Anindya Kirana, gadis cantik berusia 22 tahun, sudah bertahun-tahun bekerja keras di ibu kota demi menghidupi kedua orang tuanya di kampung. Anak tunggal ini rela menunda kebahagiaan pribadinya demi melihat senyum di wajah ayah dan ibunya. Saat sedang menikmati cuti singkat dari pekerjaannya, sebuah kabar mengejutkan datang—ibunya mengabari bahwa sang ayah masuk ICU. Tanpa pikir panjang, Anindya segera memesan tiket dan pulang ke kampung halamannya. Namun, setibanya di sana, alih-alih melihat ayah terbaring lemah, ia malah mendapati pria itu sehat walafiat, duduk santai di teras rumah. Anindya bingung dan merasa dibohongi. Tapi sebelum sempat marah, ibunya justru pecah dalam tangis dan mengungkapkan kenyataan pahit: keluarga mereka terlilit utang sebesar 500 juta rupiah. Sang ayah ditipu saat menjual sawah warisan, dan kini waktu yang tersisa untuk melunasi utang hanya dua minggu. Dalam kepanikan dan putus asa, sang ibu menyampaikan satu-satunya jalan keluar: seorang juragan kaya di desa mereka bersedia menanggung semua utang—dengan syarat Anindya harus menikah dengannya. Kepala Anindya seolah dihantam batu. Cinta, masa depan, dan harga dirinya dipertaruhkan. Di tengah dilema antara keluarga dan kebebasannya, Anindya harus memilih: menolak dan membiarkan orang tuanya kehilangan segalanya, atau menyerahkan takdirnya pada lelaki yang bahkan belum tentu dikenalnya.
Lihat lebih banyakBab 1
Hujan baru saja reda. Udara malam terasa dingin, dan jalanan masih mengkilap oleh sisa genangan. Anindya berjalan cepat menuju kontrakannya yang mungil, tubuhnya letih setelah seharian di kantor dan makan malam bersama teman-teman. Begitu masuk, ia melepas sepatu dengan gerakan lelah, meletakkan tas di lantai, lalu menjatuhkan diri ke kasur. Nafasnya berhembus pelan. Ponselnya mati sejak sore, kehabisan daya dan tak sempat ia pedulikan. Ia bangkit sebentar, mencolokkan charger ke soket dan menancapkannya ke ponsel yang tergeletak di meja. Lalu, tanpa menunggu layar menyala, Anindya melangkah ke kamar mandi. Air hangat mengalir membasuh tubuh yang pegal. Wangi sabun dan uap menyelimuti ruang. Anindya melakukan ritual malamnya: pembersih wajah, toner, serum, pelembap. Gerakannya pelan, penuh perhatian, seakan memberi kasih pada dirinya sendiri. Tangannya meluncur lembut di kulit yang licin dan putih mulus—hasil dari perawatan rutin bertahun-tahun. Setelah selesai, ia mengambil ponselnya. Layar menyala. Dan langsung disambut notifikasi bertubi-tubi. 17 panggilan tak terjawab – Ibu Jantung Anindya mencelup ke perasaan tak enak. Jarang sekali ibunya menelepon lebih dari dua kali. Ia langsung menekan tombol hijau, menyambungkan panggilan. “HALO, IBU?” katanya cepat, panik. Panggilan tersambung. Suara ibunya muncul, langsung meledak. “Anindya! Sampeyan ki piye tho, nduk?! Ibu nelpon berkali-kali kok nggak diangkat?! Orang tua nelpon kok dibiarin, yo Allah…!” “Ibu, maaf, HP Anin mati tadi! Baru nyampe rumah, langsung ngecas! Tadi makan di luar sama temen kantor, HP-nya mati total, Bu, beneran—” “Alasan wae kamu. Sampeyan mikir nggak sih, kalo ada apa-apa di sini?!” suara ibu makin tinggi, cempreng karena emosi. Tapi di balik marah itu, ada ketakutan yang mengendap. “Ibu, maaf… maaf ya, Bu. Sekarang udah nyala HP-nya, ada apa memangnya?” Tiba-tiba, suara di seberang berubah. Ibu berseru kaget. “Pak! Pak! Astaghfirullah, Pak—!” “Bu?! ADA APA?!” Anindya berdiri dari tempat duduk. Kakinya langsung lemas. “Pakmu, nduk… Pakmu… PINGSAN! Astaghfirullah, PAK! PAK…!” Lalu telepon terputus. Detik itu juga dunia Anindya membeku. Ia coba menelepon balik. Sekali. Dua kali. Tiga. Baru tersambung. “Ibu! Ibu, gimana?!” “ICU, nduk… Bapakmu masuk ICU…” suara ibu terisak. “Dari tadi nyebut-nyebut namamu terus. Anindya... Anindya...” Hati Anindya terasa digenggam tangan besi, diremas perlahan tapi menyakitkan. Napasnya terputus-putus. Tangannya bergetar. “Bu… aku pulang sekarang.” “Iya, nduk… cepetan. Ibu takut…” Telepon berakhir. Anindya terdiam, lalu berdiri cepat. Ia membuka