LOGIN
“Bagus gelangnya, apakah aku boleh memakainya?”
“Jangan! Kita tidak tahu apa yang akan terjadi kalau kamu memakai perhiasan ini. Bisa saja hilang dijambret orang. Aku tidak mau hasil kerja kerasku ini sia-sia.” Satu kotak berisi beberapa perhiasan tampak berkilau di dalamnya. Aku Arindi, menatap benda tersebut begitu takjub. Ingin sekali aku memakai salah satu dari perhiasan tersebut. Namun, aku hanya bisa berangan-angan tanpa bisa terwujud. “Kamu jangan salah paham dulu. Maksud aku, semua perhiasan ini cukup disimpan saja sebagai tabungan kita biar lebih aman. Aku tidak ingin hasil kerja kerasku hilang begitu saja. Aku ingin masa tua kita ada bekal, tidak perlu lagi capek-capek kerja sama orang. Cukup menikmati hidup saja dengan buka usaha mandiri!” Aku hanya bisa tersenyum getir, saat suamiku, mas Raka, melarangku untuk memakai perhiasan tersebut. “Ya sudah, tidak apa-apa, Mas. Aku paham maksud kamu baik. Aku mau masak, tapi bahan makanan sudah habis. Aku minta uang belanja,” ucapku, menengadahkan tangan ke arahnya. Mas Raka mengeluarkan uang sebanyak sepuluh ribu lalu memberikannya padaku. Aku yang biasa disapa Arin, menerima uang tersebut. Sambil berjalan, aku menatap uang itu dengan kebingungan yang setiap hari aku alami. “Uang segini aku harus beli apa? Sedangkan mas Raka nggak suka kalau teman nasinya hanya satu jenis,” gumamku. Aku terus berjalan hingga aku telah tiba di tempat penjual sayuran. “Hanya itu, Rin? Saya perhatikan, tiap hari kamu belanja hanya sepuluh ribu saja. Apa kamu lagi mengikuti trend tikotok?” tanya salah satu tetanggaku, yang kebetulan sedang membeli sayuran. “Ehem … suami saya sedang menunggu di rumah. Saya permisi!” pamitku, aku tidak ingin berlama-lama di tempat itu dengan tatapan heran para tetangga ke arahku. Aku menghela napas panjang. Sepertinya mereka menganggapku sedang mengikuti tren sepuluh ribu di tangan istri yang tepat. Tidak, mereka belum tahu saja, keadaan yang memaksa diriku untuk hidup irit seperti ini. Sesampainya di rumah, aku segera mengolah sayuran itu. Namun, saat aku menghidupkan kompor, beberapa kali apinya tidak kunjung menyala. “Gasnya habis,” gumamku. Aku bergegas menghampiri mas Raka yang berada di dalam kamar, tiduran sambil memainkan ponsel. “Gas habis, aku minta uang untuk beli gas,” pintaku. Mas Raka menoleh ke arahku. “Perkara gas saja kamu sampai menggangguku? Kamu punya otak, kamu bisa berpikir bagaimana cara mengatasinya,” celetuk mas Raka. Ucapan mas Raka cukup tidak mengenakan di hati. Dalam situasi seperti ini, aku dipaksa untuk berpikir bagaimana mengatasi masalah yang aku hadapi. Aku tidak memiliki uang, semua tabungan, mas Raka yang menyimpan. “Baiklah!” Aku pun kembali ke dapur, aku tahu maksud mas Raka baik, ingin masa tua kami bahagia. Namun, jika ditanya apakah nafkah sepuluh ribu untuk satu hari cukup? Jawabannya tentu saja tidak. Di era modern ini, apa pun serba mahal. Aku menatap tabung gas cukup lama. Mencari jalan keluar supaya aku tetap bisa menyajikan makanan. Aku mendekati pintu belakang, mengedarkan pandangan menyisir lokasi belakang rumah. Lokasi rumah yang kami tempati banyak ditumbuhi pepohonan di sekitarnya. Aku menyunggingkan senyuman kecil, saat sebuah ide terlintas di dalam kepalaku. “Kenapa aku baru kepikiran?” Aku menjentikkan