Share

8.

“Mau ngapain kamu ke sini?” tanya Riana dengan ketus.

“Bukan urusanmu orang-orangan sawah. Kamu diem deh, aku gak ada urusan sama kamu,” jawab Alex.

“Ini surat pemisahan harta kalian, kamu periksa dulu.” Alex menyodorkan sebuah map kepada Candra.

Alex segera pamit dan menuju ruangan Melani. Riana yang mendengar pemisahan harta, seketika raut wajah menjadi berbinar dan tampak berseri.

Candra tersenyum tipis, entah mengapa sisi hatinya terasa sangat sakit saat membaca surat tersebut. Riana duduk di pangkuan sang suami dan melingkarkan tangan di lehernya.

“Wah, banyak juga jumlahnya, Sayang. Eh tapi kok itu rumah kita ikut dijual? Trus kita tinggal di mana dong?” celetuk Riana.

“Rumah itu kan ada karena hasil kerja kami berdua, maka itu juga dijual biar bisa dibagi. Masalah tinggal di mana ya beli rumah baru lah, atau apartemen gitu,” cakap Candra.

Riana terdiam sejenak, dia sangat menyukai rumah besar nan mewah itu. Dia acap kali memamerkan rumahnya di sosial media miliknya. Jika tinggal di apartemen tentu harga dirinya jatuh.

“Sayang banget kalo dijual, Sayang. Apa gak bisa kamu beli aja rumah itu? Mahal loh rumah itu,” kata Riana.

“Emangnya kenapa kalo pindah rumah? Tinggal beli lagi di perumahan elit, atau apartemen mewah juga banyak. Emang kamu mau tinggal di rumah hasil uang Melani? Aneh kamu ini,” ucap Candra kesal.

“Bener juga, ngapain kita tinggal di situ? Tinggal cari yang lain kan banyak,” sahut Riana.

Riana duduk di seberang Candra, dia tampak serius menatap layar ponselnya mencari rumah yang menarik untuk dia tinggali bersama suaminya.

Candra sibuk dengan pekerjaannya dan tidak abai kepada Riana. Berkali-kali konsentrasi terganggu karena sang istri terus saja meminta pendapat tentang rumah pilihannya.

“Sayang, aku selesaikan ini dulu, ya. Nanti Aku luangkan waktu setengah jam buat nemenin kamu lihat gambar rumah, nah besok kalo uangnya udah ada, kita liat deh rumah itu,” kata Candra.

“Ya …, keburu diambil orang, Sayang. Gini deh gimana kalo kita kasih panjar dulu, nanti kita lunasin,” usul Riana.

Candra setuju dengan ide Riana dan kembali bekerja. Benaknya kini dipenuhi dengan masalah pekerjaan dan uang yang akan dia dapat.

Tiba-tiba tangannya terhenti saat akan menandatangani sebuah berkas. Dia teringat saat pertama kali membeli rumah itu bersama Melani, saat itu mereka berjanji akan hidup di sana hingga maut memisahkan. Kenyataanya janji itu diingkari.

“Bukan salahku, kan dia sendiri yang minta cerai. Ngapain juga aku mikirin perasaan dia, enak aja,” gumam Candra.

Riana menatap sang suami sejenak, kemudian kembali menatap layar ponsel di tangannya.

Tidak terasa jam kantor usai, Riana mengemas wadah makanan yang tadi dia bawa.

“Sayang, udah jam enam nih pulang yuk,” ajak Riana.

Candra mengangguk dan segera berkemas dan meninggalkan ruangannya. Sepasang suami istri itu meninggalkan kantor dan menuju kediaman mereka.

Melani masih berkutat dengan berkas yang berada di atas meja. Dia memeriksa semua angka dengan teliti, sesekali dia membalas surat elektronik yang tertuju padanya.

“Bu Bos, udah jam delapan nih. Jangan terlalu rajin nanti makin kaya ayo pulang,” kata Juan.

“Bentar dikit lagi ini,” sahut Melani tanpa menatap Juan.

“Nanti cafenya tutup loh,” lontar Juan.

Sepuluh menit setelahnya pekerjaan Melani pun rampung. Dia berkemas dan bergegas meninggalkan ruangannya. 

