Seharian pikiranku tak karuan. Aku sungguh bimbang bagaimana sebaiknya aku mengambil keputusan. Ajakan Akas untuk menikah, ku rasa sangat tergesa-gesa. Kita belum lama saling mengenal."Ndomblong! Orang kerja kok sempet-sempetnya ngalamun!" seru ketua line untuk kesekian kalinya. Lagi-lagi aku tidak menyadari bahwa sedari tadi perempuan gendut itu terus saja memperhatikan aku selama bekerja. Dengan malas aku memacu mesin jahitku, aku harus menyelesaikan tumpukan pekerjaan yang memang menjadi tanggung jawabku. Beruntung kemampuanku dalam mengoperasikan mesin jahit terbilang sangat mahir. Bel tanda istirahat berbunyi sebelum aku menyelesaikan tumpukan pekerjaanku. Tapi biarlah, aku terlalu malas untuk menyelesaikannya saat ini juga."Vin! Hari ini kamu kena tegur lagi,ada masalah to?" tanya Mira yang muncul secara tiba-tiba di sebelahku."Ya begitulah, Mir. Aku lagi banyak pikiran." jawabku malas tanpa menoleh ke arahnya."Jangan bilang ini soal-""Iya, ini soal laki-laki itu. Kita lan
Hujan mengguyur lebat di senja yang gelap. Aku dan Mira memutuskan untuk tetap pulang hanya bersenjatakan jas hujan plastik yang sengaja aku simpan di dalam jok motor. Selama kepergianku dari rumah juga aku berangkat-pulang kerja selalu bersama Mira. Kenapa pulang dengan Mira? Karena aku menumpang tinggal dirumahnya selama 2 minggu ini.Aku mulai melajukan sepeda motor begitu aku dan temanku sudah menutup diri dengan jas hujan. Mataku terbelalak, saat aku mendapati sosok yang tak asing bagiku sedang berdiri di samping gerbang. Untung masih jauh, tumbuhlah ide untuk meminta Mira saja yang mengemudi di depan."Mir, kamu yang didepan ya, itu ada si Akas disana," ucapku tanpa menoleh ke orang yang aku maksud."Oh, okelah," jawab Mira mengiyakan. "Jangan lupa, nanti aga kencengan begitu sudah sampai di dekat gerbang ya?""Iya, tenang aja,"Aku dan Mira bertukar posisi. Aku lepas helmku dan membalut kepalaku dengan jaket hitam milik Mira, besar harapanku Akas tidak menyadari keberadaanku na
Berdasarkan kesepakatan bersama, telah ditetapkan tanggal 12 Juli 2022 akan menjadi hari pernikahanku dengan Akas. Entah mengapa, perasaanku begitu hambar setiap kali aku bertemu dengannya, atau membalas pesan singkat darinya. Inikah bentuk ujian jelang pernikahan? Atau karena aku memang tidak mencintainya? Entahlah, aku sendiri tak begitu mengerti. Selalu saja aku merasa iba setiap kali menatap wajahnya. Pergantian hari terasa begitu cepat. Itu tandanya, hari pernikahanku juga akan segera tiba. Mengapa aku merasa semakin berdebar? Aku menyadari diriku belum sepenuhnya siap. Tapi aku tidak ingin membuat ibuku kecewa jika aku meminta untuk menunda pernikahan."Sempatkan datang ya," ucapku sembari menyerahkan kartu undangan. Mira menatap undangan itu dengan alis bertaut, seolah tak percaya bahwa nama yang dia baca pada kartu tersebut memanglah namaku. Segera tangannya menyambar undangan yang baru saja ku letakan di mejanya. "Ini betulan kamu, Vin?" tanya Mira dengan mulut menganga. B
Lembayung mulai menghiasi cakrawala. Para tamu masih berdatangan silih berganti. Aku memaksa tubuh untuk bangkit setiap ada tamu yang datang. Untuk bersalaman dengan mereka. Melawan lelah, juga kantuk yang bergelayut pada kedua mataku. Hari ini terasa melelahkan bagiku. Resepsi pernikahan dan ngunduh mantu oleh pihak keluarga mempelai pria diselenggralan di hari yang sama. Aku dan Akas, yang kini resmi menjadi suamiku, masih menggunakan baju pengantin yang kami pakai tadi. Keluarga Akas tidak menyediakan MUA untuk acara ini. Padahal acara ngunduh mantu ini terbilang sangat mewah. Ada orkes dangdut, juga pagelaran wayang kulit. Sangat bertolak belakang dengan acara resepsi di rumahku pagi tadi. Sangat sederhana.“Untuk kedua mempelai, saya ucapkan selamat. Semoga menjadi keluarga yang Sakinah, mawadah, warahmah. Saya akan menyumbangkan lagu di sore yang indah ini.’’suara alat musik mulai mengalun, mengiringi perempuan berkebaya merah itu yang mulai bernyanyi. Suaranya cukup enak diden
