“Ini tasmu?” ujar Ed menyadarkanku dari lamunan sembari menyodorkan tasku.
Pria itu ternyata mau juga mengambilkannya.
“Terima kasih, Ed,” tukasku.
Mungkin tadi dia masih makan dan harus menyelesaikannya dulu. Akulah yang kurang sabaran!
Hanya saja, saat aku hendak mengambil tas itu dari tangan Ed, pria itu malah menahan tanganku.
Bugh!
Tubuhku menubruk dada bidangnya.
Aku mendongakan pandangku memandangnya yang begitu dekat sekali di wajahku.
Namun, bibir Ed mendarat begitu saja di bibirku. Dia bahkan melumatnya tanpa membiarkan aku bisa protes.
“Ehhmmm…”
Kucoba untuk mendorong dadanya sekuat tenaga namun aku tetap tidak bisa bergerak.
Mengapa tubuh pria ini begitu keras dan setegar karang?
“Ed, lepaskan aku!” panikku.
Tanpa sadar, setitik air mata bahkan lolos di pipiku.
Anehnya, kulihat tatapan gelap Ed memudar dan dia mengendurkan dekapannya.
“Makan dulu, aku sudah pesankan makanan untukmu. Kalau kau menolak aku akan menciummu lagi seperti tadi!” tukasnya mengambil tasku dan membawanya berlalu ke kamar yang kutempati tadi.
Aku hanya berdiri terpaku untuk beberapa saat.
Benar-benar belum bisa memahami pria itu.
Mengapa sikapnya terkesan acuh, tetapi ada perhatian di baliknya?
“Jadi kau lebih memilih aku menciummu?”
Suara Ed kembali mengejutkanku.
Cepat sekali pria ini keluar lagi dari kamar!
“Oh, aku—aku akan makan,” ujarku gegas ke meja makan dan mengambil sepotong pizza di sana—demi menghindari pria ini menciumku lagi.
Untungnya, Ed tidak mengusikku lagi.
Jujur, aku sedikit lega.
Seandainya Ed memang pria yang seperti dugaanku sebelumnya, tentu dia tidak akan membiarkan semauku. Apalagi akulah yang meminta pernikahan ini.
Meski demikian, aku memilih mengunci pintu kamar.Drrt!
Ponselku tiba-tiba berkedip. Aku menatap nanar benda pipih itu dan tidak kupungkiri masih berharap ada pesan masuk dari pria itu. Atau setidaknya sebuah penjelasan kenapa dia tidak datang.
Kuusap layar ponsel. Namun, aku justru menemukan puluhan chat tak sengaja terbaca dari grup teman kampusku.
[Kasihan banget nasib si Mila. Berharap jadi cinderella, malah nikahnya sama pria yang tidak jelas!]
[Itu pembelajaran bagi ciwi-ciwi, jangan cuma karena pengen ngubah nasib, tidak tahu diri ngebet menikah dengan dosen kaya raya. Ditinggalkan ‘kan dia?]
[Kira-kira kemana Pak Ramzi? Kenapa tidak datang?]
[Keluarganya malulah punya menantu miskin. Asal tahu saja, aku dengar orang tua Pak Ramzi sempat menentang pernikahan itu]
Dan sederet pesan yang justru lebih menambah rasa sakit berdarah-darah ini seperti disiram pertalite lalu dibakar hidup-hidup.
Membuatku tak bisa menahan diri untuk menangis.
Dosa apa yang sudah aku lakukan, hingga Tuhan menghukumku seperti ini?
“Mas, apa salahku?” isakku mengingat-ingat apa aku pernah berbuat salah atau menyinggung Mas Ramzi, hingga dia sekejam ini meninggalkanku.
Bahkan, aku masih ingat terakhir kali kami telponan dua hari sebelumnya, pria itu masih sempat menanyakan apakah aku sudah siap menjadi istrinya?
Tidak ada sesuatu yang menjadi pertanda buruk bahwa pria itu akan membatalkan pernikahan dan lenyap tanpa bisa dihubungi.
Lama menangis menguarkan rasa pedih dan kecewa dalam dada entah sampai jam berapa.
Yang jelas, aku baru terbangun ketika jam digital di atas nakas samping tempat tidur menunjukan angka 11:35.
“Astaghfirullah!” tukasku segera berjingkat menuju kamar mandi.
Aku bahkan tidak mendengar saat Ed mengetuk pintu kamarku. Hingga aku keluar kamar mandi hanya dengan menggunakan handuk yang kulilitkan di dadaku.
Kulihat pria itu sudah berdiri di kamar menatapku dengan sedikit rasa lega. Namun karena keterkejutanku, aku malah memarahinya.
“Bagaimana kau bisa masuk? Bukankah aku sudah menguncinya?” omelku pada Ed .
“Aku sudah membangunkanmu sejak tadi pagi, tapi kau sama sekali tidak menyahut. Aku buka saja pintunya pakai kunci cadangan. Kupikir kau mencoba bunuh diri di kamar. Jadi ribet ‘kan urusannya nanti?”
Dengan entengnya, Ed mengiraku melakukan hal gila itu.
Apa dia pikir aku senaif itu hingga harus bunuh diri segala?
Kalau memang aku punya niat bunuh diri, untuk apa harus menunggu dirinya menjadi pengantin pengganti calon suamiku dulu?
Sudah langsung saja saat mendengar Mas Ramzi membatalkan pernikahan.
“Aku bukan wanita bodoh yang melakukan hal itu, Ed. Jadi keluarlah dari kamar!”
Aku mendorong tubuh pria itu agar keluar dari kamar.
“Dengar dulu, temanku yang aku ceritakan itu, juga bunuh diri di kamar ini karena pacarnya berselingkuh. Bisa jadi dia merasukimu dan mendorong untuk bunuh diri juga!” ucap Ed sembari menahan tubuhnya agar aku tidak berhasil mendorongnya keluar.
“Ed! Please, keluar!” tukasku sebal dan tidak akan mempan dengan ucapan konyolnya itu. Dia kira aku anak kecil yang percaya dengan cerita seperti itu?
“Asal kau tahu saja, dia gentayangan sampai sekarang karena mau balas dendam pada pacar dan selingkuhannya itu, Mila” suara pria urakan ini dibuat terkesan horor.
Next
“Sayang kau dari mana?” tanyaku melihatnya datang bersama beberapa perawat.Padahal sudah ada tombol darurat yang bisa dipencet untuk memanggil mereka. Bagaimana pria ini malah keluar untuk memanggil mereka secara manual? Pasti saking paniknya tadi.Dan lagi sekarang dia malah terlihat memarahi perawat itu.“Harusnya kalian memberinya obat anti nyeri. Apa tidak tahu istri saya sampai kesakitan begitu?”“Pemberian injection anti nyeri juga harus sesuai perintah dokter, Tuan. Kami tidak berani memberikannya lagi pada Nyonya karena tadi sudah kami berikan. Nanti ada waktunya lagi,” jelas salah seorang perawat pada Ed. “Tapi istri saya kesakitan, lho!” Ed masih terlihat kukuh.Kutarik lengannya agar dia bersikap lebih santai.Ada apa dengannya? Biasanya dia cuek dan santai-santai saja. Melihatku sedikit meringis saja sudah panik begitu. “Ah maaf, Sus. Tadi hanya sensasi rasa perih di area jahitan. Tapi sekarang sudah tidak, kok. Maaf, ya? Suami saya sedikit berlebihan tadi.”***Dua har
“Sayang?” suara Ed kudengar dan aku membuka mataku menatapnya yang terlihat cemas.“Ed? Kapan selesai operasinya? Aku sudah tidak sabar ingin tahu anak-anakku,” tukasku menggenggam balik tangan yang menggenggamku itu. Ed tersenyum meski pias wajahnya tampak lelah sekali. Dia membelai rambutku dan mencium keningku.“Operasinya sudah selesai sejak tadi, Sayang. Dokter bilang kau hanya tidak tahan dengan efek obat bius yang disuntikkan padamu.”“Ya Allah, Ed. Kasihan anak-anakku tidak bisa inisiasi menyusu dini.” Aku mencoba bangkit tapi Ed menahanku.“Tenanglah, Mila. Kau baru saja dipindah dari ruang pemulihan. Jangan banyak bergerak dulu.”“Tapi bayi-bayiku?”“Kata dokter tidak apa-apa, kok. Yang penting pulihkan dulu keadaanmu.”“Iya, tapi bayi-bayiku mana, Sayang?”Aku tentu ingin melihat mereka.Bagaimana bisa aku terlelap dengan damainya, bahkan tidak bisa mendengar suara jeritan pertama buah hatiku?Padahal, bisa mendengar suara mereka pertama saat terlahir ke dunia ini adala
Aku terbangun dengan sedikit terkejut melihat sudah tidak berada di mobil lagi.Ed sudah menggendongku ke apartemennya.Ini adalah kamar pertama kali dia mengajakku ke tempatnya pasca kami menikah dulu. Saat itu aku terkejut dan sampai menendangnya hingga terjungkal ke lantai.“Kenapa senyum-senyum?” tanyanya sembari memelukku.Aku tidak tahu kalau Ed ternyata sejak tadi berbaring di sampingku dan memperhatikanku. “Aku hanya ingat saat pertama kau membawaku ke sini, Sayang.” Kumiringkan tubuhku untuk bisa menghadapnya.“Oh, benar. Apa yang membuatmu menarik senyum?”“Banyak. Tentang aku yang terkejut karena kau ternyata tinggal di tempat mewah ini sementara yang kutahu kau hanya seorang sopir truk. Juga tentang kau yang selalu curi-curi cium padaku.”Ed tertawa mendengar secuil ingatanku tentang saat-saat pertama kebersamaan kami sebagai suami istri. Tangannya sudah membelai pipiku dan menatapku dengan penuh binar cinta. Dia juga pasti berendezvous dengan masa-masa itu.“Saat itu pe
“Tante?!” ujarku antara ragu dan terkejut.Wanita itu melototiku tanpa berkedip. Membuat Ed langsung merangkulku cemas kalau-kalau wanita itu malah akan menyakitiku.Seperti biasa, saat merasa ada sesuatu yang membahayakan kami seperti ini, dua orang datang untuk mengambil tindakan. “Mila... Kamila?!” wanita itu langsung bersimpuh dan menangis di kakiku.Ketika dua pria misterius itu hendak menyingkirkannya, aku menahannya.Ed memberi isyarat agar pria itu membiarkan dulu sembari mengawasinya.“Mila, maafkan aku, Mila. Maafkan tantemu yang jahat ini!” isak wanita itu yang kini aku seratus persen yakin kalau itu adalah Tante Desi.Kulepaskan rangkulan Ed agar aku bisa membantu tanteku itu bangkit dari posisi bersimpuhnya di kakiku. Sungguh aku tidak nyaman sekali dengan hal itu. Ed melepasku namun tetap waspada. Cemas saja kalau wanita itu tiba-tiba akan menyakitiku.Ed tahu bagaimana sepak terjang Tante Desi. Dia jugalah yang bertanggung jawab membuat kami terpisah dalam kesalahp
“Ed, beri aku alasan termanismu kenapa kau jatuh cinta padaku? Jangan bilang karena ukuran bra itu. Aku nanti malah merasa kau jatuh cinta padaku hanya karena otakmu sudah mesum, lho!” rengekku padanya.Ed langsung membelai wajahku dan menatapku serius, “Ya enggaklah, Sayangku. Becanda itu!”“Lalu?”“Saat pertama melihatmu, aku tidak mengerti kenapa begitu tertarik denganmu. Kau cantik, tapi ada banyak wanita cantik juga kan? Jadi aku pikir chemistrimu kuat sekali menarik pehatianku.”“Apalagi ketika tahu kau buru-buru menyesali dan dengan sopan meminta maaf padaku setelah menamparku, aku jadi semakin terkesan padamu.”Senyumku sudah terkembang saja mendengar cerita suamiku. Dan memintanya lanjut menceritakan lagi bagaimana kemudian jadi sering ada di kampusku?“Kau menjatuhkan kartu mahasiswamu dan dari sana aku tahu kau kuliah di universitas kota ini.”“Oh, yah? Aku ingat itu. Aku sampai pusing mencari KTM ku karena membutuhkannya untuk ujian semester.”“Benarkah? Apa karena itu t
“Kebetulan suami saya ada urusan di kota ini, Bu. Jadi saya ikut sekalian,” tukasku membalas sapaannya saat wanita itu kebetulan keluar ketika aku menyiram bunga di halaman.“Makanya kemarin ada orang bersih-bersih, saya kira rumahnya jadi di jual. Ternyata Mbaknya yang datang.”“Oh, memangnya rumahnya sempat mau dijual?” tanyaku mengomentari perkataan wanita itu.“Banyak yang mau beli rumahnya, Mbak. Tapi kenapa tidak dijual? Dikontrak juga enggak boleh.”“Ahaha, mungkin suami saya mikirnya masih akan datang ke sini, jadi biar ada rumah buat sekedar mampir.”Kedatangan sebuah mobil membuat percakapan kami berakhir. Seorang pria berkulit gelap keluar dan mengulas senyumnya. Aku langsung ingat nama pria itu karena, dari sekian teman Ed nama pria itu yang paling menggemaskan. Apalagi pernah kami sampai bertengkar dan salah paham hanya karena ada panggilan dari pria itu.“Mas Manis, ya?” sapaku padanya.“Benar, suamimu bilang ingin menyewa mobilku, jadi aku antarkan ini pagi-pagi agar