Tiba di cafe seorang pelayan mengantar mereka ke tempat yang sudah dipesan oleh Juan. Tampak bunga mawar putih di atas meja, tidak lama hidangan pun datang. Kali ini sangat istimewa karena diiringi oleh permainan biola nan indah serta seorang penyanyi klasik.

“Kok keren banget, jadi ala bangsawan gitu,” puji Melani.

“Iya, kalo aku Bang Sawan,” kelakar Juan.

Mereka tertawa kecil, seorang pelayan membawa sebuah kue tart yang dihias dengan indah. Melani melipat dahi saat membaca tulisan di atas kue tersebut.

“Melani, will you marry me?" gumam Melani.

Alunan musik seketika berubah menjadi romantis diiringi sebuah lagu yang cukup terkenal di masa lalu. Sebuah lagu yang berjudul ‘cant help falling in love’ yang dibawakan oleh Elvis Presley. 

Juan berlutut kemudian merogoh saku celananya, dia mengambil sebuah kotak yang tampak mewah dan membukanya. 

Tampak sebuah cincin nan cantik bertahta di dalam kotak, Melani membelalakkan kedua matanya.

“Melani Hartawan, maukah kau menikah denganku?” tanya Juan.

Beberapa pegawai dan pengunjung mengabadikan momen tersebut, dengan merekam menggunakan ponsel mereka.

“Terima …, terima …, terima,” seru para pengunjung.

Melani menatap sekitar dan tertunduk malu. Di dalam hatinya dia bingung akan lamaran Juan, dia baru saja bercerai, bagaimana mungkin menerima pinangan Juan dalam waktu dekat?

Jika dia menolak Juan, tentu hati lelaki itu kembali terluka. Dia yang menemani masa sulit Melani saat dia terpuruk, dilema mulai menyergap relung hatinya.

Entah mengapa Melani malah menjulurkan tangan kirinya kepada Juan, sontak saja aksinya itu menuai sorak sorai pengunjung.  Juan terkejut dan dengan sigap memasang cincin tersebut di jari manis pujaan hati.

‘Loh, Kok aku malah nerima? Gak bener nih otak, masa ga sejalan sama badan sih,’ pikir Melani.

Juan tersenyum bahagia, Melani memandang jari yang disematkan di jarinya dengan mata membulat sempurna.

Dia tidak percaya jika sudah menerima pinangan Juan, pikirannya berkecamuk dengan berbagai perasaan.

Para pengunjung memandang reaksi Melani sebagai rasa tidak percaya. Memang benar, Melani sendiri tidak percaya akan apa yang baru saja dia lakukan. Tak perlu memakan waktu lama, unggahan para pengunjung serta pegawai cafe mulai memenuhi sosial media. Banyak komentar positif di sana. 

“Udah jam sepuluh, pulang yuk,” kata Juan.

Melani setuju dan segera beranjak dari tempat duduknya. Dia tampak melamun saat menuruni anak tangga, hingga dia tergelincir. Beruntung Juan dengan sigap menangkap tubuhnya, lagi-lagi aksi mereka terekam oleh pengunjung.

Melani tertunduk malu dan berjalan tergesa menuju mobilnya. Juan mengejarnya usai mengucapkan terima kasih kepada pegawai cafe.

“Mel, tunggu!” panggil Juan.

Melani yang akan masuk ke dalam mobil, menghentikan tangannya dan memutar tubuh menghadap Juan.

“Mel, kamu bisa lepas cincinnya sekarang. Aku tau kamu gak siap nerima lamaranku yang mendadak, aku gak papa kok,” ujar Juan.

Melani menatap Juan lalu menatap jari manis tangan kirinya. Dia melepas cincin itu dari jari manisnya tanpa ragu sedikitpun. 

Wajah Juan berubah menjadi sedih, tatapan matanya menjadi sendu. Jika tidak merasa malu dan gengsi sebagai lelaki, dia sudah menangis.

“Nih aku balikin cincinnya, lamar aku di depan keluargaku minggu depan pakai cincin ini juga.” Melani meraih tangan Juan dan meletakkan cincin di telapak tangannya.

Kini Juan yang melongo, dia terkejut akan perkataan Melani yang baru saja dia dengar.  Telinganya seolah membesar dan wajahnya memerah. Debar jantung di dada menjadi tidak karuan. ‘Tuhan, tolong katakan kalo ini bukan mimpi,’ batin Juan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status