Sementara itu, Damian saat ini berdiri tegak di sisi Rafa, mengantar pemuda itu hingga ke lobi kantor PrimaTex.
Suasana pagi ini cukup sunyi, hanya terdengar langkah kaki dan desiran AC yang dingin.Beberapa saat kemudian, mobil hitam mewah berhenti tepat di depan lobi. Sang supir langsung turun dan membukakan pintu untuk Rafa.Namun, pria itu tak langsung pergi, ia berbalik, menatap Damian di sebelahnya.“Aku bisa mempercayaimu sekali lagi,” katanya penuh harap, “tapi, jangan mencoba menghancurkan kepercayaanku.”Damian mengangguk sebagai jawaban. Tak ada lagi pembicaraan keduanya hingga Rafa masuk mobil tapa menoleh lagi ke belakang.Damian tetap berdiri di tempatnya, arah pandangnya mengikuti mobil itu hingga menghilang di balik jalan utama.Dalam perjalanan menuju kantornya, Rafa bersandar di kursi dengan nyaman.Sesekali ia memejamkan mata, hingga pikirannya berkelana pada pembicaraannya dengan Damian beMendengar itu, Tuan Wardhana langsung terdiam. Terlihat gelisah, seperti sedang menimbang-nimbang permintaan Daffa. Menikahkan putrinya dengan pria itu, bukankah itu sesuatu yang tidak begitu sulit. Daffa merupakan putra rekan bisnisnya, tentunya jika terjadi pernikahan dalam 2 kubu bisnis akan mutualisme.Paling penting, pria muda itu bisa bungkam atas apa yang dilihatnya hari ini. Demi menjaga nama baik dan harga dirinya.“Aku setuju,” ucapnya akhirnya.Hanya saja, perjanjian mereka tentu saja tak berjalan mulus. Begitu pulang ke rumah, Inara justru menyampaikan keinginannya untuk menikah dengan pria pilihannya, kekasihnya yang ditemui saat magang—Damian.Pria yang menurut Tuan Wardhana, tak pantas berdiri sejajar dengan keluarga mereka. Status sosialnya jauh di bawah masa depan tidak menjanjikan dengan pekerjaanya yang hanya sebagai karyawan biasa.Mendekat putrinya, menurutnya terlalu berani, dan ... tidak tau diri.
BRAK!Pintu dibuka kasar. Tuan Wardhana melangkah masuk dengan tergesa, dasinya ditarik hingga setengah longgar. Napasnya memburu, hingga wajahnya terlihat memerah oleh amarah yang membakar.Vas bunga kecil yang tak bersalah di meja itu tak ayal menjadi sasaran amukannya. Terbang, menghantam lantai, hingga pecah berkeping-keping.“Sial!” makinya keras, menggema di ruang kerja mewah miliknya itu.Tangannya terkepal saat ia berjalan ke arah dinding kaca besar yang menampilkan pemandangan kota.Tatapannya tajam dengan rahang mengeras, seolah hendak menerkam mangsa yang mendekat. Selang beberapa saat, tangannya bergerak cepat mengambil ponsel dari saku jasnya. Menekan nomor dengan sedikit terburu-buru.Nada sambung terdengar. Sekali … dua kali ….Dan, yang kali ketiganya, langsung terdengar suara dari seberang. “Halo—”“Mau kabur ke mana kamu?!” bentaknya tanpa basa-basi, matanya menyala penuh so
Langit hari ini cukup cerah ketika mobil mewah milik Inara berhenti di depan sebuah restoran bergaya klasik yang tak terlalu ramai siang itu.Menuju lantai 2, melewati deretan kursi yang hanya dihiasi beberapa pelanggan yang terlihat sibuk dengan dunianya masing-masing.Tiba di tujuan, Inara menyapu sekeliling, hingga tatapannya tertumbuk pada seorang pria yang duduk di dekat jendela besar. Ditemani tirai putih mengembang pelan tertiup angin pendingin ruangan.Pria itu tampak santai, dengan kemeja lengan panjang yang dilipat hingga siku sambil membaca sebuah majalah bisnis.Inara melangkah mendekat. Menarik kursi di hadapan sang pria sambil berkata, “Maaf, menunggu lama.”Damian. Pria itu mendongak perlahan, menutup majalah di tangannya dan meletakkannya di meja. Inara sendiri sudah duduk di seberangnya.“Tidak masalah menunggu sedikit lama, asal orangnya kamu,” kata Damian sambil tersenyum tipis, nadanya sedikit menggoda.
Sementara itu, Damian saat ini berdiri tegak di sisi Rafa, mengantar pemuda itu hingga ke lobi kantor PrimaTex.Suasana pagi ini cukup sunyi, hanya terdengar langkah kaki dan desiran AC yang dingin. Beberapa saat kemudian, mobil hitam mewah berhenti tepat di depan lobi. Sang supir langsung turun dan membukakan pintu untuk Rafa. Namun, pria itu tak langsung pergi, ia berbalik, menatap Damian di sebelahnya.“Aku bisa mempercayaimu sekali lagi,” katanya penuh harap, “tapi, jangan mencoba menghancurkan kepercayaanku.”Damian mengangguk sebagai jawaban. Tak ada lagi pembicaraan keduanya hingga Rafa masuk mobil tapa menoleh lagi ke belakang.Damian tetap berdiri di tempatnya, arah pandangnya mengikuti mobil itu hingga menghilang di balik jalan utama. Dalam perjalanan menuju kantornya, Rafa bersandar di kursi dengan nyaman.Sesekali ia memejamkan mata, hingga pikirannya berkelana pada pembicaraannya dengan Damian be
“Apa katamu?!” bentak Rafiq. Langsung menarik kasar tubuh Daffa yang saat ini berdiri memandangi pemandangan melalui dinding kaca kantor. Brak! Daffa terpojok ke sudut meja. Cengkeraman Rafiq pada kerah bajunya begitu kuat, membuatnya nyaris susah untuk sekadar bergerak. “Berani-beraninya kamu mengatakan kalau ayahku selingkuh?” Suara napas Rafiq memburu, begitu tatapannya tajam seolah menusuk wajah Daffa. Tubuh Daffa kini sedikit terangkat. Leher bajunya menegang di tangan Rafiq. Namun, alih-alih panik, pria itu masih saja bebal seperti sebelumnya. Sedikit pun tidak merasa ada yang salah dari ucapannya. Justru, ia menyeringai sebal. “Hm … temperamenmu tidak berubah ya,” gumamnya sambil tersedak, sedikit susah bernapas, tetapi tetap bisa tertawa miring. “Kamu pikir ayahku bajingan sepertimu? Yang hobi tidur dengan wanita sembarangan?!” Walau san
Belum sempat Rafa menjawab, pintu ruangan Damian terbuka. Dua pria yang duduk saling berhadapan di sofa itu refleks menoleh.Terlihat, Andrew datang membawa nampan berisi dua gelas kopi susu hangat dan sepiring camilan ringan. Cocok untuk suasana pagi ini.Dengan telaten, Andrew meletakkannya di atas meja kaca di hadapan atasan juga tamunya itu. Setelah itu, ia berdiri di sisi ruangan, menunggu perintah lebih lanjut.”Minumlah.” Damian mempersilakan. “Kopi susu ini favoritku. Kamu bisa mencobanya dulu, kalau tidak suka, tinggal bilang ... biar sekretarisku menggantinya.”Rafa mengangguk singkat dan menyentuh gelasnya. Damian sendiri bersandar sambil menyilangkan kakinya dengan santai, tetapi tatapannya tentu saja tetap fokus pada pria muda di hadapannya.“Bagaimana? Apa kamu suka atau ingin menggantinya dengan minuman lain?” tanya Damian begitu Rafa selesai meneguk kopi susunya dan meletakkan gelasnya.“Tidak perlu. Aku