LOGINDeg!
Tidak terasa tanganku refleks menjatuhkan tas kecil yang aku pegang. Aku hidup. Namun, seperti mati. Rumah ini ramai. Namun, telingaku tiba-tiba tuli setelah mendengar penuturan pak Rt. Dalam sekejap duniaku terasa berhenti. Air mataku meleleh, mengalir deras membentuk miniatur anak sungai di pipi. Lidahku terasa kelu, pundakku berguncang hebat. “Saya mau memberikan sedikit sayuran mentah buat kamu, karena saya habis panen. Saya kira kamu ada di dalam, saya langsung masuk saja tanpa mengetuk pintu. Tapi pas saya ke dalam, saya melihat pintu kamar kamu terbuka, dan … saya lihat suami kamu dengan wanita yang bernama Gita itu sedang berduaan di sana. Saya panik, maka saya panggil tetangga yang lain dan menggerebek mereka,” ujar bu Lisna, salah satu tetanggaku. “Sabar, Rin. Ini demi menghindari dosa. Kami tidak mau kampung ini ketiban sial karena kelakuan suamimu dan juga temanmu,” lanjut bu Lisna. Aku mengedarkan pandangan, mencari keberadaan mas Raka dan Gita, yang sedari tadi belum aku lihat batang hidung mereka. “Ke mana mereka?” tanyaku. “Sabar, Rin. Jangan emosi, kamu harus tenang, ya! Raka dan Gita ada di dalam kamar. Mereka mengurung diri di dalam sana. Mungkin karena merasa malu,” jawab pak Rt. Buru-buru aku menyeka air mataku. Emosi ini sudah ada di ubun-ubun. Ingin menahannya. Namun, aku tidak bisa. Aku ingin menemui mereka, meminta penjelasan atas kesaksian tetanggaku. Aku menghampiri pintu kamarku yang tertutup rapat. Aku membanting pintu itu hingga mengeluarkan suara yang sangat nyaring. Brak! Kedua manusia tidak tahu diri itu tengah duduk menunduk di dalam kamar. Gita, dia menangis lalu mendekatiku. Aku menepis tangannya, saat dia hendak memelukku. “Aku bisa jelasin semua, Rin!” Dadaku bergemuruh hebat, kedua kakiku kupaksa untuk tetap bisa berdiri menopang tubuhku. “Aku meminta Gita untuk membawakan air minum. Tapi tidak sengaja dia terjatuh menimpaku, yang kebetulan ada tetangga masuk ke sini. Semua ini hanya salah paham, aku berani sumpah, Rin!” Aku menggelengkan kepala, apakah aku harus percaya dengan ucapan mas Raka begitu saja? Sementara Gita hanya menunduk menahan malu. “Kamu berani bersumpah? Kamu berani mempertanggungjawabkan ucapanmu?” tanyaku. Mas Raka mengangguk kuat. “Ya, aku berani bersumpah. Aku tidak melakukannya. Aku hanya cinta sama kamu, Arindi. Aku tidak cinta sama Gita!” jawab mas Raka. Aku menoleh ke arah orang-orang yang ada di belakangku, yang masih setia menunggu di rumahku ini. “Bapak-bapak, Ibu-ibu, kalian dengar penjelasan suami saya? Dia berani bersumpah, mereka tidak melakukannya. Sebaiknya mereka tidak usah dinikahkan. Gita tidak akan menginap lagi di sini,” ucapku. “Kenapa kamu berbohong, Mas? Kamu bilang aku lebih cantik, menarik dan menggoda dari istrimu, sampai kamu nekat mengajakku untuk melakukannya!” Aku membeliak, menoleh kasar ke arah Gita. Beberapa kali aku mengerjapkan mata, mana yang harus aku percaya? Semula Gita hanya diam. Namun, ketika dia bersuara, hanya kalimat menyakitkan yang aku dengar. “Tuh, teman kamu saja mengakuinya. Sudah-sudah, Pak Rt, daripada kami-kami ini kebagian sial, sebaiknya nikahkan saja mereka sekarang. Dari dulu di tempat kita ini, kita selalu menjunjung tinggi sebuah kehormatan. Apa Pak Rt mau, dicap sebagai Rt