lemari, menarik koper kecil, memasukkan baju seadanya, skincare yang masih hangat menempel di wajah tak lagi penting. Dia ganti pakaian, ambil dompet, charger, dan paspor—padahal tidak butuh. Sepuluh menit kemudian Anindya sudah duduk dalam taksi online, memeluk tas di pangkuannya seperti pelampung. Jakarta masih ramai. Lampu-lampu jalan terlihat terlalu cerah untuk hati yang sedang sekarat rasa. Sopir tak banyak bicara, hanya melirik dari spion. “Mbak mau ke stasiun mana?” “Gambir.” “Kereta jam berapa?” “Belum tahu. Yang paling cepat ke Semarang. Apa aja.” Sopir hanya mengangguk. Sepanjang perjalanan, Anindya membuka aplikasi pemesanan tiket. Tangan gemetar. Akun login, password salah, ulangi, akhirnya masuk. Kereta paling cepat: Taksaka malam. Berangkat 21.45. Masih bisa. Ia pesan satu tiket. Selesai. Lalu ia mengetik pesan cepat untuk Dita—sahabat terdekatnya sejak pertama kali bekerja di ibu kota. Anin: Dit, Bapak masuk ICU. Aku sekarang pulang ke Semarang. Pesan terkirim. Tak lama, centang biru. Dita: YA ALLAH, Anin 😭 kamu kuat ya… butuh bantuan? Aku bisa ke stasiun? Anin: Nggak usah… makasih ya. Doain Bapakku. Stasiun Gambir menyambut dengan lampu terang dan deru pengumuman. Orang-orang sibuk menyeret koper, mencari gate. Tapi buat Anindya, semuanya samar. Langkahnya seperti orang mengambang. Ia masuk ke ruang tunggu. Duduk sendiri. Menatap layar besar berisi jadwal kereta. Taksaka Malam — ON TIME. Waktu bergerak, tapi jiwanya tertinggal di kamar kontrakan. tempat tidur yang berantakan belum sempat Anin bereskan. Ponselnya bergetar. Telepon masuk. Ibu. “Halo, Bu. Gimana Bapak?” “Masih diobservasi, nduk… Dokternya bilang harus dijaga ketat. Jantungnya lemah banget. Tapi… pas sadar sebentar, beliau bilang: ‘Anin wis mulih durung?’…” Suara ibu pecah. Di seberangnya, Anindya menutup mata, menahan air yang sudah tak bisa lagi ditampung kelopaknya. “Iya Bu… aku otw. Di stasiun sekarang. Naik kereta jam sembilan lebih.” “Ati-ati ya, nduk. Ibu tunggu.”Bab 25.Pagi itu langit mendung, tapi suasana kampung tetap hidup. Anak-anak bermain sepeda di jalanan kecil, ibu-ibu sibuk menjemur pakaian, dan suara ayam bersahutan dari kandang belakang rumah warga. Bu Minah, dengan daster batik dan kerudung tipis yang dililit asal, baru saja memberikan uang kebersihan kepada pemuda desa yang datang menagih iuran rutin.“Makasih ya, Buk,” ucap pemuda itu, tersenyum ramah.“Sami-sami, Le. Sing semangat bersih-bersih desane,” balas Bu Minah, senyum tipis menghiasi wajahnya yang mulai berkeriput.Pemuda itu melanjutkan langkahnya menuju rumah tetangga sebelah, dan Bu Minah pun kembali memperhatikan pot bunga kesayangannya yang baru saja ia siram tadi pagi—pot besar berisi anggrek bulan, ditaruh rapi di tepi halaman rumahnya.Tiba-tiba…Brakkk!Sebuah sepeda kecil melaju kencang dan menabrak pot bunga itu. Potnya pecah, tanah berhamburan, dan si anak laki-laki jatuh terguling di tanah sambil menangis kencang.“Hehh! Astaghfirullah!” teriak Bu Minah pa
Bab 24.Anin melirik jam di handphone-nya. Sudah hampir pukul dua siang. Uap dari nasi yang tadi mengepul hangat perlahan menghilang, menyisakan dingin di meja makan. Ayam goreng yang digorengnya sebelum dzuhur sudah tak lagi renyah. Sambal tomat buatan sendiri pun mulai mengering di pinggir piring kecil.Ia duduk di kursi, diam. Tidak ada suara selain denting jam dinding dan bunyi kipas angin yang menderu pelan. Tangannya menahan dagu, matanya sayu. Arjuna belum juga pulang.Anin menghela napas berat. Ia tahu suaminya sibuk. Tapi tetap saja, ada rasa kesal. Tak ada kabar, tak ada pesan, hanya menunggu dan menunggu sampai rasa lapar berubah menjadi malas.Tak lama kemudian, suara berat memecah kesunyian.“Assalamualaikum…” suara Arjuna terdengar dari luar.Anin menjawab pelan, “Waalaikumsalam.”Arjuna masuk dengan langkah santai. Tanpa banyak bicara, ia langsung menuju kamar mandi. Seperti kebiasaannya, walaupun hanya duduk di ruang kerja atau keliling kandang, Arjuna tetap mencuci ta
