LOGIN“Ngapain kamu, Mas?”
Gerakan tubuh mas Raka membuatku heran. Ya, aku bisa melihat dia terkejut saat mendengar suaraku. Aku berjalan melewati mas Raka. Kulihat pintu kamar mandi sedikit terbuka, memperlihatkan Gita yang sedang mandi. “Aku mau buang air. Tapi ternyata ada orang, aku kira kamu,” jawabnya. Ternyata dia salah mengira. “Oh, itu Gita, temanku. Ada telepon dari bos kamu. Ini!” Aku menyodorkan ponsel. Aku kembali melakukan pekerjaanku di rumah, sambil menunggu Gita selesai mandi. “Maaf, tadinya aku hanya mau buang air kecil. Tapi aku malah terpeleset dan basah. Jadi terpaksa aku harus mandi,” ucap Gita. Aku hanya menyunggingkan senyuman kecil. “Tidak apa-apa.” Malam ini, Gita masih berada di rumahku. Waktu telah menunjukkan pukul 9. Aku, mas Raka dan Gita berkumpul di ruang keluarga. “Jadi bagaimana pendapatmu, Mas? Karena … jujur aku tidak punya solusi untuk masalah Gita. Apakah kamu ada teman wanita yang tinggal sendiri? Em … maksud aku, sementara aja sampai Gita mendapatkan pekerjaan,” imbuhku. Mas Raka bergeming sambil mengetuk-ngetuk jari telunjuk ke dagu. “Kenapa nggak di sini saja?” tanya mas Raka. Aku membeliak mendengar pertanyaan mas Raka. Apa? Kenapa mas Raka bisa memiliki ide seperti itu? “Kok di sini? Kenapa nggak di rumah teman kamu saja, Mas?” Aku balik bertanya. Sekilas aku melirik ke arah Gita. Dia menunduk, terlihat sedih setelah mendengar ucapanku. Aku tidak enak hati, mungkinkah ucapanku menyinggung perasaannya? “Semua teman kerja wanitaku, mereka sudah berkeluarga. Aku tidak mungkin meminta Gita untuk tinggal bareng mereka,” jawab mas Raka. Perdebatan kecil berlangsung saat itu juga. Beradu argumen demi mendapatkan sebuah solusi. Namun, tetap saja buntu. Aku tidak ingin ada orang lain berada di rumah ini, demi menjaga pernikahan kami dari sesuatu yang tidak diinginkan yang mungkin saja terjadi. “Sudah, jangan berdebat. Aku minta maaf karena kedatanganku ke sini membuat gaduh. Sebaiknya aku pergi saja,” timpal Gita. Aku dan mas Raka seketika membungkam mulut kami. Menatap Gita yang sudah berdiri dan bersiap untuk pergi. Ada perasaan tidak tega dan tidak enak. Seakan aku tidak ingin ditumpangi oleh temanku sendiri. Namun, ada alasan tertentu yang membuatku mempertimbangkan keputusan mas Raka. “Ini sudah malam, kamu mau pergi ke mana? Sudah-sudah, kamu menginap saja di sini. Arin, sebaiknya kamu siapkan kamar untuk Gita. Aku mau keluar dulu!” seru mas Raka. Aku mengerjapkan mata beberapa kali. “Tidak usah, aku–” “Tidak apa-apa, Git. Santai saja, aku beresin dulu kamarnya!” Aku memotong ucapan Gita. Aku berjalan menuju kamar tamu. Mulai membereskan tempat tidur itu, mengganti seprei dan sarung bantal dengan yang baru. Terpaksa aku melakukannya, tidak ada solusi lain. “Maaf!” Aku menghentikan aktivitasku, membalikkan badan ke belakang. Kulihat Gita berdiri mematung di ambang pintu. Menundukkan kepalanya dengan wajah yang kembali memerah, seperti menahan tangis. “Tidak apa-apa, tidak perlu merasa tidak enak,” sahutku. Gita mendekat, kembali ia memelukku begitu erat. “Aku janji, setelah mendapatkan pekerjaan, aku akan cari kontrakan. Aku tidak mau merepotkan kalian,” ucap Gita. Aku membalas pelukan wanita itu. Ada rasa bersalah karena perdebatanku dengan mas Raka tadi. Namun, mungkin solusi dari mas Raka memang yang terbaik. Menolong orang tidak boleh memilih-milih. “Ya, aku doakan