnya terkunci rapat. Syok setelah Arlantio melarangnya untuk tidak membahas Dharmatio kepada Cindya.Tambah terkejut saat bibir cucu pertamanya itu memberikan alasan, sehingga membuatnya benar-benar mengurungkan niat untuk tidak me
Dua bulan berlalu ….Cindya bahagia karena putrinya kini sudah bisa merangkak, dan sudah banyak mengoceh walaupun masih dengan bahasa bayi. Begitupun yang dirasakan oleh Arlantio, sebagai kakak dari Echa ikut turut bahagia melihat tumbuh kembali adik perempuannya itu. Dharmatio? Sama seperti Cindya dan Arlantio, hanya saja waktunya berkurang satu minggu karena ada syuting di luar daerah selama satu bulan.“Adekk ….”Arlantio melangkahkan kaki mendekati Echa yang sedang tengkurap di atas karpet tebal, bayi perempuan itu tidak sendiri, ada sang Bunda yang duduk di sisi kanan sambil terus mengawasi pergerakan Echa.“Halo, Abangg,” ucap Cindya, berusaha menirukan gaya bicara anak kecil, ia terkekeh saat melihat putranya menggeleng-gelengkan kepala. “Pulang bareng Grandma atau Grandpa?” tanyanya, menatap putranya yang kini duduk di hadapan Echa yang mendekat.“Grandpa,” jawab Arlantio, menatap sang bunda yang mengangguk-anggukkan kepala. Lantas atensinya kini tertuju kepada Echa yang menep
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments