Aku menatapnya malas.
Hari pernikahanku jelas lebih horor.
Jadi, aku tidak akan takut dengan cerita konyol itu.
“Tolong keluarlah!” pintaku sekali lagi pada pria ini.
“Baiklah. Jangan lama-lama. Setelah ini kita keluar. Aku sudah lapar!” ujarnya kemudian tidak lagi mengangguku.
Saat kutatap bayanganku di cermin, Ed pasti melihat wajah sembab ini. Karenanya dia tampak kasihan tadi.
Aku malah tidak jadi berganti baju. Duduk kembali dan tercenung beberapa saat namun tidak tahu apa yang sedang kupikirkan. Hanya kehampaan hati yang kembali kurasa.
Tiba-tiba sekelebat bayangan entah hanya tirai yang tertiup angin atau apa tadi tertangkap sekilas namun dengan cepat menghilang.
Suasana kamar yang nampak biasa herannya kini membuatku begidik. Bahkan cerita Ed yang tadi, saat ini terngiang di benakku hingga berhasil mempengaruhiku.
Sial!
Aku lupa bahwa sebenarnya aku juga penakut.
Segera, diriku bangkit untuk mengganti bajuku, namun tanpa sadar tanganku menyenggol sesuatu di meja hingga...
Pyarr!
“AAAH, TOLOONG!” teriakku kencang yang seketika membuat Ed langsung masuk untuk memeriksaku.
Aku bahkan tidak sadar handuk yang kukenakan sudah kulepas karena ingin berganti baju tadi.
Sementara tatapan pria itu tak ubahnya seperti serigala lapar sedang menatap domba yang akan dimangsanya. “Kamila…”
“Ed , jangan...!” teriakku sudah kelimpungan tidak karuan menggapai handuk yang tadi kulempar di atas ranjang.
Tapi, Ed yang sinting itu malah semakin membuat takut dengan menunjuk satu arah. “Awas ada sesuatu di belakangmu!” tukasnya.
Spontan, aku melompat.
Aaargh, sial sekali! Mengapa aku justru melompat ke gendongannya?
“Kenapa setakut itu? Aku tadi mau bilang ada pecahan kaca di belakangmu agar kau tidak mundur ke belakang!” Ed baru menjelaskan maksudnya sambil terkekeh.
“Lepasin aku, tidak?! Jangan kurang ajar, ya?”
Kujambak rambut pria mesum itu dengan kedua tanganku karena saking geramnya.
Namun, pria itu hanya sedikit nyengir dan menatapku datar, “Kau yang naik kegendonganku, kau juga yang minta dilepasin? Astaga, perempuan memang suka sekali playing victim!”
Ed menurunkanku di tempat tidur, mengambilkan bajuku yang terserak di lantai untuk menutupi tubuh polosku. Sambil mengacak rambutku dia malah berkata, “Cepat pakai bajumu lalu keluar, ada-ada saja trikmu untuk menggodaku.”
Eh, apa katanya?
Aku yang menggodanya?
Astaga, ketemu berapa perkara aku sampai menggoda pria sepertinya?
Sembari menggerutu sebal, kesal dan malu akupun segera memakai pakaianku.
Ah, sudahlah. Mengapa juga aku masih menanggapi ucapannya? Dia memang sejak dulu suka menggodaku!
***
Kriet!
Aku membuka pintu kamar lebar-lebar setelah memakai pakaianku dengan benar dan lengkap untuk membersihkan pecahan botol parfum yang tadi tidak sengaja kusenggol.
Ternyata cerita tentang teman pria itu yang bunuh diri di kamar ini sudah sukses membuat alam bawah sadarku terpengaruh untuk takut.
“Sudah biarkan saja, ini sudah siang!” Ed menghampiriku yang berjongkok memunguti pecahan itu.
“Maaf ya, parfummu jadi pecah,” ujarku menyelesaikan sedikit lagi pecahan botol itu. Walau gimana aku tidak bisa seenaknya di rumah orang lain.
“Parfum bisa beli lagi, Nona. Bagaimana nanti kalau tanganmu yang lembut itu terkena pecahan kacanya. Hatiku bisa ikut terluka.” Si mulut penuh bualan itu kembali membuat telingaku gatal.
Kulirik sekilas pria yang masih berdiri itu sambil hanya menatapku. Harusnya kalau tidak mau aku bersusah-susah, etikanya dia ikut jongkok kek bantuin. Malah lihatin saja.
“Auw!” teriakku karena tanganku terasa perih sesaat melirik Ed tadi. Hanya sebentar saja mengalihkan pandang bagaimana bisa malah terkena pecahan kaca ini? Darahnya mengucur segar, lagi.
“Sudah kubilang ‘kan? Tambeng amat jadi orang kalau dikasih tahu, ya?” Ed menarik lenganku dan menyeretnya keluar kamar menuju wastafel dan membersihkan lukaku. Setelahnya dengan cekatan dia mengambil plester untuk membalut luka agar berhenti berdarah.
Sesekali kutatap pria ini, ternyata dia perhatian juga.
“Aku tahu aku ini tampan, jangan menatapku begitu nanti aku semakin jatuh cinta padamu!”
Tiba-tiba dia menangkapku yang menatapnya dengan balik menatapku. Baru kali ini aku serius menatapnya. Mata coklat Ed ternyata menarik juga. Kesan urakan yang biasanya kusematkan entah sedang pindah kemana? Yang kulihat memang pria ini tidak setengil kiraku. Dia juga—tampan.
Terhanyut sejenak saja sudah membuat pria ini kembali memanfaatkan keadaan dengan mencium bibirku.
“Uhmmm!” Aku yang terkejut berusaha melepaskan diri tapi Ed mengunci tubuhku dengan satu lengannya. Sementra lengan lainnya menekan tengkukku agar tidak bisa menghindari ciumannya.
Sialan!
Dia bahkan tidak mau melepaskan begitu saja sebelum aku benar-benar tampak lemas karena kehabisan napas.
“Ed!” omelku setelah terlepas dari ciuman pria ini.
“Ini gara-gara kau membiarkan aku menciummu kemarin, jadinya aku ketagihan ingin menciummu terus!” tukas Ed seenaknya, seolah kemarin aku memang sengaja membiarkannya menciumku.
“Kapan aku membiarkanmu menciumku?”
Namun, Ed tidak menggubrisku. Dia malah menyambar kunci mobil dan memintaku mengikutinya keluar apartemen.
Langkah kaki panjangnya itu membuatku harus setengah berlari mengejarnya.
Aku belum tahu tempat ini.
Kalau harus terpisah dengannya takutnya malah tersesat seperti orang bodoh.
Dan begitu lift turun ke lantai dasar, aku baru melihat tempat ini bukanlah apartemen sembarangan. Ini adalah salah satu apartemen elit di kawasan kota besar ini!
Walaupun Ed mengaku hanya menempati apartemen temannya, bukankah biaya operasional harian atau bulanannya akan mahal? Apakah seorang sopir truk seperti Ed bisa membayar biaya-biaya itu?
“Ed, apa benar kau hanya sopir truk?” keluhku menatap makanan-makanan mewah yang sudah tersaji di depanku. Harga makanan itu pastilah mahal mengingat pria ini mengajakku ke restoran bintang 5 yang elit.
“Apa yang kau pikirkan? Apa kau pikir aku sebenarnya adalah seorang CEO seperti di drakor-drakor itu lalu menyamar menjadi pria miskin?”
Ed seperti menerka apa yang ada di otakku.
Meski aneh, tapi hal seperti itu bisa saja terjadi ‘kan?
Kutatap wajahnya penuh selidik, hingga pria itu menghela napas.
“Ya. Aku memang anak seorang pengusaha kaya raya dan sedang menyamar menjadi pemuda miskin untuk tahu, siapa wanita yang mau menerimaku apa adanya?”
Next
“Sayang kau dari mana?” tanyaku melihatnya datang bersama beberapa perawat.Padahal sudah ada tombol darurat yang bisa dipencet untuk memanggil mereka. Bagaimana pria ini malah keluar untuk memanggil mereka secara manual? Pasti saking paniknya tadi.Dan lagi sekarang dia malah terlihat memarahi perawat itu.“Harusnya kalian memberinya obat anti nyeri. Apa tidak tahu istri saya sampai kesakitan begitu?”“Pemberian injection anti nyeri juga harus sesuai perintah dokter, Tuan. Kami tidak berani memberikannya lagi pada Nyonya karena tadi sudah kami berikan. Nanti ada waktunya lagi,” jelas salah seorang perawat pada Ed. “Tapi istri saya kesakitan, lho!” Ed masih terlihat kukuh.Kutarik lengannya agar dia bersikap lebih santai.Ada apa dengannya? Biasanya dia cuek dan santai-santai saja. Melihatku sedikit meringis saja sudah panik begitu. “Ah maaf, Sus. Tadi hanya sensasi rasa perih di area jahitan. Tapi sekarang sudah tidak, kok. Maaf, ya? Suami saya sedikit berlebihan tadi.”***Dua har
“Sayang?” suara Ed kudengar dan aku membuka mataku menatapnya yang terlihat cemas.“Ed? Kapan selesai operasinya? Aku sudah tidak sabar ingin tahu anak-anakku,” tukasku menggenggam balik tangan yang menggenggamku itu. Ed tersenyum meski pias wajahnya tampak lelah sekali. Dia membelai rambutku dan mencium keningku.“Operasinya sudah selesai sejak tadi, Sayang. Dokter bilang kau hanya tidak tahan dengan efek obat bius yang disuntikkan padamu.”“Ya Allah, Ed. Kasihan anak-anakku tidak bisa inisiasi menyusu dini.” Aku mencoba bangkit tapi Ed menahanku.“Tenanglah, Mila. Kau baru saja dipindah dari ruang pemulihan. Jangan banyak bergerak dulu.”“Tapi bayi-bayiku?”“Kata dokter tidak apa-apa, kok. Yang penting pulihkan dulu keadaanmu.”“Iya, tapi bayi-bayiku mana, Sayang?”Aku tentu ingin melihat mereka.Bagaimana bisa aku terlelap dengan damainya, bahkan tidak bisa mendengar suara jeritan pertama buah hatiku?Padahal, bisa mendengar suara mereka pertama saat terlahir ke dunia ini adala
