Mobil yang ditumpangi Inara berhenti di seberang kantor suaminya agar keberadaannya tak menarik perhatian. Dia melirik jam tangan, memastikan bahwa jam kerja Damian sebentar lagi selesai.
Benar saja, begitu hari mulai gelap dan suasana kantor juga sudah lenggang, Inara melihat Damian tiba-tiba muncul di pintu keluar kantor dan langsung menuju mobilnya. Seketika ia mengepalkan tangan saat hatinya sedang diliputi kegelisahaan. “Bukankah katanya akan lembur, tapi mengapa dia pulang tepat waktu?” Inara merasa napasnya tercekat. Semakin yakin kalau memang ada yang disembunyikan Damian darinya. Ketika mobil suaminya itu berlalu, Inara juga meminta sopir taksi untuk mengikuti dengan perlahan, membiarkan mobil Damian tetap dalam jangkauan pandangannya. Hatinya berdebar kencang, tidak percaya bahwa ia sampai harus memata-matai suaminya sendiri seperti seorang target yang melakukan kejahatan. Semua bermula karena Damian yang mulai bertingkah, diam-diam keluar rumah tadi malam membuat istrinya menaruh curiga dan terpaksa mencari tahu kebenaran, meskipun mungkin ini akan menyakitinya. Mobil Damian melaju menuju daerah perumahan, sedangkan mobil yang membawa Inara menepi di ujung jalan sembari memperhatikan mobil sang suami kini berhenti di depan sebuah rumah yang ia tidak tahu itu rumah siapa? “Rumah siapa itu dan untuk apa Mas Damian ke sini?” “Apa dia sedang ada pertemuan dengan klien di sini?” Ia masih mencoba berpikir positif. Tak lama, bocah laki-laki keluar rumah dan langsung berlari memeluk Damian, disusul seorang wanita yang cukup Inara kenal. Ingatannya cukup kuat meskipun cuma pernah bertemu sekali, di restoran—saat makan malam dengan keluarga kecilnya, tetapi wanita itu tiba-tiba datang dan diminta Damian bergabung dengan mereka. “Selena?” Pemandangan di depan terlihat seperti pertemuan ayah dan anak yang sedang melepas rindu. Namun, pemandangan hangat itu justru membuat hati Inara seperti ditusuk ribuan jarum hingga air matanya mengalir tanpa bisa ditahan. “Mas Damian mengatakan akan lembur, ternyata ini dia lembur yang dimaksud?” bisiknya dengan suara bergetar. Air matanya buru-buru dihapus dengan kasar. Keluar dari mobil dan berdiri di sebelah mobil. Masih menatap suaminya dari kejauhan yang tersenyum hangat pada wanita lain. “Ini yang kamu bilang tidak memiliki hubungan apa-apa dengannya, bahkan kamu rela menemuinya saat malam-malam begini?” Inara menggeleng tak percaya. Tak lama, mereka bertiga terlihat berjalan masuk ke rumah. Namun, di saat bersamaan, Inara mengambil ponsel dan segera menelepon Damian. Pandangannya tak lepas mengawasi setiap pergerakan suaminya yang terlihat meminta izin pada Selena untuk menerima telepon. Setelah beberapa saat, terdengar suara di balik benda pipih tersebut. “Halo, Ra.” “Mas di mana?” tanya Inara, berusaha menjaga nada suaranya tetap tenang meskipun dadanya bergemuruh penuh emosi. “Di kantor, Ra.Tadi pagi bukannya sudah kubilang akan lembur? Soalnya banyak kerjaan akhir bulan yang harus diselesaikan,” jawab Damian tanpa sedikit pun merasa ragu. “Bahkan, sekarang kamu sudah lihai berbohong demi wanita itu, Mas.” Inara mengatakannya dalam hati sambil mengepalkan tangan erat-erat. “Sudah makan, Mas?” tanyanya lagi, sengaja basa-basi. Hanya ingin tahu respons Damian. “Belum, tapi nanti aku pesan makanan. Kamu sendiri gimana? Jangan tunggu aku, tidur aja dulu kalau sudah ngantuk,” ujar Damian, suaranya terdengar seolah-olah semuanya baik-baik saja. Inara menarik napas panjang. Amarahnya yang sudah di ubun-ubun sudah tak tertahankan lagi. “Lembur bersama Selena?” Suaranya terdengar dingin, tetapi cukup tajam. Damian terdiam. Seketika gugup, bahkan gelagatnya tampak gelisah. “A-apa maksudmu, Ra?” “Aku tak habis pikir, kamu rela berbohong, demi menemuinya,” kata Inara pelan. Namun, berhasil membuat Damian gelagapan. Suami sah Inara itu sontak menoleh sekeliling. Dia membelalakkan mata saat pandangannya melihat sebuah mobil dan Inara berdiri di sebelahnya dengan tatapan terluka. “Ra, ini enggak ....” Tut ... tut ... tut! Tangan Inara bergetar saat sambungan telpon diakhiri sepihak olehnya. Ia mendongak, berusaha menahan air mata sebelum masuk ke mobil. Sesak sudah memenuhi dadanya, seperti ada sesuatu yang berhimpitan di dalam, tetapi ia juga tahu tak boleh tetap berada di tempat itu agar emosinya tak meledak. Di si lain, Damian tak tinggal diam. Pria itu berlari keluar dari halaman rumah Selena mendekati mobil Inara. “Inara! Tunggu!” Suaranya menggema di malam yang sunyi. Hanya saja, Inara tak peduli. “Jalan, Pak!” titahnya. “Ra, dengarkan aku. Kamu salah paham!” Damian berteriak lebih keras sambil berlari, berusaha menghentikan laju mobil itu, bahkan menggedor-gedor pintu mobil di sebelah istrinya, berharap Inara akan mendengarkan penjelasannya. “Aku bisa jelaskan semuanya!” “Jalan cepat aja, Pak. Tidak usah pedulikan dia,” kata Inara lagi dengan pandangan lurus ke depan. “Ra! Tunggu, tolong dengar aku!” Damian hampir kehilangan keseimbangannya saat mobil melesat makin cepat. Dia berhenti, terengah-engah di tengah jalan, hanya mampu menatap punggung mobil yang membawa istrinya itu makin jauh. Damian yang diliputi rasa bersalah buru-buru berbalik, hendak mengambil mobil dan mengejar. Tahu kalau Inara sangat kecewa padanya sekarang sehingga ia merasa harus memberikan penjelasan agar tak ada kesalahpahaman yang membuat hubungan dengan istrinya makin merenggang. Hanya saja, sebelum sempat membuka pintu mobil, Selena memanggilnya. “Mas Damian!” Gerakan tangannya terhenti, berbalik pada Selena yang sudah berada di belakangnya. “Kamu mau ke mana? Vano sudah lapar. Ayo, kita ke dalam dan mulai makan malamnya,” katanya membuat Damian kebingungan untuk memilih. Kemarin, dia sudah berjanji pada Vano untuk makan malam bersama hari ini, tetapi bagaimana dengan Inara? Damian tidak ingin Inara berpikir yang tidak-tidak tentangnya. “Aku pergi sebentar, nanti kembali lagi.” Damian akan pergi, tetapi lagi-lagi, Selena memegang pergelangan tangannya. “Tapi, Damian, Vano ....” Selena menjeda ucapannya, melirik ke arah putranya, begitu Damian melihat Vano dengan tatapan penuh pengharapan di dekat pintu. “Dia sangat menantikan makan malam ini bersamamu. Dari tadi dia terus bertanya kapan kamu datang. Kalau kamu pergi sekarang, dia pasti kecewa berat.” Mata Selena tampak berkaca-kaca, menambah kesan pilu pada wajahnya yang selalu bisan membuat Damian iba.Balon warna-warni yang dipadukan dengan dekorasi lain khas anak-anak terlihat menghiasi halaman belakang rumah megah bertingkat itu. Meja panjang berisi hidangan dan beberapa macam snack tertata dengan rapi, sementara musik riang anak-anak juga sudah mengalun pelan. Alma tampak berdiri diapit kedua orang tuanya dengan gaun putih selutut. Di kepalanya bertengger mahkota mungil yang membuatnya terlihat seperti seorang peri kecil. Senyum cerianya tak pernah berhenti terpancar. Cukup menjelaskan kalau ia sangat senang karena tepat hari ini adalah hari ulang tahunnya yang keenam. Tentu, bukan semata karena ulang tahun itu yang membuatnya senang, tetapi karena acara ulang tahunnya kali ini berbeda dari biasanya. Dulu, dia hanya merayakan bersama kedua orang tuanya, terkadang keluarga dari sang papa juga ikut merayakan, kadang juga merayakan bersama teman-teman sekolah dan para anak-anak tetangga rumahnya. Sekarang, keluarga dari sang bunda juga turut serta di hari pentingnya ini, be
Karena tidur terlalu larut, akhirnya Inara dan Damian masih terlelap di atas ranjang ketika pagi telah menyingsing. Saling mendekap erat seakan takut kehilangan. Hingga beberapa saat kemudian, Inara mengerjap pelan. Hendak melepaskan diri dari rengkuhan sang suami, tetapi Damian justru makin merapatkan pelukan, seolah enggan membiarkan istrinya pergi. “Tidurlah kembali. Biarkan aku memelukmu sebentar lagi.” Damian mengatakan itu dengan suara serak, bahkan matanya masih setengah terpejam. Tak bisa berbuat banyak, Inara terpaksa kembali bergelung di dada pria itu. Hanya saja, ketika berusaha mencari posisi ternyaman, dia tak sengaja menoleh ke depan ranjang. Tepat saat itu, ia nyaris terlonjak begitu pandangannya tertumbuk pada bocah yang berdiri di sana dengan kedua tangan di pinggang. Wajah mungilnya cemberut. Pipinya mengembung, menunjukkan kalau ia sedang kesal, meski ekspresinya justru terlihat begitu menggemaskan. Inara langsung mendorong Damian agar melepas peluk
Inara yang saat ini tengah duduk santai di sofa, sesekali meneguk air minum sambil mengutak-atik ponsel ketika dikejutkan dengan sebuah sebuah lengan kekar yang tiba-tiba melingkar di pinggangnya, memeluknya erat. Dia menoleh sedikit, melihat suaminya sudah duduk di sebelahnya dan meletakkan dagu di bahunya. Embusan napasnya yang hangat bisa dirasakan menyapu kulit lehernya. “Bagaimana performaku barusan, Sayang?” suara Damian berat, sesekali mengecup bahu Inara. “Lumayan,” jawab Inara santai, sambil menahan senyum. “Lumayan?” Damian bertanya dengan nada suara yang terdengar tak terima. Ia langsung melepas tangan dari tubuh istrinya itu, lantas merebut ponsel Inara dan meletakkannya ke meja kecil di sisinya. “Kamu ini tega sekali, Sayang. Masa cuma lumayan. Padahal, aku sudah berusaha keras agar kamu merasa puas. Tau respons kamu begitu, aku bikin kamu tidak bisa jalan sekalian.” Melihat ekspresi cemberut sang suami membuat Inara menyemburkan tawanya pelan. Ia memutar
“Sayang ....”Mendengar itu, Inara yang berdiri di dekat dinding kaca kamarnya langsung berbalik. Sudut bibirnya tertarik, membentuk sebuah senyuman manis ketika melihat Damian masuk ke kamar dan melangkah ke arahnya.Pria itu langsung memeluk dengan dagu diletakkan di bahunya seakan melampiaskan rindu.“Mereka baru membiarkanku menemuimu,” lirih Damian.“Mereka siapa?”“Ayah, Rafiq, dan Rafa. Mereka terus mengajakku mengobrol, padahal aku sudah ingin menghabiskan waktu bersama istriku.” Nada suara Damian terdengar setengah kesal.Ya, mereka sudah sepakat kembali menjadi suami istri semenjak beberapa jam lalu. Akad dilangsungkan di mansion keluarga Inara.Meskipun begitu, sebelumnya Damian dan ayah Inara sempat bersitegang. Di mana Pak Baskara marah pada Damian yang sudah menyia-nyiakan putrinya di masa lalu. Damian mengakui kesalahan dan menyesal, bahkan sampai berlutut di hadapan orang tua Inara meminta maaf.Ia juga berjanji untuk menebus dan memperbaiki semuanya. Ia sadar, selam
Brak! Pintu ruangan kantor Pak Baskara dibuka dengan keras oleh Inara. Ibunda Alma itu melangkah masuk menghampiri sang ayah yang duduk di kursi kebesarannya. “Inara apa-apaan kamu ini? Kenapa kamu seperti tidak punya sopan santun? Setidaknya, ketuk pintu dulu sebelum masuk?” Pak Baskara protes dengan sikap Inara yang menurutnya sudah kelewat batas kurang ajar. Hanya saja, putrinya itu tidak menjawab. Justru langsung meletakkan ponsel ke atas meja, tepat di hadapan sang ayah dengan gerakan sedikit kasar. “Sekarang, Ayah jelaskan ini apa?” tanyanya dengan sorot mata yang tajam. Pak Baskara mengernyit heran, tidak sepenuhnya mengerti ada apa? Namun, tetap mengambil ponsel di hadapannya itu dengan gerakan perlahan. Layar ponsel seketika menampilkan sebuah rekaman video yang diambil dari kamera CCTV dashboard yang sengaja dipasang Damian di mobilnya. Rekaman itu memutar ulang adegan yang terjadi beberapa saat lalu. Pak Baskara tentu mengetahui kejadian dan orang dalam rekaman itu
Damian masih diam, ketika Inara bangkit dari duduknya. Tangannya bergetar menahan sesak yang membuncah dalam dadanya.Pandangannya sengaja dialihkan karena merasa tak sanggup menatap wajah pria yang pernah dan masih menjadi penghuni tetap di hatinya itu. “Aku harus balik ke kantor, jaga dirimu baik-baik setelah ini, Mas Dam,” ucapnya lirih, nyaris tak terdengar.Ada perasaan sedih saat mengatakan kalimat itu, seolah baru saja mengucapkan kalimat perpisahan.Inara hendak beranjak, tetapi baru satu langkah, Damian langsung mencekal tangannya. Tidak begitu kuat, tetapi juga seperti tidak ingin melepaskan.Inara menoleh cepat. Di saat yang bersamaan, Damian ikut berdiri.Ada sepercik kekecewaan yang tak dapat disembunyikan dalam raut wajahnya itu.“Aku ... tidak bisa, Ra,” katanya akhirnya, “aku tidak mau jaga jarak darimu. Dan, mungkin memang aku tidak akan sanggup untuk melakukan hal itu.”Deg.Inara ter