Aku tidak menyangka, pernikahan yang sangat ingin aku jalani seumur hidup sekali itu sering kali diterpa badai-badai masalah dan pertengkaran. Entah itu dengan ibu mertuaku, atau dengan suamiku sendiri. Suami yang seharusnya melindungi dan membelaku, lebih memihak kepada ibu mertua yang acapkali ikut campur urusan rumah tangga kami. Berulang kali aku mengajak suamiku untuk keluar dari rumah mertua, tetapi suamiku selalu menolak. *** Aku sangat ingin menyudahi rumah tanggaku yang jauh dari kata sehat ini, dan kembali menjalani hidup bersama keluarga asalku. Namun, betapa terkejutnya aku saat mendapati alat tes kehamilan menunjukan dua garis merah yang berjejer rukun! Haruskah ku urungkan niat bercerai dari suamiku? ***
Voir plusNamaku Vina Ambarwati Sutrisna, biasa dipanggil Vina. Saat ini aku tengah menginjak usia ke 23 tahun.
Hari-hari yang aku jalani selalu dipenuhi dengan riuhan suara mesin jahit, itu karena aku bekerja di suatu pabrik garment besar yang terletak di batas kota tempatku tinggal. Sedari lulus sekolah aku hanya menghabiskan waktuku untuk bekerja, suntuk rasanya. Aku ingin menghabiskan waktu ahir pekan dengan pacar seperti yang dilakukan teman-teman perempuanku yang lain. Tapi aku cukup ragu untuk memasuki dunia pacaran, aku sama sekali tidak berpengalaman tentang hal itu.*** "Aku gedek, adik sepupuku minta dicarikan kenalan melulu, di kiranya mbaknya ini biro jodoh apa!" ucap Mira memonyongkon bibir mungilnya sembari memaiknan sendok dan garpu di mangkuk bakso yang baru saja dia pesan.Mira Dwi Sulistiyani, dia sahabatku sedari pertama aku datang di pabrik ini. Dia cantik, bertubuh mungil, dan juga centil. Kadang juga sok tau, salah satu kebiasaanya yang cukup membuat aku kesal."Carikan lah!", jawabku cuek tanpa menoleh ke arahnya. Aku terlalu asyik mengecapi makanan yang aku pesan dari ibu kantin."Oh, iya. Setauku kamu kan jomblo ya sejak embrio? Kalau kamu aja gimana? Baik kok anaknya, tajir!" mata Miraa membulat sambil mengacungkan jempol tangan kananya, seolah meyakinkan aku untuk mengiyakan tawarannya.Aku memutar bola mataku untuk menunjukan penolakan atas tawaranya. Males. Kembali mengecapi bakso milikku, namun tidak dapat dipungkiri. Dalam hati aku berpikir, bagaimana kalau ku terima saja tawaran itu? Siapa tau laki-laki memang jodohku."Ya? Ya?", desaknya sembari menyeringai."Iya, deh! Iya!" jawabku kesal, meski sebenarnya aku memang penasaran dengan laki-laki yang hendak dikenalkan denganku.***[Malam, Mbak! Salam kenal, aku saudara dari Mira,]Satu pesan masuk ke ponselku saat aku tengah membuka sosial media milikku. Alisku mengkernyit. Ku ketuk-ketuk kepalaku dengan jari telunjuk, memikirkan bagaimana sebaiknya aku menjawab pesan laki-laki itu?[Oh, iya. Salam kenal!], jawabku akhirnya.Tanda check list abu-abu berubah menjadi biru, pesanku langsung dibaca saat itu juga.[Namaku Fahri :)], tidak langsung ku balas, rasa penasaranku menggerakan ibu jari tangan untuk mengklik foto kontaknya. Seorang laki-laki dengan tubuh kurus, kulit coklat, dengan bentuk wajah yang tirus. Sangat jauh dari ciri-ciri pria idamanku! Tak mengapalah, itung-itung nambah kenalan.[Namaku, Vina.]Rasanya canggung berbasa-basi seperti ini. Tapi biarlah, nggak ada salahnya aku mencoba berkenalan dengan laki-laki.[Ahir pekan ada acara nggak? Saya ingin ketemu, kalau kamu mau.]Ini lagi, baru juga saling berbalas pesan, sudah ngajakin ketemuan aja! Tapi ada yang aneh, jantungku berdegup kencang saat kembali membaca kalimat, 'saya ingin ketemu'. Bagaimana ini? Atau sebaiknya aku tanya ke Emak ya baiknya gimana? Ah, jangan, aku malu![Iya, kita ketemu di rumah Mira.] Balasku akhirnya. Tapi hatiku gusar, bagaimana kira-kira nanti saat aku benar-benar bertemu langsung dengan laki-laki itu? "Huuuaaaa!" teriaku secara tak sadar membuat adikku kaget."Opo sih, Mbak, wong edan!", wajah adik ku sangat lucu setiap kali aku berulah, membuatku semakin terpancing untuk bertingkah jail.Namanya Nuril Nur Maulida, berusia 17 tahun dengan tinggi badan 157 senti. Berperawakan kurus dengan wajah judes, dia juga introvert. Dia satu-satunya saudara kandung