Share

4 : Kamu yang Aneh!

Author: Az Zidan
last update Last Updated: 2024-08-07 01:14:28

Di saat Senin sampai Sabtu sibuk dengan pekerjaan masing-masing, seharusnya Minggu bisa menjadi waktu yang tepat bagi Dara dan Raka menghabiskan waktu bersama. Minum teh di pagi hari, bercengkerama membahas kehidupan yang mereka jalani sampai petang datang. Namun—

“Mas, ini Minggu lho. Apa kudu kerja juga? Lembur sampai segitunya, kamu,” protes Dara masih dengan nada yang paling lembut yang dia miliki.

Matanya mengedip berulangkali untuk menanti jawaban dari sang suami yang sorot penglihatannya fokus pada layar laptop di depannya.

“Mas,” rengek Dara yang sudah berpindah duduk di sampingnya. Meraih tangan sang suami dan bermanja mendaratkan kepala pada bahu Raka.

“Mas, kamu nggak pengen sentuh aku, gitu? Kita udah lama nikah, kamu belum pernah tiduri aku, lho. Kamu nggak kepingin? Atau aku nggak menarik, ya di matamu?”

Hening, tidak ada yang terlontar dari mulut Raka. Hanya suara debum jari yang memukul balok-balok ceper di keyboard.

Dara menggembungkan kedua pipinya. Sungguh dia bosan. Tatapannya tertuju pada tudung saji di meja kecil dapur.

“Makan, yuk! Kamu belum sarapan, Mas,” ajak Dara. Masih terus berusaha memancing agar suara pria itu keluar.

“Mas Raka,” dengusnya, karena sadar bahwa usahanya tidak pernah dipedulikan. Ia geser tubuhnya sedikit menjauh dan lepaskan jeratan tangan kecilnya dari lengan Raka. Memangku kedua tangan itu di paha dengan seraut wajah memberengut.

Berharap bahwa pria itu respon dan membujuknya. Masih sama seperti bayangan tokoh fiksi yang dia ciptakan dalam kisahnya.

“Mulutmu nggak capek, Da ngoceh terus?” Justru hanya makian yang terlontar setelah Dara mencoba mulai dari kalimat paling pendek, dengan suara lembut mendayu sampai satu nada meninggi baru ditanggapi oleh pria itu. Lalu, kemudian mencetuskan bahwa Dara cerewet? Apa itu tidak keterlaluan?

Dara mendengus. Dadanya bergejolak, ia meremas ujung bajunya. Dia berdiri dan menghadapkan tubuh ke arah suaminya.

 “Aku dari tadi ngajak kamu ngomong, Mas. Kamu nggak ada respon, aku. Lalu pas aku udah jengkel sama kamu, kamu bilang aku cerewet? Gila, kamu, ya?” cetus Dara.

“Kamu yang gila! Kamu punya mata, kan? Kamu lihat aku nganggur nggak? Kalau ngajak ngobrol itu tahu situasi, Dara!” bukannya membujuk, Raka justru berbalik menyalak.

Sepertinya impian untuk dibujuk itu hanya terkubur dibayangan.

“Mas!” Lagi suara Dara kian meninggi. Tidak salah bukan dia membela diri?

“Tahu waktu bagaimana? Sedangkan kamu aja nggak pernah ada waktu sama aku! Kamu kerja hari-hari tanpa henti! Hari libur pun kamu sibuk sendiri. Kamu tuh, cinta nggak sih, sama aku?! Kamu anggap aku ini apa?!” berang Dara.

Raka kembali menampakkan senyum meremehkan itu di wajahnya. Ia ikut bangkit dan tubuhnya sepuluh sentimeter lebih tinggi dari Dara. “Lihat! Lihat bagaimana kamu ngungkit hal bodoh itu.”

