Alin mendongak kala Rendra mendekat ke tempat duduknya hanya untuk melontarkan kalimat ejekan. “Memangnya apa urusanmu hingga kau harus repot mengomentari setiap aktivitasku?” tanya Alin balik. “Santai saja Lin tidak usah emosi begitu, dong. Untuk apa kau datang ke perhiasan mahal seperti ini? Kau tidak akan mampu membeli perhiasan semahal ini!” ejek Rendra. Alin tersenyum sinis menghadapi hinaan Rendra. Dia masih tampak menunggu lelaki itu mengucapkan kalimat selanjutnya. Sementara Rendra yang melihat banyak model perhiasan yang sedang dipilih Alin semakin getol untuk mempermalukannya. “Lihatlah, kau bahkan sampai menyuruh pelayan mengambil beberapa model perhiasan? Hei, kamu itu sudah miskin, Lin, apa kau sudah lupa? Mbak saya mau membeli cincin yang dipegang oleh wanita itu,” tunjuknya pada perhiasan yang dipegang Alin. “Tidak bisa, aku yang mengambilnya terlebih dahulu. Jadi kau tidak boleh merebut pilihanku!” ujar Alin dingin.“Hei sadarlah Nona, kau tidak akan mampu membayar
Tangan Alin mengepal dengan fitnah yang Rendra ucapkan. Dia tak mengira Rendra akan sejauh ini menyakiti perasaannya.“Hati-hati dengan ucapanmu, Tuan Rendra. Jangan sampai fitnahmu hari ini menjadi bumerang untukmu di kemudian hari,” ucap Devan mengingatkan.“Aku tidak memfitnah, Tuan. Aku mengatakan yang sebenarnya!” ujar Rendra berkilah.“Sayangnya saya tidak akan semudah itu percaya dengan semua pengakuan Anda. Saya tahu Alin bukan wanita murah yang dengan suka rela akan menyerahkan tubuhnya pada lelaki tak berpendidikan seperti Anda.” Devan langsung menoleh ke arah pelayan yang masih memegang kotak perhiasan dan cincin yang dipilih Alin. “Segera siapkan pesanan calon istri saya sekarang!” perintahnya.“Baik, Tuan.” “Sayang pokoknya aku mau perhiasan yang itu. Aku nggak mau yang lain,” rengek kekasih Rendra tiba-tiba.“Iya Sayang kamu tenang dulu ya. Aku akan memberikannya untuk kamu,” ujar Rendra sambil menoel p
Keesokan paginya, Alin tengah bersiap menemui sahabatnya untuk membahas kerja sama yang sempat mereka rencanakan beberapa bulan sebelum perusahaan papi Alin bermasalah. Mereka membuat janji temu di cafetamia.“Hay, Lin sudah lama ya di sini?” sapa sahabat Alin ramah.“Oh hay Nov, aku baru datang kok. Duduk gih, aku panggil waiters lagi ya,” tawar Alin diangguki sahabatnya.Mereka mulai fokus membahas bisnis yang akan mereka jalankan.“Jadi gimana, Nov? Kita jadinya bisnis apa?” tanya Alin.“Kenapa kita nggak mencoba buat bisnis skincare sama pakaian saja, Lin? Soalnya kalau dilihat-lihat fashion dan skincare itu nggak akan pernah ada habisnya, Lin. Kaum milenial zaman sekarang tidak pernah meninggalkan skincare dan outfit,” sanggah sahabat Alin.Alin tampak berpikir sejenak, “benar juga yang kamu katakan, Nov. Tapi kita juga harus memikirkan risiko yang mungkin terjadi jika kita bergerak di bidang fashion, Nov. Kita harus mengikuti kiblat fashion zaman sekarang, sedangkan kalau kita
Wanita itu terkejut saat melihat Alin keluar dari ruang kerja Devan. Sedangkan Devan hanya menyunggingkan senyum samar saat melihat sorot kemarahan di mata Alin. “Alin, apa yang kamu lakukan disini? Berani-beraninya masuk ke ruangan pribadi Tuan Devan!” “Kenapa aku harus takut masuk ke ruangan pribadi Mas Devan? Sebentar lagi, pimpinanmu ini akan menjadi suamiku. Jadi aku bebas melakukan apa pun di sini. Sebaiknya jagalah sikapmu mulai saat ini aku tidak akan membiarkan siapa pun di sini merangkap menjadi jalang!” ucap Alin penuh penekanan. Karyawan itu mengepalkan tangannya hingga uratnya terlihat. Dia tersinggung dengan ucapan pedas yang dilayangkan Alin kepadanya. “Menikah dengan Tuan Devan, Lin? Apa kau sedang bermimpi? Tunggu sebentar, bukannya kau baru saja putus dari Rendra? Kenapa bisa cepat sekali mendapat pengganti hanya dalam hitungan hari?” tanya karyawan itu dengan nada mengejek. Alin tertawa kecil, “apa yang tidak mungkin di dunia ini? Kalian saja yang dulu terlihat
Devan bangkit dari duduknya dan mendekati Alin yang masih berdiri diujung meja. Dia tersenyum penuh arti ke arah Alin yang menegang. Glukk! Gadis itu meneguk ludahnya dengan susah payah. Dia meremas ujung bajunya dengan kencang. “A-apa yang kamu inginkan, Mas?” tanyanya gugup. “Ayo pulang sekarang!” ucap Devan dari jarak dekat. Alin menghembuskan nafas lega saat Devan mengajaknya pulang. “Huh selamat,” ucapnya. “Apa kau pikir aku akan mencelakaimu?” tanya Devan tiba-tiba. “Eh ti-tidak Mas,” jawab Alin tergagap. *** Devan menggandeng tangan Alin saat mereka turun ke lobi kantor. Banyak karyawan yang berbisik mempertanyakan wanita yang ada di samping bos mereka. Tak sedikit pula yang melayangkan tatapan penuh permusuhan pada Alin karena berani menggandeng idola mereka. Alin dan Devan kompak bersikap cuek dengan beberapa karyawan yang sedang memperbincangkan mereka. Mereka terus berjalan sampai ke depan, namun saat hendak masuk ke dalam mobil, tiba-tiba Devan menerima panggilan
Alin seketika menoleh ke sumber suara begitu pun dengan Devan. Alin langsung mendapat ide untuk memberi wanita tua ini sedikit pelajaran. “Memangnya Anda ini siapa sampai berani mengusir saya? Apa Anda pemilik butik ini?” tanya Alin penuh ketenangan. “Aku memang bukan pemilik butik tapi ini adalah butik langgananku. Dan aku tidak suka jika kau berada di butik langgananku. Mengotori pemandangan saja!” jawab orang itu pedas. “Kenapa Anda terlihat kesal dengan kedatangan saya, Nyonya? Padahal sedari tadi Anda yang lebih dahulu mendekati dan menyerang saya,” balas Alin. “Karena kau itu hanya orang miskin yang tidak sepantasnya berada di sini. Untung saja cucuku segera memutuskan hubungan kalian,” ucap orang itu dengan angkuh. “Anda ini sombong sekali, Nyonya. Baru menjadi orang kaya sebentar saja sudah bersikap seperti itu. Seharusnya Anda malu dengan rambut Anda yang sudah memutih itu!” ucap Devan tiba-tiba. Alin tak mengira Devan akan berkata tajam pada wanita tua di sebelahnya ini
Alin terdiam saat ibunya mempertanyakan batinnya. Tidak mungkin dia mengatakan yang sesungguhnya pada sang ibu.“Aku sedang berusaha merangkai kebahagiaan, Mi. Doakan aku agar bisa meraihnya,” ujar Alin pada sang ibunda.“Selalu, Nak. Mami akan selalu mendoakan yang terbaik untuk putri cantik Mami,” jawab mami.***Hari beranjak siang, Alin yang sedang bersantai di kamarnya sambil mengerjakan pekerjaannya di depan laptop mendadak menghentikan aktivitasnya kala Devan terus menerus melakukan spam chat dan meneleponnya berkali-kali.“Orang ini kenapa sih selalu menelepon?” gerutu Alin sambil mengangkat panggilan.TutttAlin menekan tombol dan menjawab panggilan dari Devan.Alin : “Halo, ada apa Mas? Aku tidak kemana pun seharian ini.”Devan : “Aku tidak bertanya. Segera ke sini dan bawakan aku makan siang. Jangan lupa itu tugasmu!” Alin : “Jadi kamu memberondongku dengan banyak pesan dan panggilan hanya karena itu?”Devan : “Ya. Sudah jangan banyak bicara, segeralah berangkat. Ingatlah
Alin memutar bola matanya saat mengetahui sang lawan bicara ternyata kerabat mantan kekasihnya. “Mas ayo kita cari gaun lain saja, aku sudah tidak tertarik dengan gaun ini,” ajak Alin pada Devan. Dia lalu menarik tangan Devan meninggalkan orang itu sendirian di sana. Devan memilih menunggu Alin di sofa sambil bekerja. Tanpa di sadarinya, wanita itu kembali mengikuti Alin. Saat Alin kembali memilih gaun yang disukainya, wanita tersebut kembali menyerobot apa yang Alin pilih.“Nyonya, aku tidak jadi memilih mode tadi. Aku menginginkan gaun yang dipilih oleh wanita ini saja,” tuturnya.Alin menatap tajam wanita yang selalu mengambil gaun-gaun pilihannya. Dia merasa perlu memberi pelajaran pada wanita yang tidak punya rasa malu ini.“Sebenarnya apa yang kau inginkan? Kenapa kau terus saja merebut gaun yang sudah kupilih?” tanya Alin jengkel.“Karena aku merasa seleramu cukup bagus, jadi aku berpikir sebaiknya aku akan mengambil semua baju pilihanmu,” jawab wanita itu santai.“Berarti se