yang aku punya."Oy! Oy! Oy!", teriakku kemudian sembari mencubit-cubit ketiaknya."Hiiissshhh!", kini matanya melotot.Plakk! satu tepukan mendarat di pahaku, cukup perih. Aku sadar kali ini dia benar-benar marah, sudah saatnya aku menjauh.Dengan sigap aku berdiri dan berlari keluar kamar, diikuti Nuril yang dengan sigap mengejarku."Emak!!" teriakku meminta pembelaan. Aku bersembunyi dibalik punggung ibuku."Pada ngapain?! Teriak malam-malam, malu sama tetangga! Malu!" Ibuku mengomel tanpa menoleh. Tanganya tengah sibuk menjahit baju sobek yang biasa dia kenakan untuk berkebun."Mbak Vina, Mak! Teriak-teriak tepat ditelinga aku! Bikin kesel, orang lagi serius ngapalin, kemari kau!" ucap Nuril dengan berkacak pinggang seolah menantang."Aahi hi hi hi ..." jawabku menggoda yang membuatnya tambah kesal.Emak hanya menggeleng melihat kelakuan kami. Aku melihat adikku kembali memasuki kamar kami berdua. Situasi cukup aman untuk saat ini. Aku hanya perlu masuk kamar ketika adikku sudah tidur terlelap, demi menghindari balas dendam yang akan dilakukanya."Vin, kamu sudah cukup umur untuk menikah. Kira-kira mau sampai kapan kamu sendiri? Teman-temanmu yang lain sudah pada ngasih cucu buat orang tua mereka, kapan giliran Emak, Vin?" pertanyaan Emak sekatika membuat aku merasa tak nyaman.Situasi seperti ini selalu saja terulang. Memang di daerahku anak seusiaku kebanyakan sudah menikah dan memiliki anak, tapi aku tidak ingin terburu-buru!"Kalau sudah ketemu jodoh ya Vina nikah, Mak. Emak nggak usah kawatir!" jawabku kesal.Aku beranjak dari posisi dudukku. Berjalan ke kamar meninggalkan Emak sendirian di depan tv. Aku melihat adikku kembali melanjutkan hafalan yang tadi sempat terjeda karena gangguan dariku.Melihatku berwajah masam membuat adikku segan untuk malanjutkan perdebatan kami. Dia membiarkanku berbaring disebelahnya."Disuruh nikah lagi?" tanya Nuril sembari membolak-balikan halaman buku yang ada di tanganya."Iyo! Moodku ancur, Ril!" tanganku meraih selimut untuk menutup seluruh tubuku.Aku tidak ingin menampakan kesedihanku di depan saudara perempuan kandungku satu-satunya ini. Meskipun kami sering berdebat, sebenarnya aku sangat menyayanginya.***"Vin, aku langsung pulang ya? Ada pesanan sayuran untuk acara hajatan." Ucap suamiku begitu mobil yang kami kendarai tiba di jalanan beraspal, tepat di depan pekarangan rumahku. "Iya." Jawabku singkat, tanpa mempertanyakan atau pun sekedar berbasa-basi meminta suamiku singgah sebentar di rumah orang tuaku. Aku langsung melenggang memasuki pekarangan rumah tanpa mempedulikan suamiku lagi. Aku hanya ingin segera menatap wajah keluarga yang sangat aku rindukan. Mungkin baru tiga bulan aku tidak menginjakkan kaki di rumah yang menjadi saksi bisu tumbuh dan berkembangku dalam asuhan orang tuaku, tetapi rasanya setara satu tahun. Langkahku terasa berat saat aku memasuki rumah orang tua yang selalu menjadi tempat perlindungan dan kehangatan di masa lalu. Namun, kali ini, aku datang dengan hati yang hancur dan beban yang tak tertahankan. Aku membutuhkan dukungan dan kekuatan dari keluargaku untuk menghadapi kenyataan pahit yang baru saja kudapati. "Assalamu'alaikum," aku mengucapkan
Siang itu aku baru saja selesai menjemur cucian di halaman rumah, dan disaat bersamaan aku melihat ibu mertuaku turun dari motor tukang ojek. Beliau berlalu begitu saja seolah tidak ada orang di sana. Kebetulan suamiku belum pulang, aku berpikir untuk memberi tahu ibu mertuaku tentang masalah berat yang sedang aku alami. "Sudah pulang, Mbok," sapaku saat berlalu melintasi ibu mertua yang sedang bersandar di kursi sembari memainkan ponsel. "Hem," ketus, singkat, dan padat. Memang seperti itulah kebiasaan ibu mertua jika aku menyapanya. Tak mengapa, mungkin setelah aku menceritakan borok suamiku, ibu mertua akan sedikit berbaik hati padaku. Aku memutuskan untuk memberi tahu ibu mertuaku tentang foto tak senonoh Akas dengan Witri. Meskipun aku takut dengan reaksi ibu mertuaku, aku merasa bahwa kejujuran adalah langkah pertama yang harus aku ambil. "Mbok, ada yang ingin saya kasih tau sama si Mbok." ucapku seraya berjalan mendekat dan duduk di kursi sebelah mertuaku. Sorot mata