Aku terbangun dengan sedikit terkejut melihat sudah tidak berada di mobil lagi.Ed sudah menggendongku ke apartemennya.Ini adalah kamar pertama kali dia mengajakku ke tempatnya pasca kami menikah dulu. Saat itu aku terkejut dan sampai menendangnya hingga terjungkal ke lantai.“Kenapa senyum-senyum?” tanyanya sembari memelukku.Aku tidak tahu kalau Ed ternyata sejak tadi berbaring di sampingku dan memperhatikanku. “Aku hanya ingat saat pertama kau membawaku ke sini, Sayang.” Kumiringkan tubuhku untuk bisa menghadapnya.“Oh, benar. Apa yang membuatmu menarik senyum?”“Banyak. Tentang aku yang terkejut karena kau ternyata tinggal di tempat mewah ini sementara yang kutahu kau hanya seorang sopir truk. Juga tentang kau yang selalu curi-curi cium padaku.”Ed tertawa mendengar secuil ingatanku tentang saat-saat pertama kebersamaan kami sebagai suami istri. Tangannya sudah membelai pipiku dan menatapku dengan penuh binar cinta. Dia juga pasti berendezvous dengan masa-masa itu.“Saat itu pe
“Tante?!” ujarku antara ragu dan terkejut.Wanita itu melototiku tanpa berkedip. Membuat Ed langsung merangkulku cemas kalau-kalau wanita itu malah akan menyakitiku.Seperti biasa, saat merasa ada sesuatu yang membahayakan kami seperti ini, dua orang datang untuk mengambil tindakan. “Mila... Kamila?!” wanita itu langsung bersimpuh dan menangis di kakiku.Ketika dua pria misterius itu hendak menyingkirkannya, aku menahannya.Ed memberi isyarat agar pria itu membiarkan dulu sembari mengawasinya.“Mila, maafkan aku, Mila. Maafkan tantemu yang jahat ini!” isak wanita itu yang kini aku seratus persen yakin kalau itu adalah Tante Desi.Kulepaskan rangkulan Ed agar aku bisa membantu tanteku itu bangkit dari posisi bersimpuhnya di kakiku. Sungguh aku tidak nyaman sekali dengan hal itu. Ed melepasku namun tetap waspada. Cemas saja kalau wanita itu tiba-tiba akan menyakitiku.Ed tahu bagaimana sepak terjang Tante Desi. Dia jugalah yang bertanggung jawab membuat kami terpisah dalam kesalahp
“Ed, beri aku alasan termanismu kenapa kau jatuh cinta padaku? Jangan bilang karena ukuran bra itu. Aku nanti malah merasa kau jatuh cinta padaku hanya karena otakmu sudah mesum, lho!” rengekku padanya.Ed langsung membelai wajahku dan menatapku serius, “Ya enggaklah, Sayangku. Becanda itu!”“Lalu?”“Saat pertama melihatmu, aku tidak mengerti kenapa begitu tertarik denganmu. Kau cantik, tapi ada banyak wanita cantik juga kan? Jadi aku pikir chemistrimu kuat sekali menarik pehatianku.”“Apalagi ketika tahu kau buru-buru menyesali dan dengan sopan meminta maaf padaku setelah menamparku, aku jadi semakin terkesan padamu.”Senyumku sudah terkembang saja mendengar cerita suamiku. Dan memintanya lanjut menceritakan lagi bagaimana kemudian jadi sering ada di kampusku?“Kau menjatuhkan kartu mahasiswamu dan dari sana aku tahu kau kuliah di universitas kota ini.”“Oh, yah? Aku ingat itu. Aku sampai pusing mencari KTM ku karena membutuhkannya untuk ujian semester.”“Benarkah? Apa karena itu t
“Kebetulan suami saya ada urusan di kota ini, Bu. Jadi saya ikut sekalian,” tukasku membalas sapaannya saat wanita itu kebetulan keluar ketika aku menyiram bunga di halaman.“Makanya kemarin ada orang bersih-bersih, saya kira rumahnya jadi di jual. Ternyata Mbaknya yang datang.”“Oh, memangnya rumahnya sempat mau dijual?” tanyaku mengomentari perkataan wanita itu.“Banyak yang mau beli rumahnya, Mbak. Tapi kenapa tidak dijual? Dikontrak juga enggak boleh.”“Ahaha, mungkin suami saya mikirnya masih akan datang ke sini, jadi biar ada rumah buat sekedar mampir.”Kedatangan sebuah mobil membuat percakapan kami berakhir. Seorang pria berkulit gelap keluar dan mengulas senyumnya. Aku langsung ingat nama pria itu karena, dari sekian teman Ed nama pria itu yang paling menggemaskan. Apalagi pernah kami sampai bertengkar dan salah paham hanya karena ada panggilan dari pria itu.“Mas Manis, ya?” sapaku padanya.“Benar, suamimu bilang ingin menyewa mobilku, jadi aku antarkan ini pagi-pagi agar