Bab 23.Pagi itu, matahari baru saja naik malu-malu di balik bukit. Anin sudah bangun sejak Subuh, menyiapkan sarapan untuk Arjuna: nasi hangat, tempe goreng, dan sambal tomat kesukaan suaminya. Setelah Arjuna berangkat ke sawah, Anin membereskan dapur sebentar, lalu mengisi alat penyiram tanaman dari keran di samping rumah.Sambil bersenandung kecil, ia menyiram koleksi bunga yang ia tanam di luar pagar: mawar merah, kenanga, dan beberapa pot bunga krisan yang baru ia beli dari pasar minggu lalu. Tanah masih basah, aroma embun bercampur wangi bunga menyeruak pelan.Di seberang jalan, seorang ibu-ibu dengan daster batik berjalan sambil menenteng belanjaan di tangan kiri. Wajahnya terlihat lelah tapi semangat. Ia melambai ketika melihat Anin.“Eh Anin, lagi nyiram bunga ya?” sapa Bu Sri, tetangga depan rumah yang terkenal cerewet tapi juga cepat akrab.“Iya Bu, biar nggak layu,” jawab Anin ramah.Bu Sri melangkah pelan mendekat, meletakkan kantong belanjaan di pinggir jalan, lalu memic
Bab 22. Di dalam kamar yang luas dan hangat, Arjuna membungkuk di depan lemari, memutar kombinasi angka di brankas kecil miliknya. Suara klik terdengar saat kunci terbuka, dan pintu besi pelan-pelan terbuka, memperlihatkan beberapa bundel uang yang disusun rapi. Di sofa sudut kamar, Anin duduk bersila, memainkan jari-jarinya sambil memperhatikan suaminya. Hembusan angin dari celah tirai membuat kain itu berkibar pelan. "Tirainya ditutup dulu, Dek," ujar Arjuna tanpa menoleh. "Nanti ada tuyul yang masuk." Anin tertawa kecil. “Iya, Mas. Siap.” Ia berdiri dan menarik tirai tebal itu sampai menutup sempurna. Kamar menjadi sedikit lebih redup, tapi tetap nyaman. Arjuna meletakkan dua bundel uang di atas meja kecil di hadapan Anin. "Ini untuk kebutuhan bulan ini," ucapnya singkat. Anin bergeser, duduk lebih dekat. Ia membagi uang itu dengan telaten. “Yang ini untuk makan,” ujarnya sambil menyisihkan sebagian. “Ini buat kebetulan rumah. Yang ini pakan ternak, dan ini pupuk.” Arj
Bab 21.Matahari sudah tinggi ketika Arjuna terbangun, lalu terkesiap melihat jam di dinding.“Dek... kita kesiangan,” gumamnya seraya bangkit dari tempat tidur.Anin, yang masih malas membuka mata, hanya berguling pelan. “Iya mas. Aku enggak sempat masak.”Arjuna mengenakan kaos dan celana santai. “Mas ke warung depan ya, beli sarapan dulu. Kamu beresin kamar aja.”“Hmm, iya mas... hati-hati,” jawab Anin sambil duduk di pinggir ranjang, menyisir rambut dengan jari.Setelah Arjuna keluar, Anin mulai membereskan tempat tidur. Ia merapikan bantal, menarik sprei, dan menata selimut. Tapi saat ia berjalan ke sisi ranjang tempat Arjuna biasanya tidur, matanya menangkap sesuatu yang tergeletak di meja kecil.Dompet kulit kecokelatan.“Mas pasti lupa bawa dompet,” gumamnya.Ia mengambil dompet itu, niatnya hanya ingin mengantarkan. Tapi jemarinya berhenti di sana. Ada rasa penasaran yang menggelitik, entah datang dari mana. “Cuma lihat sebentar, kok. Kan ini dompet suami sendiri...” bisikny
Bab 20.Angin lembut mengayun dedaunan, membawa suara jangkrik dan aroma tanah yang lembab selepas petang. Di teras rumah, Arjuna dan Anin duduk berdampingan. Lampu mewah menggantung cantik di teras rumah, memantulkan cahaya lembut di wajah pasangan pasutri itu.Arjuna menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi, mengusap pelan tengkuknya yang terasa pegal setelah seharian beraktivitas. Anin duduk tenang di sebelahnya, tangannya diletakkan di sandaran tangan kursi, sambil sesekali menatap langit yang mulai menghitam sempurna.“Beberapa kambing tadi pagi lahiran, Dek,” ucap Arjuna memecah keheningan. Senyumnya mengembang, suaranya tenang seperti biasa.Anin menoleh, bibirnya tersenyum kecil. “Alhamdulillah... banyak, Mas?”“Empat ekor. Semuanya sehat. Yang dua kembar. Nanti kamu lihat deh, lucu-lucu.”Anin mengangguk, tapi senyumnya tak bertahan lama. Matanya kembali menerawang jauh ke depan, ke arah jalan desa yang kini sepi. Di kepalanya, suara-suara asing bergaung kata-kata yang men
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen