Dorr! Dorrr! Dorrr!Ia menarik pelatuk dan melakukan berulang kali. Dirinya sendiri sadar, semakin lama ia melakukan aktivitasnya tanpa henti, tangannya bisa menjadi kaku, paling parah cedera bahunya akan kambuh.Dragon memandang lurus, ia terus menghujani target dengan peluru—walaupun pelurunya khusus untuk latihan, ia menunjukkan emosi bertempur sungguhan. Penutup telinganya tak lagi terlihat, entah sudah terbawa angin atau sengaja dibuang.Manakala ia hendak pindah posisi ke target lain, matanya bersitatap dengan mata Erika yang sedikit marah. Dragon menurunkan pistolnya.“Kata papa kau tidak datang ke peninjauan proyek!” Erika merengut kesal, sekaligus berubah lucu ketika wajah yang jarang terlihat garang itu menunjukkan berang.Dragon hanya tersenyum, sambil berbalik dan kembali menembakkan peluru, ia dengar saja mamanya mengomel.“Dragon! Mama bukan speaker rusak!”“Aku tidak berpikir begitu, ma.” Dragon menjawab lembut, masih sibuk dengan sisa pelurunya.“Trus kenapa k
“Kau siapa?” Dragon bertanya balik. Matanya mengernyit seolah tak suka. Wanita sepertinya mungkin ribuan kali ia lewati dengan wajah yang hampir sama. Munafik. Selain tak begitu mengenalnya, ia paling benci pada wanita yang bertingkah seolah mengenalnya.“Ehmmm ... Aku teman Ruby.”Emily menjadi ragu, kentara sekali dengan wajahnya yang berubah seperti menahan tangis.“Apa kakak mengenal wanita licik itu? Aku ingatkan jangan dekat-dekat padanya, karena dia akan membawa kesialan ke kehidupan kakak.”Emily berkata dengan penuh percaya diri. Ia yakin, Dragon akan melunak padanya karena telah menyelamatkan hidupnya dari cengkeraman Shen.“Sial!”Umpat Dragon keras. Tidak ada yang tahu ia kesal atas alasan apa.“Wanita sepertimu, sekali lihat saja, sudah bisa kutebak.”“Maksud kakak?”Emily kembali ragu. Langkahnya mundur perlahan, wajah tampan Dragon berubah menjadi hawa gelap seketika.“Kau sok keras dengan menginjak orang lain! Padahal aslinya pengecut yang bersembunyi di b
“Shen, meja VIP 1 kosong. Sebentar lagi ada tamu, tolong dibersihkan, ya?”Shen yang baru saja selesai mengantarkan pesanan kembali berjalan. Gelas-gelas, piring, sendok dan garpu yang kotor perlahan ia pindahkan. Tangannya semakin cekatan karena sebelumnya ia pun bekerja di toko mie.Setelah bersih, seseorang datang menyiapkan perkakas makan baru. Agaknya tamu VIP yang dikatakan Griselda, seniornya, sudah sampai. Shen bergegas menyiapkan sentuhan terakhir, namun belum sepenuhnya siap, ia malah terkejut menyaksikan wanita yang berjalan ke arahnya.“Shenina?”Emily tertegun, mengucek matanya untuk memastikan. Bertahun-tahun tak bertemu, akhirnya mereka dipertemukan pada waktu yang tak disangka-sangka. Tadinya ia ingin menghubungi Ruby, tapi tangannya lebih gatal untuk secepatnya menampar mulut wanita itu.“Kau kenal, Em?” Sahut gadis berambut blonde yang nampak seperti blasteran.‘Ah, kenapa harus bertemu Emily di sini, kalau tidak, bakal panjang urusannya’ Shen menyesal dalam ha
“Ibu, apa kita tidak akan bertemu nenek lagi?”Pandangan Lion kecil masih terfokus pada robot Ultraman usang favoritnya. Shen meneliti dengan baik, mungkin ia akan sedih harus berpisah dari mak Odah juga.“Nanti nenek akan sering mengunjungi Onill ke kota, jangan khawatir sayang.” Ucap Shen menenangkan.“Kota itu seperti apa, Bu? Lebih indah daripada kampung kita yah?”“Kota lebih ramai. Onill sudah mau besar kan? Jadi harus punya teman yang banyak.”“OOO, jadi kota itu tempat mencari teman. Apa ada yang mau berteman dengan Onill selain ibu, bibi, dan nenek?”Shenina kembali mengelus kepala putra kecilnya dengan gemas. Tentu saja, anak semanis dia tak mungkin tidak ditemani orang. Mendengarnya bicara saja siapa pun akan luluh.“Pasti, sayang.”“Apa di kota Onill bisa bertemu ayah juga?”Shen mendadak tergagap. Ia tak tahu harus menjawab apa. Ia juga tak tahu mengapa Daniel mempertanyakan soal ayahnya.Sepanjang waktu saat Daniel lahir, setiap orang memilih untuk tidak menyeb
5 Tahun berlalu.Kakinya yang dulu kecil tak berdaya telah mantap melangkah. Lion Daniel menjadi seorang balita lucu kebanggaan semua orang. Parasnya tampan, membuat jantung Shen berdesir, genetik Sky melekat lebih kuat dalam raganya.Matanya berwarna coklat muda, berseri melengkung indah jika hatinya bahagia. Ia gampang tertawa, pandai mengungkapkan rasa cinta, terkhusus kepada ibunya.“Terima kasih, ibuku.”“Sama-sama, sayang.”“Apa ibu akan keluar bekerja lagi?”Mata kecilnya penuh pertanyaan. Shen merasa bersalah, di usianya yang masih butuh kasih sayang penuh darinya, ia malah sibuk bekerja. Tidak ada pilihan, untuk menyambung hidup dan biaya tak terduga di masa depan, ia harus mengambil langkah sekarang.Shen berjongkok. Mensejajarkan tubuhnya dengan putra kecilnya sambil menciumi pipinya beberapa kali. Ia memeluk tubuh mungilnya sambil menatap penuh kasih sayang.“Ibu harus bekerja untuk masa depan Onill.”“Tapi masa depanku kan hanya perlu ibu. Ibu tidak perlu capek b
Semenjak percakapannya dengan Shenina terakhir kali, Sarinah selalu menemaninya sepanjang waktu. Ia khawatir ia merasa sendirian dan mentalnya akan dipukul jatuh. Apalagi tinggal menghitung hari hingga kelahirannya datang.“Sar!”Teriak Shen dari dalam kamar.“Sariii!”Sarinah tergopoh-gopoh. Tangannya yang masih belepotan tanah masuk saja ke dalam kamar. Dilihatnya wajah Shen meringis keasakitan.“Sar, a-air ketubannya pecah ...” Shen mengucap lemas. Seluruh tubuhnya bergetar menahan rasa sakit yang bertumpu pada perutnya.“Ya ampun, Shen! Tu-tunggu!”Sarinah berlari ke luar, menghampiri rumah sebelah mencari bantuan. Mak Odah yang sedang menyiangi berasnya menjadi terkejut mendengar teriakan wanita berusia 30-an itu. Seperti sudah mengetahui apa yang terjadi, mereka berlari ke kamar Shen.“Sarii, cepat panggil mang Udi, suruh bawa mobil!!”“Mang Udi yang mana, Mak?”“Mang Udiii, tetangga sebelah rumahmu yang kerjanya ambil pasir itu. Shen harus segera di bawa ke bidan!”S