Malam semakin larut, suasana di rumah terasa hening. Suara jangkrik bersahutan terdengar nyaring mengisi keheningan malam. Aku yang tadinya menatap bintang di langit dan menyampaikan perasaan rinduku akan kebersamaan dengan keluargaku akhirnya menutup jendela kamar saat angin dingin menggigit kulit. Saat aku berbalik badan dan berjalan menuju ranjang, ku dapati Akas sedang memainkan ponselnya. Apa yang sedang dia lakukan? Entahlah, aku tidak ingin terlalu memikirkan apa yang menarik dari ponselnya saat ini. Pikiranku terlalu penuh dengan tubuh sempurna Witri yang hanya menggunakan pakaian dalam di dalam galeri ponsel suamiku. Aku berbaring memunggungi Akas dan memaksa mataku untuk memejam. Bayangan akan kebersamaan di kampung asalku bersama orang tua dan adikku Nuril terlintas di hati yang membuatku semakin rindu. Huh, seandainya dulu aku tau akan jadi seperti ini, mungkin aku akan berbuat tega terhadap Akas dan menolakpinangannya apapun yang terjadi. Tetapi nasi sudah menjadi
Aku duduk di samping tempat tidur, mataku terpaku pada ponsel suamiku yang tergeletak di atas nakas. Suamiku sudah tertidur pulas di sebelahku. Seperti yang sudah ku rencanakan sebelumnya, aku akan mengecek isi ponselnya untuk mencari bukti terkait kecurigaanku. Aku segera meraih ponsel Akas yang sedari tadi menarik perhatianku. Aku segera membuka ponselnya yang ternyata masih menggunakan kata sandi yang sama. Aku berharap Akas tak menyadari bahwa aku sedang menelusuri pesan dan foto-foto yang tersembunyi di dalam ponselnya. Dalam diam, hatiku berdebar kencang ketika aku menemukan sesuatu yang membuatku terdiam. Ada banyak foto yang menarik perhatianku. Foto itu menampilkan Akas berpose mesra dengan seorang wanita setengah telanjang, hanya menggunakan setelan pakaian dalam berwarna merah muda. Wanita itu tak lain adalah Witri, wanita dari masalalu Akas. Tangan Akas dan kecupan bibirnya di atas buah dada wanita itu membuat perutku berdesir. Aku mengambil ponselku untuk memfoto satu
PoV Vina Malam itu mataku enggan terpejam. Pikiran bahwa suamiku sedang berbuat hal buruk di luar sana terus menghantui otakku. Sebenarnya aku tidak ingin berburuk sangka, tetapi kejadian beberapa bulan lalu sudah cukup membuatku sulit percaya sepenuhnya pada suamiku. Aku baru saja menyeduh teh celup di dapur untuk menemaniku malam ini. Dan setelah beberapa saat, mertua perempuanku keluar dari arah kamar mandi dan manatapku penuh tanya. "Jam segini, kenapa kamu belum tidur? Besok pagi kamu harus nyuci, Vin," ibu mertu mencebik. Sudah bukan hal baru bagiku. Setelah aku resign dari pekerjaanku, keluarga suamiku semakin memperlakukanku selayaknya pembantu. Pakaian kotor satu keluarga dibebankan padaku, memasak, dan membersihkan rumah, semua menjadi tanggung jawabku tanpa ada campur tangan mereka untuk membantuku sedikitpun. "Pengennya tidur sih, Mbok. Tapi kepikiran. Mas Akas ditelepon nggak diangkat." jawabku sembari meletakkan sendok teh yang semula ku pakai untuk mengaduk
Kehidupan penuh romansa antara aku dan suamiku tampaknya hanya berlangsung selama sebulan. Akhir-akhir ini dia sering keluar malam bersama teman-temannya, seperti yang menjadi kebiasaannya dulu.Sebenarnya aku ingin sesekali diajaknya nongkrong bersama teman-temannya. Aku ingin tahu, apakah Akas malu atau tidak memperkenalkan aku pada teman-temannya. Aku penasaran seperti apa pergaulannya di luar rumah.Aku baru saja selesai menyapu halaman. Jam menunjukan pukul 6 pagi saat aku melihat jam dinding di ruang tamu. Aku duduk sejenak di teras sembari menikmati udara pagi yang masih sangat sejuk. Suara derap kaki menarik perhatianku untuk melihat ke arah sumber suara. Dan aku pun langsung mengernyitkan dahi begitu mendapati suamiku sudah berpakaian rapih sembari membenarkan topi yang dia pakai. "Loh, Mas, mau kemana?" "Maaf, Yank, aku terburu-buru. Aku dapat kerjaan untuk menyetir bus pariwisata ibu-ibu kampung sebelah." jawabnya sembari mengulurkan tangannya ke arahku, untuk kemudian ku
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Commentaires