“Bodoh apanya?! Kamu yang aneh, Mas! Aku ini istrimu. Sudah sepatutnya aku marah saat kamu nggak mau luangin waktu buatku. Bahkan— harusnya kamu sadar, kalau aku masih perawan hingga setahun pernikahhan ini! Apa perlu aku ingetin kamu terus menerus? Kamu nikahin aku, tapi kamu anggurin aku, Mas!”

Emosi Dara meledak-ledak. Dia sungguh tidak habis pikir bagaimana bisa seorang laki-laki dewasa menahan sekuat hati keberadaannya yang dengan jelas telah menanti untuk disentuh?

“Benarkan apa kataku?! Kamu itu gila! Yang dibahas kalau nggak duit, waktu, ya seks! Otakmu dangkal, Dara! Harusnya kamu tahu kalau aku kerja juga buat kamu! Mau sampai kapan kita tinggal di rumah reyot ini?! Kamu nggak pengen pindah ke tempat yang lebih baik?”

“Nggak! Aku nggak peduli di mana kita tinggal, Mas! Buatku asalkan tidak kepanasan dan kehujanan aja udah cukup! Bisa makan tiap hari meski sama krupuk pun, aku tidak masalah. Aku hanya mau kamu angap aku! Sadar kalau kamu udah nggak sendiri. Ada orang lain yang butuh kehadiranmu!”

Dara kian berang. Matanya menyalak, tetapi pedih. Air mata yang tidak disangka-sangka malah banjir tidak terkira. Dia jengkel ketika harus kedapatan menangis di depan pria yang telah berulangkali mengutarakan ketidaksukaannya atas perilaku spontan wanita saat disakiti.

“Aku tanya sama kamu, Mas. Kali ini aku mohon jawab jujur.” Suara Dara melemah. Dia kembali duduk di kursi yang ia duduki sebelumnya. Membiarkan Raka yang masih berkacak pinggang membuang muka dari netra miliknya.

“Apa aku tidak menarik untukmu? Apa tubuhku bau? Ngomong, Mas. Ngomong apa aja yang buat kamu tidak tertarik padaku. Supaya aku bisa berbenah,” jelas Dara. Suaranya timbul tenggelam dan serak. Tidak, suara Dara memang sudah serak-serak basah.

“Aku pingin kamu—” Tangan Raka terangkat untuk menghentikan ucapan apa pun yang akan Dara lontarkan.

Laki-laki berambut cepak itu, menutup laptopnya serampangan dan menyahut brutal kunci motor beatnya kemudian keluar. Menutup pintu dengan kencang hingga membuat Dara berjengit karena kaget.

Ini bukan pertama kalinya, Dara. Mas Raka akan pulang saat pikirannya sudah tenang, pikiran lain dari dirinya mencoba untuk menghiburnya. Namun, dirinya sendiri— ragu kalau Raka bisa berubah. Oke, dia kembali, tapi untuk berubah?

“Aku tidak selamanya hanya menerima perlakuannya padaku seperti ini kan? Da— ayo! Kamu kudu cari tahu apa yang terjadi dengan suamimu,” katanya pada diri sendiri.

Seakan menarik temali paling kecil dari semangat juangnya. Sekalipun harus mengorek hati paling dalam. Di mana letak kesanggupan bertahan itu tinggal.

“Dengar Dara. Apa yang sudah disatukan oleh Tuhan tidak akan dipisahkan oleh manusia, benarkan?” Lagi, ia bermonolog.

“Tapi manusianya seperti nggak akan pernah mau dikritik, tolol! Dara, kamu tolol! Kamu adalah wanita bodoh yang masih bertahan hingga setahun ini!” Kali ini kalimat itu keluar. Dia marah dengan teriakan diisi kepalanya.

Dua sisi dalam dirinya bertarung melawan imannya. Satu menyalahkan satu menguatkan. Ini seperti bermain di labirin. Membingungkan dan Dara benar-benar butuh jalan keluar.

“Oke— aku akan ikuti kata hatiku. Apa pun jawabannya. Sepahit apa pun luka yang nantinya bakal aku temukan, aku akan hadapi. Meski dengan nangis darah,” gerutunya di akhir kalimat.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Dibuang Suami Setelah Menikah   144 : Bahagia Selalu

    "Siapa aku? Siapa aku yang kalian kenal?" Setelah sekian lama.membisu, bahkan daftar menu yang sebelumnya tersentuh pun kini teronggok tidak dihiraukan. Mereka kalut dengan pemikiran mereka masing-masing. Mereka sibuk meminta maaf dan menantikan jawaban yang diberikan oleh anaknya."Prilly. Dara, bahkan namamu sekarang atau dulu, mommy tidak peduli. Siapa pun nama yang kamu sukai, kamu berhak memakainya. Bu Larasita sudah memberikan nama yang begitu baik, begitu indah dan bagus. Mommy hanya ingin kamu memaafkan kamu, Nak. Mommy telah kehilangan segalanya, penyesalan mommy tidak pernah bisa berhenti setelah mengetahui berita hilangnya, kamu. Mommy minta maaf, Dara." Veily mencoba meraih tangan anaknya.Anak yang tidak pernah dia asuh, tidak pernah dia susui. Tidak pernah berhenti dia rindukan, tetapi tidak pernah ada aksi yang dia lakukan hingga dua puluh enam tahun berlalu. Sebegitu pentingkah Cloe sampai harus melupakan anak mereka yang lainnya?"Ibu," gumam Dara. Air mata yang menet

  • Dibuang Suami Setelah Menikah   143 : Bertemu dan Terungkap

    Sebuah mobil putih berhenti di halaman sempit milik Dara, tepat di bahu jalan mungkin lebih lama. Karena pekarangan rumah itu bahkan tidak muat untuk di masuki motor."Siapa, ya?" tukas Dara dengan tatapan yang lurus ke depan meniti siapa gerangan orang yang menakutkan mobilnya di depan gubuk reyot miliknya."Aku kenal mobil itu," jawab Abby, tetapi dia tidak berniat memberitahukan siapa pemiliknya ke pada Dara. Begitu keduanya tiba dan keluar dari mobil. Dara melihat dua orang berdiri di depan rumahnya dan barang-barang miliknya yang sudah berada di luar rumah.Dara melongo tidak percaya dengan apa yang dia lihat. Bahkan wanita paruh baya dengan gayanya yang khas dan tubuh yang masih sangat kokoh dan fit itu terlihat berseteru dengan sang pemilik rumah."Tante Veily? Ada apa ini? Ibu Luri, kenapa barang-barang saya di luar?" Dara yang telah berhasil mendekati mereka, langsung bertanya alasan kenapa barang-barang miliknya seolah terbuang."Masih tanya kenapa! Kamu jelas-jelas tidak bi

  • Dibuang Suami Setelah Menikah   142 : Rumah Spesial

    Dalam ruangan yang tidak terlalu besar, mungkin hanya tujuh kali delapan meter, di sana hanya ada ranjang yang memiliki tiang besi dengan ukiran lawas di bagian atas kepala, dua nakas di samping kanan dan kiri tempat meletakkan lampu tidur dan satu sofa serba guna, atau sofa seribu gaya. Ranjang itu sendiri tidak terlalu besar, dengan ukuran besar. Sempit dan memang itu yang diinginkan oleh pemiliknya. Tidak ada almari di dalam ruangan itu, karena bukan difungsikan untuk serba bisa.Almari dan ruang ganti berada di sebelah kamar utama dengan satu pintu penghubung yang hanya ditutup dengan tirai transparan. Di depan kamar sedikit ke kiri adalah ruang baca yang menyuguhkan pemandangan gunung di depannya. Di ruangan paling ujung adalah kamar mandi dan dapur. Ada satu pintu yang menuju ke kebun sayur dan beberapa buah yang bisa hidup di kaki gunung.Di samping ruang tamu, jendela besar yang terpasang kaca itu, tempat bersantai, membaca buku tentunya yang sudah pasti sungai adalah pemandan

  • Dibuang Suami Setelah Menikah   141 : Hari Istimewa

    Lain rasa bahagia yang dirasakan oleh Dara bersama dengan keluarga barunya. Lain pula apa yang dirasakan Ravella pada keluarganya. Semuanya berubah 180° atau mungkin putaran penuh? 360° atau bagaikan dijungkir balikkan sebuah fakta yang mengejutkan nuraninya? Intinya kehidupannya sudah tidak lagi sama dengan kehidupan yang pernah dia rasa sempurna. Dari kubangan dipungut tercuci bersih dan menyombongkan diri, lupa bahwa dia telah merebut kehidupan bahagia seseorang. Kini, semuanya dikembalikan! Dia tetap akan mengingat bahwa dirinya bukanlah siapa-siapa, yang justru kini harus menanggung beban tetapi orang lain menyebutnya anugerah.Anak— ya! Ravella harus mengurus anaknya seorang diri. Di mana sang ayah mertua meninggal dunia tidak lama setelah dilarikan ke rumah sakit. Sang ibu mertuanya harus syok berat menghadapi kenyataan bahwa dia seorang diri saat ini. Ia juga tidak akan menerima kehadiran Ravella tanpa Raka. Membiarkan wanita itu terkatung-katung tidak jelas bersama cucunya. A

  • Dibuang Suami Setelah Menikah   140 : Penebusan

    Dalam perjalanan pulang mengantar Dara pulang dengan hati yang diliputi rasa malu, Abby bungkam. tidak ada sepatah kata yang keluar kecuali ungkapan maaf."Maafkan aku, Dara. sungguh, kukira Mommy akan luluh saat melihatmu. tapi, dia justru bersikap layaknya manusia paling suci.""Aku sama sekali tidak mempermasalahkan semua ini, Bee. Tidak mudah menerimaku di tengah musibah yang telah terjadi. Kamu tidak seharusnya marah sama ibumu. Kamu tahu bagaimana aku begitu merindukan sosok ibu kan? Maukah kamu kembali ke rumah dan lebih baik kita meminta maaf padanya.""Tidak! dia sudah merendahkanmu, Sayang." Dara menggeleng."Direndahkan tidak selalu rendah kan? Aku punya kamu, aku tidak merasa di rendahkan saat seorang pria membelaku mati-matian. Aku hanya tidak mau hubunganmu dengan Ibu semakin hancur gara-gara aku. Kita kembali, ya?"Menanti beberapa menit untuk menimbang keputusan hingga mobil itu berputar arah kembali ke rumah. Saat kembali membuka pintu yang sempat dua tinggalkan Abby

  • Dibuang Suami Setelah Menikah   139 : Kesadaran

    "Tidak! Aku tidak mau mereka kemari! Kalau pun tetap memaksakan ke sini, ya sudah kamu saja yang layani mereka, Pa!" ketusnya setelah Abrisam menyampaikan jika Abby dan Dara akan ke sini untuk makan malam bersama."Ma! Kenapa kamu sangat membenci Abby? Apa salah dia padamu?" Abrisam duduk di sofa, kemudian menatap tajam istrinya yang masih saja terlihat ketus.Sebetulnya Dayyana juga bingung, jawaban apa yang harus dia lontarkan untuk suaminya. Abby memang anaknya yang cukup baik dan tidak senakal itu sehingga dia tak menyukainya. Hanya saja, mungkin karena dia terlalu menyayangi Aaron membuat dia menomor duakan anaknya yang lain, yakni Abby."Kamu itu ibunya! Kenapa kamu bisa-bisanya bersikap seperti itu pada Abby? Ma, Abby itu anak kita satu-satunya sekarang! Abby satu-satunya penerus keturunan kita! Dia darah daging kita! Abby—""Sejak kecil, Abby selalu kamu bedakan. Padahal dia anak yang baik, Ma. Kenapa bisa-bisanya kamu membeda-bedakan kasih sayang antara Aaron dan Abby? Keduan

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status