Istri Kesayangan Juragan

Istri Kesayangan Juragan

last updateTerakhir Diperbarui : 2025-06-18
Oleh:  Peonny274Baru saja diperbarui
Bahasa: Bahasa_indonesia
goodnovel18goodnovel
Belum ada penilaian
7Bab
6Dibaca
Baca
Tambahkan

Share:  

Lapor
Ringkasan
Katalog
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi

Anindya Kirana, gadis cantik berusia 22 tahun, sudah bertahun-tahun bekerja keras di ibu kota demi menghidupi kedua orang tuanya di kampung. Anak tunggal ini rela menunda kebahagiaan pribadinya demi melihat senyum di wajah ayah dan ibunya. Saat sedang menikmati cuti singkat dari pekerjaannya, sebuah kabar mengejutkan datang—ibunya mengabari bahwa sang ayah masuk ICU. Tanpa pikir panjang, Anindya segera memesan tiket dan pulang ke kampung halamannya. Namun, setibanya di sana, alih-alih melihat ayah terbaring lemah, ia malah mendapati pria itu sehat walafiat, duduk santai di teras rumah. Anindya bingung dan merasa dibohongi. Tapi sebelum sempat marah, ibunya justru pecah dalam tangis dan mengungkapkan kenyataan pahit: keluarga mereka terlilit utang sebesar 500 juta rupiah. Sang ayah ditipu saat menjual sawah warisan, dan kini waktu yang tersisa untuk melunasi utang hanya dua minggu. Dalam kepanikan dan putus asa, sang ibu menyampaikan satu-satunya jalan keluar: seorang juragan kaya di desa mereka bersedia menanggung semua utang—dengan syarat Anindya harus menikah dengannya. Kepala Anindya seolah dihantam batu. Cinta, masa depan, dan harga dirinya dipertaruhkan. Di tengah dilema antara keluarga dan kebebasannya, Anindya harus memilih: menolak dan membiarkan orang tuanya kehilangan segalanya, atau menyerahkan takdirnya pada lelaki yang bahkan belum tentu dikenalnya.

Lihat lebih banyak

Bab 1

Taksaka Menuju Semarang

Bab 1

Hujan baru saja reda. Udara malam terasa dingin, dan jalanan masih mengkilap oleh sisa genangan. Anindya berjalan cepat menuju kontrakannya yang mungil, tubuhnya letih setelah seharian di kantor dan makan malam bersama teman-teman.

Begitu masuk, ia melepas sepatu dengan

gerakan lelah, meletakkan tas di lantai, lalu menjatuhkan diri ke kasur. Nafasnya berhembus pelan.

Ponselnya mati sejak sore, kehabisan daya dan tak sempat ia pedulikan.

Ia bangkit sebentar, mencolokkan charger ke soket dan menancapkannya ke ponsel yang tergeletak di meja.

Lalu, tanpa menunggu layar menyala, Anindya melangkah ke kamar mandi.

Air hangat mengalir membasuh tubuh yang pegal. Wangi sabun dan uap menyelimuti ruang. Anindya melakukan ritual malamnya: pembersih wajah, toner, serum, pelembap. Gerakannya pelan, penuh perhatian, seakan memberi kasih pada dirinya sendiri. Tangannya meluncur lembut di kulit yang licin dan putih mulus—hasil dari perawatan rutin bertahun-tahun.

Setelah selesai, ia mengambil ponselnya.

Layar menyala. Dan langsung disambut notifikasi bertubi-tubi.

17 panggilan tak terjawab – Ibu

Jantung Anindya mencelup ke perasaan tak enak. Jarang sekali ibunya menelepon lebih dari dua kali. Ia langsung menekan tombol hijau, menyambungkan panggilan.

“HALO, IBU?” katanya cepat, panik.

Panggilan tersambung. Suara ibunya muncul, langsung meledak.

“Anindya! Sampeyan ki piye tho, nduk?! Ibu nelpon berkali-kali kok nggak diangkat?! Orang tua nelpon kok dibiarin, yo Allah…!”

“Ibu, maaf, HP Anin mati tadi! Baru nyampe rumah, langsung ngecas! Tadi makan di luar sama temen kantor, HP-nya mati total, Bu, beneran—”

“Alasan wae kamu. Sampeyan mikir nggak sih, kalo ada apa-apa di sini?!” suara ibu makin tinggi, cempreng karena emosi. Tapi di balik marah itu, ada ketakutan yang mengendap.

“Ibu, maaf… maaf ya, Bu. Sekarang udah nyala HP-nya, ada apa memangnya?”

Tiba-tiba, suara di seberang berubah. Ibu berseru kaget. “Pak! Pak! Astaghfirullah, Pak—!”

“Bu?! ADA APA?!” Anindya berdiri dari tempat duduk. Kakinya langsung lemas.

“Pakmu, nduk… Pakmu… PINGSAN! Astaghfirullah, PAK! PAK…!”

Lalu telepon terputus.

Detik itu juga dunia Anindya membeku. Ia coba menelepon balik. Sekali. Dua kali. Tiga. Baru tersambung.

“Ibu! Ibu, gimana?!”

“ICU, nduk… Bapakmu masuk ICU…” suara ibu terisak. “Dari tadi nyebut-nyebut namamu terus. Anindya... Anindya...”

Hati Anindya terasa digenggam tangan besi, diremas perlahan tapi menyakitkan. Napasnya terputus-putus. Tangannya bergetar.

“Bu… aku pulang sekarang.”

“Iya, nduk… cepetan. Ibu takut…”

Telepon berakhir. Anindya terdiam, lalu berdiri cepat. Ia membuka lemari, menarik koper kecil, memasukkan baju seadanya, skincare yang masih hangat menempel di wajah tak lagi penting. Dia ganti pakaian, ambil dompet, charger, dan paspor—padahal tidak butuh.

Sepuluh menit kemudian Anindya sudah duduk dalam taksi online, memeluk tas di pangkuannya seperti pelampung. Jakarta masih ramai. Lampu-lampu jalan terlihat terlalu cerah untuk hati yang sedang sekarat rasa.

Sopir tak banyak bicara, hanya melirik dari spion.

“Mbak mau ke stasiun mana?”

“Gambir.”

“Kereta jam berapa?”

“Belum tahu. Yang paling cepat ke Semarang. Apa aja.”

Sopir hanya mengangguk.

Sepanjang perjalanan, Anindya membuka aplikasi pemesanan tiket. Tangan gemetar. Akun login, password salah, ulangi, akhirnya masuk.

Kereta paling cepat: Taksaka malam. Berangkat 21.45. Masih bisa.

Ia pesan satu tiket. Selesai.

Lalu ia mengetik pesan cepat untuk Dita—sahabat terdekatnya sejak pertama kali bekerja di ibu kota.

Anin: Dit, Bapak masuk ICU. Aku sekarang pulang ke Semarang.

Pesan terkirim. Tak lama, centang biru.

Dita: YA ALLAH, Anin 😭 kamu kuat ya… butuh bantuan? Aku bisa ke stasiun?

Anin: Nggak usah… makasih ya. Doain Bapakku.

Stasiun Gambir menyambut dengan lampu terang dan deru pengumuman. Orang-orang sibuk menyeret koper, mencari gate. Tapi buat Anindya, semuanya samar. Langkahnya seperti orang mengambang.

Ia masuk ke ruang tunggu. Duduk sendiri. Menatap layar besar berisi jadwal kereta. Taksaka Malam — ON TIME.

Waktu bergerak, tapi jiwanya tertinggal di kamar kontrakan. tempat tidur yang berantakan belum sempat Anin bereskan.

Ponselnya bergetar. Telepon masuk.

Ibu.

“Halo, Bu. Gimana Bapak?”

“Masih diobservasi, nduk… Dokternya bilang harus dijaga ketat. Jantungnya lemah banget. Tapi… pas sadar sebentar, beliau bilang: ‘Anin wis mulih durung?’…”

Suara ibu pecah. Di seberangnya, Anindya menutup mata, menahan air yang sudah tak bisa lagi ditampung kelopaknya.

“Iya Bu… aku otw. Di stasiun sekarang. Naik kereta jam sembilan lebih.”

“Ati-ati ya, nduk. Ibu tunggu.”

Tampilkan Lebih Banyak
Bab Selanjutnya
Unduh

Bab terbaru

Bab Lainnya

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Komen

Tidak ada komentar
7 Bab
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status