semoga kamu segera mendapatkan pekerjaan. Kamu tidak merepotkan, santai saja,” sahutku. Gita menyeka kedua matanya. “Terima kasih, Rin. Kalau nggak ada kamu, aku nggak tahu lagi harus ke mana. Biar aku saja yang bereskan kamarnya, kamu duduk saja. Ada banyak yang ingin aku ceritakan sama kamu,” ujar Gita. Aku pun duduk di pinggiran ranjang, sementara Gita menyapu lantai kamar itu, lalu menyimpan tasnya yang berisi pakaian. Selesai membereskan kamar, aku dan Gita pun terlibat obrolan seputar tentang kehidupannya di tengah-tengah kejamnya ibu tiri yang sekarang menguasai rumahnya. “Sabar, ya! Aku hanya bisa menyemangati, tidak bisa membantu banyak,” ucapku. “Tidak apa-apa, Rin. Dengan curhat seperti ini, aku merasa lega. Semua unek-unek sudah aku keluarkan. Sayang sekali ayahku tidak mau membelaku, dia lebih condong sama istrinya yang lebih cocok menjadi anak. Tapi … ya sudahlah, aku harus banyak bersabar!” Aku mengangguk, mengusap punggung tangannya, memberikan semangat dalam diri wanita yang menjadi temanku sejak SMA dulu. Tidak terasa, kami ngobrol ngalor ngidul hingga waktu telah beranjak tengah malam. Aku memutuskan untuk segera beristirahat. Malam ini tidurku cukup nyenyak, hingga waktu tidak terasa telah berganti pagi. Aku bangun melakukan aktivitas seperti biasanya. “Hari ini temanku menikah. Kamu juga masih libur bekerja. Jadi, kan, kita berangkat ke kondangan?” tanyaku pada mas Raka. Di depan cermin, aku merias diri seadanya. Hanya memoles wajah menggunakan bedak bayi. Bahkan baju pun aku memakai baju yang aku jahit kemarin. Tak ada yang mewah, hidupku harus benar-benar hemat demi masa depan kami yang lebih cerah. “Sepertinya aku tidak jadi ikut. Aku sakit, aku pusing, kayaknya aku demam,” sahut mas Raka. Aku menoleh ke arah mas Raka, menyoroti wajahnya. “Kamu sakit?” Mas Raka mengangguk. Aku menempelkan punggung tanganku ke dahinya. “Kamu panas, sebaiknya kita ke dokter. Pakai saja uang tabungan kita dulu. Ayo, Mas!” ajakku. Mas Raka menggeleng cepat, aku memperhatikan reaksinya. “Tidak perlu, nanti bisa sembuh sendiri. Aku hanya butuh istirahat, nanti pusingnya juga hilang. Kalau mau berangkat, tidak apa-apa. Salam buat teman kamu,” sahut mas Raka. Aku menghela napas kasar, dalam kondisi seperti ini, mas Raka masih mempertahankan tabungannya, walaupun harus mengabaikan kesehatannya. “Terserah kamu sajalah, Mas. Semoga cepat sembuh. Oh iya, aku minta uang untuk mengisi amplop!” Aku menengadahkan tanganku ke arahnya. Mas Raka mengambil dompetnya yang disimpan di atas nakas. “Ini!” seru mas Raka. Aku menatap diam ke arah uang itu. Lalu beralih menatap mas Raka. “Ini ambil!” Mas Raka mengayunkan uang itu di tangannya. Aku menggaruk kepalaku yang tidak gatal. “Hanya sepuluh ribu, Mas? Yang benar saja dong, Mas. Masa aku ke kondangan hanya memberikan amplop berisi uang segitu? Aku bisa malu, Mas!” Aku tidak habis pikir dengan cara pikir suamiku. Mas Raka bangun dari posisi tidurnya, duduk menyandar di kepala ranjang. “Ya sudah, kamu tidak usah datang saja. Simpel, kan?” Entahlah, aku harus menyebut suamiku irit atau justru pelit? Prinsip hidupnya yang hemat benar-benar menyiksaku. Terpaksa aku mengambil uang tersebut. Lalu pergi dengan berjalan kaki ke tempat digelarnya acara pernikahan. “Sepuluh ribu? Hari gini? Tapi lihat! Ngambil prasmanannya nggak kira-kira!” Aku menoleh ke asal sumber suara. Selera makanku seketika hilang, saat kerabat temanku berbisik-bisik. Entah mereka sedang membicarakan orang lain atau justru diriku? Yang jelas aku merasa tersindir. Malu, akhirnya aku memutuskan untuk pulang. Aku merasa tidak memiliki wajah di hadapan mereka. Cukup cepat aku berjalan, hingga akhirnya tidak membutuhkan waktu lama, aku telah sampai di depan rumah. Aku merasa heran, ada banyak orang di rumahku. Mereka terlihat marah membuat aku bertanya-tanya. Aku berjalan masuk, penasaran apa yang terjadi. Namun, aku tidak melihat suamiku di dalam sana. “Ada apa ini, Pak RT?” tanyaku. “Syukurlah kamu sudah datang, Arin. Beribu-ribu maaf saya ucapkan sama kamu. Salah satu tetangga memergoki suamimu berbuat tidak senonoh dengan tamumu. Terpaksa kami harus menikahkan mereka hari ini juga!”“Ya ampun, maaf-maaf. Aku tidak sengaja. Kamu … Arindi, kan? Mana yang sakit?”Alya, wanita cantik itu membantuku untuk berdiri. Dia memastikan keadaanku baik-baik saja. Dia memang sempurna. Pantas Malik sangat tergila-gila padanya.“Aku tidak apa-apa , aku baik-baik saja. Iya, aku Arindi. Kamu Alya, kan? Aku juga minta maaf, aku … tidak fokus berjalan,” ucapku.“Tidak-tidak, aku yang harusnya minta maaf, karena aku yang menabrakmu. Em … Arindi, kenapa wajahmu hitam-hitam seperti ini? Apakah terjadi sesuatu padamu? Aku ada tisu, ini!” Alya menyodorkan sebungkus tisu basah padaku.Perlahan tanganku terulur menerimanya.“Terima kasih,” ucapku, lalu mulai membersihkan wajahku.Aku menunduk, merasa insecure ketika berhadapan dengan wanita satu ini. Dia sangat cantik, modis, sementara aku ….Aku mengamati penampilanku yang tidak ada apa-apanya dibanding Alya.“Arin, kamu lagi ada masalah?” Alya tiba-tiba menyentuh sebelah bahuku.“Ah, ini … anu … tadi aku habis bakar-bakar sampah. Tidak se
“Lelaki sialan! Beraninya dia membakar bajuku.”Aku mengorek-ngorek bajuku di dalam kobaran api itu. Sedih rasanya, baju yang kupunya hanya sedikit ini dilalap api.Aku berusaha menyelamatkan baju-bajuku yang sebagian telah habis. Berusaha memadamkan api itu, berharap api itu cepat padam. Walaupun aku tahu, baju-bajuku tidak mungkin bisa diselamatkan lagi.“Aw!” Beberapa kali aku mengaduh kepanasan, saat api itu mengenai tanganku.Tak ayal, wajahku pun sampai berkeringat karena panasnya api yang ada di hadapanku.“Argh!” jeritku.Aku terjengkang ke belakang.“Apa yang kamu lakukan?!” tanya Malik.Aku mendelik ke arah Malik. Lelaki itu asli tidak punya hati. Sangat lancang merusak apa yang aku miliki.“Kamu pikir aku sedang apa?” Aku balik bertanya.Aku kembali mendekati api itu. Namun, Malik segera menarik tanganku.“Lepas!” Aku memberontak, menepis kasar tangan Malik, yang berusaha menjauhkanku dari api itu.Malik menarik tanganku kembali menjauh dari api itu. Sedih rasanya kehilanga
“Malik!”Aku menutup wajahku dengan kedua tangan. Terlalu takut jika Malik akan berbuat kasar padaku. Namun, kenyataannya tidak. Malik hanya memukul pintu.Perlahan kubuka mataku. Kulihat buku-buku jari tangan Malik mengeluarkan darah. Namun, Malik seperti tidak merasakan sakit.“Jangan coba-coba mengatur hidupku, Arindi. Kamu harus ingat posisimu. Kamu hanya istri kontrak. Sekarang, kembali ke pelaminan. Jangan buat mereka curiga,” ujar Malik lirih. Namun, penuh penekanan.Aku mendorong tubuh Malik. Buru-buru aku keluar dari kamar itu. Aku berlari ke arah ballroom, tempat di mana digelarnya resepsi pernikahan kontrak kami.Aku kembali menyalami tamu-tamu. Tidak berselang lama Malik menyusul. Kami kembali menjalani sandiwara ini senatural mungkin.Malam ini resepsi telah selesai. Aku langsung diboyong ke rumah Malik. Rumah yang pernah aku pijak, saat aku menjadi korban salah target penculikan.Membawa tas jinjing berisi baju-bajuku, aku berjalan masuk mengekor di belakang Malik.Kami
“Malik, apakah dia mantanmu?” tanyaku.Malik melirik ke arahku. Dia tidak menjawab pertanyaanku. Dia pergi begitu saja mengikuti langkah Alya.“Sepertinya misi ini gagal, Alya tidak terlihat cemburu melihat pernikahan ini,” gumamku menerka-nerka.“Suamimu mau ke mana, Rin? Masih banyak tamu loh, ini!” Ayah bertanya padaku.“Em … mungkin Malik mau ke toilet. Kita tunggu saja, sebentar lagi juga kembali,” jawabku.Aku kembali disibukkan dengan tamu undangan yang menyalamiku. Namun, sekitar setengah jam aku tidak mendapati Malik kembali.“Rin, sepertinya ada masalah dengan Nak Malik. Takutnya dia sakit perut atau apa. Coba kamu susul dia,” titah ibu.Aku mengangguk, mulai melangkah meninggalkan pelaminan menuju toilet kamar hotel yang telah dia sewa.“Aku mau pulang, Malik. Hubungan kita sudah selesai. Aku … aku tidak bisa melanjutkan hubungan kita. Sudah berapa kali aku tegaskan sama kamu. Tolong, hormati keputusanku. Aku hanya ingin berbakti pada orang tuaku. Tolong kamu pahami posisik
“Tanda tangani surat perjanjian ini, jika berhasil dalam batas waktu yang ditentukan, aku akan berikan semua yang kujanjikan padamu!”Sebuah kertas berisi surat perjanjian lengkap dengan materai, tersimpan di hadapanku.Dalam balutan baju pengantin, aku duduk di dalam sebuah kamar hotel. Kuambil kertas tersebut lalu membaca surat itu dengan pulpen berada di tangan kananku, yang siap menggores materai tersebut dengan sebuah tanda tangan.Waktu terasa singkat, setelah mas Raka menjatuhkan talak padaku. Perceraianku dengan mas Raka telah sah di hadapan hakim. Kini, aku akan menjalani pernikahan kontrak bersama Malik. Tentunya hanya kami berdua yang tahu.Sebuah perjanjian yang sangat menguntungkan bagiku. Sebuah kesempatan emas, di mana aku bisa mendapatkan harta banyak secara instan. Namun, tidak menutup kemungkinan resiko besar harus aku hadapi.“Jangan mengulur waktu dengan banyak berpikir. Kita sudah sepakat akan melaksanakan pernikahan ini sampai waktu yang ditentukan. Aku ingin ren
“Sayang! Tolong aku, aku tidak kuat!”Mataku membulat sempurna, spontan aku menghentikan obrolanku. Suara itu seperti ….Aku menoleh cepat ke ambang pintu. Di sana Malik tengah kepayahan dengan barang-barang yang ia bawa di kedua tangannya.Beberapa kantong putih berlogo indomayet berukuran besar dan penuh ditenteng di kedua tangan.Aku berdiri menghampiri lelaki itu. Selain berang-berang itu, kulihat juga di teras rumah, aku melihat beberapa karung beras beserta bahan pokok lainnya. Seperti telur, minyak, gula, dan sebagainya.“Kenapa bengong? Ayo bantu aku bawa masuk semua sembako ini!” seru Malik.Aku terdiam, menggaruk kepala yang tidak gatal. Bertanya-tanya, kapan dia membeli semua ini?Ibu dan ayah menatap heran ke arah Malik, serta banyaknya belanjaan yang Malik bawa.“Em … siapa, ya?” tanya ibu.“Dia–”“Saya Malik, Om, Tante.” Malik menyalami ibu dan ayah.Aku membuang muka, tidak mengerti maksud Malik melakukan ini?“Pasti kalian bertanya-tanya, kan, kenapa saya ada di sini?