yang gagal, karena membiarkan pezina seperti mereka melakukan hal di luar batas tanpa diberikan sanksi?” timpal tetangga yang lain. “Benar kata dia, nikahkan saja, Pak Rt. Jangan ditunda lagi!” Suasana di rumahku kembali kacau. Seperti sedang berdemo, rumahku berubah bising dengan teriakan kemarahan mereka yang menggebu-gebu. “Maaf, Rin. Aku merasa dirugikan, jadi kamu harus siap berbagi suami denganku,” ucap Gita. Ibarat menolong seekor anjing yang terjepit. Saat lengah, Gita menusukku dari belakang. Menyesal, satu kata yang tersemat dalam benak, saat mengetahui kelakuan Gita dan suamiku di belakangku. Menyesal karena aku mengizinkan Gita menginap di sini. Keputusan pertamaku memang benar, dengan tidak menawarkan tumpangan pada Gita. Namun, sayangnya harus goyah karena sifat tidak tega mas Raka, yang ujung-ujungnya mereka harus dinikahkan oleh warga. “Lebih cepat lebih baik, ayo kita nikahkan mereka!” Sakit hatiku kian terasa. Selama ini aku membangun rumah tangga ini dengan pondasi kesetiaan. Namun, harus roboh karena adanya badai yang tiba-tiba datang memporak-porandakan rumah tangga kami. Aku tidak kuasa menahan tangis, saat melihat suamiku melakukan ijab qobul di depan penghulu. Aku tidak bisa berkutik jika warga yang turun tangan. Sebagai seorang istri, jujur aku tidak rela berbagi suami dengan wanita lain. “Bagaimana saksi, sah?” “Sah!” “Sah!” Ingin rasanya aku menghilang saja dari dunia ini. Mereka telah sah menikah, dan aku telah menyandang status istri pertama. Aku hanya bisa bersandar lemah pada dinding. Beberapa tetangga mencoba menenangkanku. Namun, tetap saja, aku belum bisa menerima semua ini. Begitu tiba-tiba dan sangat menusuk relung hatiku. Satu persatu tetangga mulai membubarkan diri. Tidak ada perayaan atas pernikahan suamiku, semua terkesan seperti neraka bagiku. “Rin, aku minta maaf, aku–” “Tinggalkan aku!” Aku menyela ucapan Gita. “Tapi–” “Kamu dengar aku, Git? Tinggalkan aku sendiri!” Aku kembali memotong ucapan Gita. Gita pun akhirnya masuk ke dalam kamarnya. Aku menyeka kedua mataku, yang sedari tadi berembun, yang siap meluncur membasahi kedua pipi. Kulihat mas Raka keluar dari dalam kamarnya. Menghampiriku lalu berlutut di kakiku. “Bagiku, istriku cuma kamu, Rin. Aku hanya korban salah paham. Aku berani bersumpah, tidak pernah melakukan hal yang dibenarkan oleh Gita. Dia fitnah, tolong percaya sama aku, Rin!” mohonnya. Aku menghembuskan napas kasar. “Melakukan atau tidak, hanya Tuhan dan kalian berdua yang tahu. Lagi pula, kalian sudah menikah, lalu kamu mau apa? Menceraikan Gita? Aku sudah terlanjur kecewa. Dari awal aku memang tidak mau menampung Gita di sini. Karena apa? Karena memasukkan orang lain ke dalam rumah kita, sama saja memasukkan duri,” sahutku. “Aku minta maaf, ini salahku. Aku janji, aku tidak akan pernah menyentuh Gita walau sedikit pun. Pernikahan ini tidak berdasarkan cinta. Aku hanya menginginkanmu,” ucapnya. Aku sudah terlalu lelah dengan hari ini. Aku meninggalkan mas Raka sendirian di ruang tengah. Aku masuk ke dalam kamarku, berusaha menenangkan gejolak sakit hatiku yang kian menggebu-gebu. Hingga malam hari tiba, mas Raka lebih memilih tidur denganku. Tidak ada komunikasi di antara kami malam ini. Aku butuh waktu untuk menerima kenyataan ini. Mataku mulai berat, rasa kantuk telah menghampiri. Aku pun terpejam, membawa luka hati ke alam bawah sadarku, hingga aku terbangun sebab merasakan getaran ponselku, yang aku taruh di samping tubuhku. Sebuah pesan dari operator seluler. Aku kembali menyimpan ponselku dan lanjut tidur. Namun, aku tidak menemukan suamiku di kamar ini. Aku bangkit, mengedarkan pandangan. Mas Raka memang benar-benar tidak ada. Sadar jika mas Raka memiliki 2 istri, aku pun turun dari ranjang, berjalan keluar dari kamar, mendekati kamar yang ditempati Gita. “Uh! Aku ingin melakukannya lagi, Git!”“Ya ampun, maaf-maaf. Aku tidak sengaja. Kamu … Arindi, kan? Mana yang sakit?”Alya, wanita cantik itu membantuku untuk berdiri. Dia memastikan keadaanku baik-baik saja. Dia memang sempurna. Pantas Malik sangat tergila-gila padanya.“Aku tidak apa-apa , aku baik-baik saja. Iya, aku Arindi. Kamu Alya, kan? Aku juga minta maaf, aku … tidak fokus berjalan,” ucapku.“Tidak-tidak, aku yang harusnya minta maaf, karena aku yang menabrakmu. Em … Arindi, kenapa wajahmu hitam-hitam seperti ini? Apakah terjadi sesuatu padamu? Aku ada tisu, ini!” Alya menyodorkan sebungkus tisu basah padaku.Perlahan tanganku terulur menerimanya.“Terima kasih,” ucapku, lalu mulai membersihkan wajahku.Aku menunduk, merasa insecure ketika berhadapan dengan wanita satu ini. Dia sangat cantik, modis, sementara aku ….Aku mengamati penampilanku yang tidak ada apa-apanya dibanding Alya.“Arin, kamu lagi ada masalah?” Alya tiba-tiba menyentuh sebelah bahuku.“Ah, ini … anu … tadi aku habis bakar-bakar sampah. Tidak se
“Lelaki sialan! Beraninya dia membakar bajuku.”Aku mengorek-ngorek bajuku di dalam kobaran api itu. Sedih rasanya, baju yang kupunya hanya sedikit ini dilalap api.Aku berusaha menyelamatkan baju-bajuku yang sebagian telah habis. Berusaha memadamkan api itu, berharap api itu cepat padam. Walaupun aku tahu, baju-bajuku tidak mungkin bisa diselamatkan lagi.“Aw!” Beberapa kali aku mengaduh kepanasan, saat api itu mengenai tanganku.Tak ayal, wajahku pun sampai berkeringat karena panasnya api yang ada di hadapanku.“Argh!” jeritku.Aku terjengkang ke belakang.“Apa yang kamu lakukan?!” tanya Malik.Aku mendelik ke arah Malik. Lelaki itu asli tidak punya hati. Sangat lancang merusak apa yang aku miliki.“Kamu pikir aku sedang apa?” Aku balik bertanya.Aku kembali mendekati api itu. Namun, Malik segera menarik tanganku.“Lepas!” Aku memberontak, menepis kasar tangan Malik, yang berusaha menjauhkanku dari api itu.Malik menarik tanganku kembali menjauh dari api itu. Sedih rasanya kehilanga
“Malik!”Aku menutup wajahku dengan kedua tangan. Terlalu takut jika Malik akan berbuat kasar padaku. Namun, kenyataannya tidak. Malik hanya memukul pintu.Perlahan kubuka mataku. Kulihat buku-buku jari tangan Malik mengeluarkan darah. Namun, Malik seperti tidak merasakan sakit.“Jangan coba-coba mengatur hidupku, Arindi. Kamu harus ingat posisimu. Kamu hanya istri kontrak. Sekarang, kembali ke pelaminan. Jangan buat mereka curiga,” ujar Malik lirih. Namun, penuh penekanan.Aku mendorong tubuh Malik. Buru-buru aku keluar dari kamar itu. Aku berlari ke arah ballroom, tempat di mana digelarnya resepsi pernikahan kontrak kami.Aku kembali menyalami tamu-tamu. Tidak berselang lama Malik menyusul. Kami kembali menjalani sandiwara ini senatural mungkin.Malam ini resepsi telah selesai. Aku langsung diboyong ke rumah Malik. Rumah yang pernah aku pijak, saat aku menjadi korban salah target penculikan.Membawa tas jinjing berisi baju-bajuku, aku berjalan masuk mengekor di belakang Malik.Kami
“Malik, apakah dia mantanmu?” tanyaku.Malik melirik ke arahku. Dia tidak menjawab pertanyaanku. Dia pergi begitu saja mengikuti langkah Alya.“Sepertinya misi ini gagal, Alya tidak terlihat cemburu melihat pernikahan ini,” gumamku menerka-nerka.“Suamimu mau ke mana, Rin? Masih banyak tamu loh, ini!” Ayah bertanya padaku.“Em … mungkin Malik mau ke toilet. Kita tunggu saja, sebentar lagi juga kembali,” jawabku.Aku kembali disibukkan dengan tamu undangan yang menyalamiku. Namun, sekitar setengah jam aku tidak mendapati Malik kembali.“Rin, sepertinya ada masalah dengan Nak Malik. Takutnya dia sakit perut atau apa. Coba kamu susul dia,” titah ibu.Aku mengangguk, mulai melangkah meninggalkan pelaminan menuju toilet kamar hotel yang telah dia sewa.“Aku mau pulang, Malik. Hubungan kita sudah selesai. Aku … aku tidak bisa melanjutkan hubungan kita. Sudah berapa kali aku tegaskan sama kamu. Tolong, hormati keputusanku. Aku hanya ingin berbakti pada orang tuaku. Tolong kamu pahami posisik
“Tanda tangani surat perjanjian ini, jika berhasil dalam batas waktu yang ditentukan, aku akan berikan semua yang kujanjikan padamu!”Sebuah kertas berisi surat perjanjian lengkap dengan materai, tersimpan di hadapanku.Dalam balutan baju pengantin, aku duduk di dalam sebuah kamar hotel. Kuambil kertas tersebut lalu membaca surat itu dengan pulpen berada di tangan kananku, yang siap menggores materai tersebut dengan sebuah tanda tangan.Waktu terasa singkat, setelah mas Raka menjatuhkan talak padaku. Perceraianku dengan mas Raka telah sah di hadapan hakim. Kini, aku akan menjalani pernikahan kontrak bersama Malik. Tentunya hanya kami berdua yang tahu.Sebuah perjanjian yang sangat menguntungkan bagiku. Sebuah kesempatan emas, di mana aku bisa mendapatkan harta banyak secara instan. Namun, tidak menutup kemungkinan resiko besar harus aku hadapi.“Jangan mengulur waktu dengan banyak berpikir. Kita sudah sepakat akan melaksanakan pernikahan ini sampai waktu yang ditentukan. Aku ingin ren
“Sayang! Tolong aku, aku tidak kuat!”Mataku membulat sempurna, spontan aku menghentikan obrolanku. Suara itu seperti ….Aku menoleh cepat ke ambang pintu. Di sana Malik tengah kepayahan dengan barang-barang yang ia bawa di kedua tangannya.Beberapa kantong putih berlogo indomayet berukuran besar dan penuh ditenteng di kedua tangan.Aku berdiri menghampiri lelaki itu. Selain berang-berang itu, kulihat juga di teras rumah, aku melihat beberapa karung beras beserta bahan pokok lainnya. Seperti telur, minyak, gula, dan sebagainya.“Kenapa bengong? Ayo bantu aku bawa masuk semua sembako ini!” seru Malik.Aku terdiam, menggaruk kepala yang tidak gatal. Bertanya-tanya, kapan dia membeli semua ini?Ibu dan ayah menatap heran ke arah Malik, serta banyaknya belanjaan yang Malik bawa.“Em … siapa, ya?” tanya ibu.“Dia–”“Saya Malik, Om, Tante.” Malik menyalami ibu dan ayah.Aku membuang muka, tidak mengerti maksud Malik melakukan ini?“Pasti kalian bertanya-tanya, kan, kenapa saya ada di sini?