Bunyi alaram mengusik pendengaranku yang baru melesat ke alam mimpi. Rasanya baru sebentar mataku terpejam. Aku mengerjap beberapa kali. Waktu menunjukan pukul 04.20. Sudah saatnya mengerjakan shalat subuh. Pandanganku tertuju pada Akas yang masih tidur disebelahku. Aku mengulum senyum. Mulai pagi ini dan seterusnya, aku akan terbangun dan menyandang gelar seorang istri. Aku menggoyangkan tubuh suamiku dengan maksud mengajaknya shalat subuh bersama,”Bangun, Mas,’’ namun taka da respon. Aku mengulanginya sekali lagi, namun dia hanya menggeliat. Aku memutuskan untuk berpikir kalau suamiku terlalu lelah setelah acara yang sebegitu padat kemarin.Dapur masih sunyi dari aktivitas saat aku melintas mengambil air untuk bersuci. Dibanding saat dirumah, biasanya Emak sudah sibuk memasak di dapur setelah usai mengerjakan sembahyang subuh. Aku melenggang ke dapur untuk kedua kalinya. Ruangan ini masih sama. Tidak terdengar suara pisau dan telanan saling beradu. Maksud hati ingin membantu Si Mb
Kemarin adalah pelajaran. Dan hari esok adalah misteri. Tidak ada yang dapat mengetahui apa yang akan terjadi besok. Sama halnya denganku. Kali ini aku bangun jauh lebih awal dari kemarin. Menyiapkan masakan terbaik yang aku bisa. Aku jadikan peristiwa kemarin sebagai pelajaran. Dan dengan ini, aku berharap Si Mbok akan menyayangiku, juga berhenti membandingkan aku dengan Mbak Sri, istri dari kakak suamiku.Ayam goreng, oseng kacang, serta sambal bawang sudah tersaji diatas meja. Aromanya cukup membangkitkan selera makanku, membuat perut kosongku meronta, minta segera diisi. Sebagai istri yang baik, aku akan menunggu suamiku pulang, barulah aku akan ikut makan bersamanya. ‘Maafkan aku, wahai lambungku.’Waktu menunjukan pukul 06.20 WIB. Rasa gelisah perlahan merayap. Membuat pikiranku tak berhenti berpikiran yang bukan-bukan. Semalam Akas meminta ijin untuk menonton orkes dangdut di desa sebelah. Hanya satu jam katanya. Namun hingga matahari terbit, suamiku belum menampakkan batang hi
Seharian aku tidak fokus saat bekerja. Tidak terhitung sudah berapa kali mendapat teguran dari atasan. Aku merasa ada sesuatu yang ditutupi suamiku menyangkut luka dikakinya. Apakah malam itu dia berkelahi? Atau mungkin, luka dikakinya itu murni karena kecelakaan? Entahlah. Harusnya dia tidak tersinggung jika memang luka itu murni karena kecelakaan.Aku menyambar sebuah piring begitu tiba di dapur. Perutku sudah sangat lapar tak tertahankan karena dibiarkan kosong sejak pagi. Segera kubuka tudung saji, harap-harap ayam goreng tadi pagi masih tersisa untukku. Aku menggoreng cukup banyak pagi tadi, seharusnya masih tersisa meski hanya satu potong. Perasaan kecewa seketika menghujam. Yang ku dapati hanya sedikit nasi di dalam bakul dan cobek kosong yang sudah ternodai bekas sambal. Suara derap kaki membuatku memutar kepala. Berdiri seorang perempuan paruh baya dibelakangku.“Mbok, lauk tadi pagi sudah habis?’’“Kamu nggak buta, kan? Bisa lihat kan kalo dimeja nggak ada lauk? Mulo, jadi p
Aku menuang tumis kangkung yang baru saja matang ke sebuah mangkuk kaca berukuran besar, sesekali berbalik ke arah kompor untuk membalik ayam yang sedang ku goreng. Ya, pagi ini aku kembali memasak ayam goreng sesuai permintaan adik iparku. Aku turuti walau sebenarnya aku enggan. Bukankah akan membosankan jika setiap hari kita makan dengan lauk yang sama? Niat hati ingin masak tumis kangkung dan orek tempe. Tapi apa boleh buat? Aku sedang berusaha menjadi ipar yang baik untuk adik suamiku. “Ayamnya belum matang ya, Mbak?” dengan tubuh terbalut seragam rapi, gadis itu berjalan tertatih memasang wajah masam kepadaku.“Belum, Fit. Tunggulah sebentar.” Aku membalik ayam yang masih belum menunjukan tanda-tanda matang. Huh, ingin sekali ayam ini lekas matang agar aku bisa segera bersiap untuk bekerja.Pikiranku kembali teringat dengan kejadian getir yang aku alami tadi malam. Apa sebaiknya aku bertanya pada Fitri? Barang kali dia bisa membantuku memecahkan teka-teki yang belum terpecahkan