kedua jariku. Aku mengambil beberapa batu yang tergeletak di belakang rumah. Lantas menyusunnya hingga terbentuklah sebuah tungku darurat walaupun bentuknya sedikit aneh. Namun, tidak apa-apa, sebagai wanita aku harus serba bisa. Setelah tungku itu jadi, aku memungut patahan dahan dan ranting kayu. Aku mulai memasak dengan bahan bakar seadanya. “Masakannya sudah matang, Mas. Mari makan!” seruku, membangunkan mas Raka yang masih berkutat dengan ponselnya. “Ya!” sahut mas Raka, ia keluar dari dalam kamar, lantas pergi menuju ruang makan. “Mas, apa nggak sebaiknya aku saja yang menyimpan tabungan kita? Em … maksud aku … aku juga bisa kok kamu percaya,” ujarku. Aku mulai menyantap masakanku, duduk bersebelahan dengan mas Raka. Tak kusangka, mas Raka tiba-tiba menghentikan makannya. Ia menoleh ke arahku, tatapannya sungguh membuatku merasa tidak nyaman. “Maaf, aku percaya kok sama kamu. Tapi lebih aman jika aku yang menyimpannya.” Aku menghela napas panjang, aku pikir mas Raka akan marah padaku. Namun, ternyata tidak. Nada bicaranya lembut, sungguh menenangkan hati walaupun aku merasa keiritan di dalam rumah tangga kami membuatku cukup menguras pikiran. “Iya, Mas. Aku paham, tidak apa-apa, kamu saja yang menyimpannya,” sahutku. Siang ini aku tengah sibuk menjahit baju robekku dengan tangan di teras rumah. Lumayan, walaupun robek, masih bisa dijahit dan bisa dipakai. Kalaupun ingin membeli yang baru, aku harus menunggu lebaran tiba, itu pun jika mas Raka mendapatkan THR dari tempat kerjanya. Sementara mas Raka, ia menghabiskan waktu libur kerjanya hanya di rumah. “Aw!” pekikku. Untuk yang kedua kalinya tanganku tertusuk jarum. Namun, aku terus melanjutkan aktivitas menjahitku, karena besok aku harus pergi ke kondangan pernikahan temanku. “Permisi!” Aku mengangkat kepalaku, membuka kacamata yang sedari tadi bertengger di hidung. Seorang wanita berdiri di hadapanku. Membawa tas jinjing, dan beberapa kali ia mengusap kedua matanya. “Gita!” Aku menyimpan bajuku di atas meja. Berdiri lalu menghampiri wanita yang ternyata adalah temanku. Menjatuhkan tasnya, Gita berhambur memelukku. Menangis sesenggukan di dalam pelukanku. “Kenapa? Ada masalah?” tanyaku. “Aku diusir dari rumah, ibu tiriku menguasai rumahku, dan ayahku hanya diam saja.” Gita menumpahkan tangisannya. Aku berusaha menenangkan. Kami mengurai pelukan, wajah Gita basah dan kemerahan. Kulihat dia sangat terluka atas perlakuan keluarganya. Aku bisa memahami kesakitan yang Gita rasakan. “Kamu yang sabar, Git. Sebaiknya kita masuk ke dalam, kamu terlihat sangat lelah,” ajakku. Aku meraih tas Gita yang tergeletak di teras, membawanya masuk sambil menuntun wanita itu. “Kamu duduk dulu, aku ambil minum dulu di dapur!” ujarku, Gita menurut, ia duduk di ruang tamu. “Ada tamu? Siapa?” Mas Raka baru saja keluar dari kamar mandi, kami berpapasan saat aku pergi ke dapur. “Gita, temanku. Dia diusir dari rumah, aku mau buatkan minum untuknya,” jawabku. “Oh!” Mas Raka berlalu dari hadapanku. Aku segera membuatkan minum. “Diminum dulu. Jangan terlalu banyak pikiran.” Aku menaruh segelas teh di atas meja. “Terima kasih, Rin. Aku minta solusi, aku harus bagaimana sekarang? Apa aku harus tidur di kolong jembatan, di jalanan? Aku tidak punya uang untuk mengontrak rumah,” ucap Gita. “Aku tidak tahu, Git. Nanti aku minta pendapat suamiku. Sekarang kamu istirahat saja dulu di sini,” jawabku. “Kamu tunggu sebentar, aku mau ambil bajuku dulu di teras,” lanjutku. “Em … Rin. Boleh aku numpang ke kamar mandi?” tanya Gita, yang kubalas dengan anggukan. Aku mengambil baju yang telah selesai kujahit. Aku kembali ke dalam, kudengar suara ponsel mas Raka berdering di dalam kamar. Namun, aku tidak menemukan suamiku di dalam sana. “Dari bos,” gumamku. Aku mencari mas Raka sambil membawa ponselnya. Langkah kakiku terhenti saat kulihat mas Raka berdiri di depan pintu kamar mandi yang sedikit terbuka.“Ya ampun, maaf-maaf. Aku tidak sengaja. Kamu … Arindi, kan? Mana yang sakit?”Alya, wanita cantik itu membantuku untuk berdiri. Dia memastikan keadaanku baik-baik saja. Dia memang sempurna. Pantas Malik sangat tergila-gila padanya.“Aku tidak apa-apa , aku baik-baik saja. Iya, aku Arindi. Kamu Alya, kan? Aku juga minta maaf, aku … tidak fokus berjalan,” ucapku.“Tidak-tidak, aku yang harusnya minta maaf, karena aku yang menabrakmu. Em … Arindi, kenapa wajahmu hitam-hitam seperti ini? Apakah terjadi sesuatu padamu? Aku ada tisu, ini!” Alya menyodorkan sebungkus tisu basah padaku.Perlahan tanganku terulur menerimanya.“Terima kasih,” ucapku, lalu mulai membersihkan wajahku.Aku menunduk, merasa insecure ketika berhadapan dengan wanita satu ini. Dia sangat cantik, modis, sementara aku ….Aku mengamati penampilanku yang tidak ada apa-apanya dibanding Alya.“Arin, kamu lagi ada masalah?” Alya tiba-tiba menyentuh sebelah bahuku.“Ah, ini … anu … tadi aku habis bakar-bakar sampah. Tidak se
“Lelaki sialan! Beraninya dia membakar bajuku.”Aku mengorek-ngorek bajuku di dalam kobaran api itu. Sedih rasanya, baju yang kupunya hanya sedikit ini dilalap api.Aku berusaha menyelamatkan baju-bajuku yang sebagian telah habis. Berusaha memadamkan api itu, berharap api itu cepat padam. Walaupun aku tahu, baju-bajuku tidak mungkin bisa diselamatkan lagi.“Aw!” Beberapa kali aku mengaduh kepanasan, saat api itu mengenai tanganku.Tak ayal, wajahku pun sampai berkeringat karena panasnya api yang ada di hadapanku.“Argh!” jeritku.Aku terjengkang ke belakang.“Apa yang kamu lakukan?!” tanya Malik.Aku mendelik ke arah Malik. Lelaki itu asli tidak punya hati. Sangat lancang merusak apa yang aku miliki.“Kamu pikir aku sedang apa?” Aku balik bertanya.Aku kembali mendekati api itu. Namun, Malik segera menarik tanganku.“Lepas!” Aku memberontak, menepis kasar tangan Malik, yang berusaha menjauhkanku dari api itu.Malik menarik tanganku kembali menjauh dari api itu. Sedih rasanya kehilanga
“Malik!”Aku menutup wajahku dengan kedua tangan. Terlalu takut jika Malik akan berbuat kasar padaku. Namun, kenyataannya tidak. Malik hanya memukul pintu.Perlahan kubuka mataku. Kulihat buku-buku jari tangan Malik mengeluarkan darah. Namun, Malik seperti tidak merasakan sakit.“Jangan coba-coba mengatur hidupku, Arindi. Kamu harus ingat posisimu. Kamu hanya istri kontrak. Sekarang, kembali ke pelaminan. Jangan buat mereka curiga,” ujar Malik lirih. Namun, penuh penekanan.Aku mendorong tubuh Malik. Buru-buru aku keluar dari kamar itu. Aku berlari ke arah ballroom, tempat di mana digelarnya resepsi pernikahan kontrak kami.Aku kembali menyalami tamu-tamu. Tidak berselang lama Malik menyusul. Kami kembali menjalani sandiwara ini senatural mungkin.Malam ini resepsi telah selesai. Aku langsung diboyong ke rumah Malik. Rumah yang pernah aku pijak, saat aku menjadi korban salah target penculikan.Membawa tas jinjing berisi baju-bajuku, aku berjalan masuk mengekor di belakang Malik.Kami
“Malik, apakah dia mantanmu?” tanyaku.Malik melirik ke arahku. Dia tidak menjawab pertanyaanku. Dia pergi begitu saja mengikuti langkah Alya.“Sepertinya misi ini gagal, Alya tidak terlihat cemburu melihat pernikahan ini,” gumamku menerka-nerka.“Suamimu mau ke mana, Rin? Masih banyak tamu loh, ini!” Ayah bertanya padaku.“Em … mungkin Malik mau ke toilet. Kita tunggu saja, sebentar lagi juga kembali,” jawabku.Aku kembali disibukkan dengan tamu undangan yang menyalamiku. Namun, sekitar setengah jam aku tidak mendapati Malik kembali.“Rin, sepertinya ada masalah dengan Nak Malik. Takutnya dia sakit perut atau apa. Coba kamu susul dia,” titah ibu.Aku mengangguk, mulai melangkah meninggalkan pelaminan menuju toilet kamar hotel yang telah dia sewa.“Aku mau pulang, Malik. Hubungan kita sudah selesai. Aku … aku tidak bisa melanjutkan hubungan kita. Sudah berapa kali aku tegaskan sama kamu. Tolong, hormati keputusanku. Aku hanya ingin berbakti pada orang tuaku. Tolong kamu pahami posisik
“Tanda tangani surat perjanjian ini, jika berhasil dalam batas waktu yang ditentukan, aku akan berikan semua yang kujanjikan padamu!”Sebuah kertas berisi surat perjanjian lengkap dengan materai, tersimpan di hadapanku.Dalam balutan baju pengantin, aku duduk di dalam sebuah kamar hotel. Kuambil kertas tersebut lalu membaca surat itu dengan pulpen berada di tangan kananku, yang siap menggores materai tersebut dengan sebuah tanda tangan.Waktu terasa singkat, setelah mas Raka menjatuhkan talak padaku. Perceraianku dengan mas Raka telah sah di hadapan hakim. Kini, aku akan menjalani pernikahan kontrak bersama Malik. Tentunya hanya kami berdua yang tahu.Sebuah perjanjian yang sangat menguntungkan bagiku. Sebuah kesempatan emas, di mana aku bisa mendapatkan harta banyak secara instan. Namun, tidak menutup kemungkinan resiko besar harus aku hadapi.“Jangan mengulur waktu dengan banyak berpikir. Kita sudah sepakat akan melaksanakan pernikahan ini sampai waktu yang ditentukan. Aku ingin ren
“Sayang! Tolong aku, aku tidak kuat!”Mataku membulat sempurna, spontan aku menghentikan obrolanku. Suara itu seperti ….Aku menoleh cepat ke ambang pintu. Di sana Malik tengah kepayahan dengan barang-barang yang ia bawa di kedua tangannya.Beberapa kantong putih berlogo indomayet berukuran besar dan penuh ditenteng di kedua tangan.Aku berdiri menghampiri lelaki itu. Selain berang-berang itu, kulihat juga di teras rumah, aku melihat beberapa karung beras beserta bahan pokok lainnya. Seperti telur, minyak, gula, dan sebagainya.“Kenapa bengong? Ayo bantu aku bawa masuk semua sembako ini!” seru Malik.Aku terdiam, menggaruk kepala yang tidak gatal. Bertanya-tanya, kapan dia membeli semua ini?Ibu dan ayah menatap heran ke arah Malik, serta banyaknya belanjaan yang Malik bawa.“Em … siapa, ya?” tanya ibu.“Dia–”“Saya Malik, Om, Tante.” Malik menyalami ibu dan ayah.Aku membuang muka, tidak mengerti maksud Malik melakukan ini?“Pasti kalian bertanya-tanya, kan, kenapa saya ada di sini?







