Seminggu berlalu setelah kejadian itu, aku dan Akas sering bertemu. Terkadang dia datang berkunjung ke rumahku, atau mengajakku keluar untuk sekedar bertukar cerita sehari-hari. Hanya cerita wajar, namun cukup mengasyikan. Matahari mulai menampakan diri dari tempat semula ia bersembunyi. Menorehkan rasa hangat di pagi yang cukup dingin di hari Minggu ini. Kerumunan pembeli tak kunjung surut, pergi satu, datang lagi yang baru, dan begitulah seterusnya. Mungkin seperti inilah kesibukan Akas di setiap harinya. Terkadang aku merasa iba melihatnya menghadapi para ibu yang tak putus asa menawar barang dagangannya, padahal hampir semua orang yang terbiasa berbelanja ke pasar pun tau, harga di lapak Akas paling murah dibanding dengan pedagang lain.Kendati begitu, aku tak menemukan kekesalan tersirat di wajah bulatnya. Sesekali ia menanggapi para ibu-ibu tersebut dengan candaan. Perlahan, tapi pasti. Kini bak mobil pick up bewarna putih itu mulai lenggang, hanya tersisa sedikit sayuran di
Laju kendaraan membawaku tiba di jalanan depan rumah. Pandanganku menyisir seluruh halaman depan rumah, biasanya Bu Ginah yang letak rumahnya selisih 3 rumah dari rumahku akan beringsut mendekat untuk mengintip siapa laki-laki yang datang ke rumahku.Helaan nafas lega ku hembuskan sembari mengelus dadaku. Netraku tidak mendapati pergerakan yang mencurigakan dari perempuan bertubuh gemuk itu. Aman. Rasa canggung tak henti meruang di dalam dadaku, menyisakan degup-degup tak karuan di bagian jantungku. Jika sebelumnya aku bisa dengan mudah mengucap terimakasih kepada Akas, namun kini tidak. Sekedar menatap wajahnya saja aku enggan. Aku terjebak dilema di antara perasaan kesal, atau rasa tak enak hati karena dia sudah menolongku saat pingsan di halte. Aku merasa berhutang budi pada pemuda yang kini menuruni kendaraanya itu. Tanpa mengucap sepatah katapun, aku melenggangkan kaki untuk segera memasuki rumah. Namun sebuah tarikan kuat di pegelangan tanganku membuat langkahku tercekat. "Su
[Aku tunggu di halte Pasar Sapi ya. Nebeng motor kamu, hehehe] Begitulah pesan dari Mira. yang baru saja aku baca. Sabtu pagi yang cukup cerah. Cuaca sangat sangat mendukung untukku melakukan perjalanan jauh ke lereng Merbabu, salah satu gunung yang terletak di Provinsi Jawa Tengah. Bukan healing alasanku melakukan perjalanan ke sana, melainkan memenuhi undangan acara Saparan yang diadakan di Desa tempat tinggal Akas. Saparan adalah, ritual atau tradisi tahunan yang dilaksanakan pada setiap bulan Sapar. Saparan merupakan tradisi budaya Jawa yang dilakukan sebagai wujud rasa syukur dengan tujuan agar diberikan keselamatan hidup di dunia dan di akhirat. Biasanya, setiap rumah penduduk akan menyajikan beragam makanan, mulai dari makanan ringan sampai makanan berat, dan membiarkan siapapun makan di rumah mereka tanpa terkecuali. Konon, semakin banyak orang yang berkunjung dan makan hidangan yang disuguhkan, rejeki sang tuan rumah akan bertambah banyak.Sewaktu istirahat jam kerja aku
Hari Senin adalah hari yang panjang. Nampaknya ungkapan itu juga berlaku untukku. Sedari pagi aku terus saja mencuri pandang pada jam dinding yang bertengger di sebelah kanan papan target. Jarum jam terasa sangat lambat berpindah ke angka lain, seolah tengah mengejekku.Aku terkesiap saat mendapati sepasang mata tengah mendelik menatapku. Segera aku kembali melanjutkan pekerjaanku yang terasa sangat menjemukan hari ini. Aku menggerakkan tanganku dengan lihai, sedangkan kedua netraku ku usahakan menatap lekat pada pada setiap helaian kain yang aku jahit. Seorang wanita paruh baya bertubuh gendut tengah berkacak pinggang sembari berjalan mendekatiku. Pura-pura aku tetap terfokus pada pekerjaanku untuk menutup perasaan gugup yang menyerang jiwaku. "Kenapa dari tadi lihat-lihat jam terus?!" tanya wanita itu sembari menaikan lengan baju bewarna merah jambu yang ia kenakan. Kini terlihat sangat jelas lengan putih berlemaknya, dengan sebuah tato bunga mawar di lengan kirinya. Sekilas aku
PoV VinaAku memantas diri di depan cermin di meja rias kamarku. Aku menyapukan bedak tipis di wajahku yang bulat ini. Menggunakan lip tint bewarna orange pada bibir tipisku agar wajahku tidak terlihat pucat. Akas akan datang malam ini. Aku berusaha berpenampilan cantik di hadapan pria yang belum lama ini menjadi pacarku, yang belum sepenuhnya aku bisa yakin pada diriku jika aku dan dia benar-benar pacaran. "Kok tumben to, Mbak, pake dandan segala. Mau pergi kemana?" tanya Nuril setelah mendongak ke arahku sekilas. Kedua netra adikku masih terfokus pada gawai miliknya. "Ndak pergi, Ril. Ada yang mau kesini sebentar lagi." jawabku tanpa menjawab secara gamblang siapa yang hendak datang kerumah."Tukang sayur?" sahut Nuril yang sudah bisa menebak. "Iya. Kok tau?" "Apamu sih, dia itu mbak? Bukan pacar kan?" tanya adikku dengan dahi berkerut. Sangat berharap kakak perempuannya ini tidak berpacaran dengan tukang sayur yang ia maksudkan."Hehehe," aku hanya dapat tertawa hambar. Membena
Seharian pikiranku tak karuan. Aku sungguh bimbang bagaimana sebaiknya aku mengambil keputusan. Ajakan Akas untuk menikah, ku rasa sangat tergesa-gesa. Kita belum lama saling mengenal."Ndomblong! Orang kerja kok sempet-sempetnya ngalamun!" seru ketua line untuk kesekian kalinya. Lagi-lagi aku tidak menyadari bahwa sedari tadi perempuan gendut itu terus saja memperhatikan aku selama bekerja. Dengan malas aku memacu mesin jahitku, aku harus menyelesaikan tumpukan pekerjaan yang memang menjadi tanggung jawabku. Beruntung kemampuanku dalam mengoperasikan mesin jahit terbilang sangat mahir. Bel tanda istirahat berbunyi sebelum aku menyelesaikan tumpukan pekerjaanku. Tapi biarlah, aku terlalu malas untuk menyelesaikannya saat ini juga."Vin! Hari ini kamu kena tegur lagi,ada masalah to?" tanya Mira yang muncul secara tiba-tiba di sebelahku."Ya begitulah, Mir. Aku lagi banyak pikiran." jawabku malas tanpa menoleh ke arahnya."Jangan bilang ini soal-""Iya, ini soal laki-laki itu. Kita lan
Hujan mengguyur lebat di senja yang gelap. Aku dan Mira memutuskan untuk tetap pulang hanya bersenjatakan jas hujan plastik yang sengaja aku simpan di dalam jok motor. Selama kepergianku dari rumah juga aku berangkat-pulang kerja selalu bersama Mira. Kenapa pulang dengan Mira? Karena aku menumpang tinggal dirumahnya selama 2 minggu ini.Aku mulai melajukan sepeda motor begitu aku dan temanku sudah menutup diri dengan jas hujan. Mataku terbelalak, saat aku mendapati sosok yang tak asing bagiku sedang berdiri di samping gerbang. Untung masih jauh, tumbuhlah ide untuk meminta Mira saja yang mengemudi di depan."Mir, kamu yang didepan ya, itu ada si Akas disana," ucapku tanpa menoleh ke orang yang aku maksud."Oh, okelah," jawab Mira mengiyakan. "Jangan lupa, nanti aga kencengan begitu sudah sampai di dekat gerbang ya?""Iya, tenang aja,"Aku dan Mira bertukar posisi. Aku lepas helmku dan membalut kepalaku dengan jaket hitam milik Mira, besar harapanku Akas tidak menyadari keberadaanku na
Berdasarkan kesepakatan bersama, telah ditetapkan tanggal 12 Juli 2022 akan menjadi hari pernikahanku dengan Akas. Entah mengapa, perasaanku begitu hambar setiap kali aku bertemu dengannya, atau membalas pesan singkat darinya. Inikah bentuk ujian jelang pernikahan? Atau karena aku memang tidak mencintainya? Entahlah, aku sendiri tak begitu mengerti. Selalu saja aku merasa iba setiap kali menatap wajahnya. Pergantian hari terasa begitu cepat. Itu tandanya, hari pernikahanku juga akan segera tiba. Mengapa aku merasa semakin berdebar? Aku menyadari diriku belum sepenuhnya siap. Tapi aku tidak ingin membuat ibuku kecewa jika aku meminta untuk menunda pernikahan."Sempatkan datang ya," ucapku sembari menyerahkan kartu undangan. Mira menatap undangan itu dengan alis bertaut, seolah tak percaya bahwa nama yang dia baca pada kartu tersebut memanglah namaku. Segera tangannya menyambar undangan yang baru saja ku letakan di mejanya. "Ini betulan kamu, Vin?" tanya Mira dengan mulut menganga. B