“Dam, aku mohon, tinggallah dulu … demi Vano. Sudah lama, dia tidak merasakan makan malam bersama ayahnya, jadi dia sangat berharap bisa makan malam bersamamu, meskipun kamu bukan ayah kandungnya. Setidaknya, kehadiranmu bisa mengobati rindu pada ayahnya.”
Damian mengusap wajah frustrasi, perasaannya campur aduk. Ia makin bingung apakah harus menyusul istrinya untuk menyelesaikan kesalahpahaman ini atau tinggal menemani Vano yang juga sangat mengharapkan kehadirannya. Sekali lagi, Damian menatap putra Selena yang masih berdiri di dekat pintu dengan tampang polosnya membuat hati kecil ayah anak satu itu tak bisa mengabaikan begitu saja. Akhirnya, setelah berpikir, Damian dengan berat hati mengangguk. “Baiklah ….” Selena tersenyum samar mendengar keputusan Damian. Matanya berbinar, merasa puas atas keberhasilan rencananya menahan Damian berada di sisinya lebih lama. Mereka berjalan kembali ke rumah Selena. Damian berusaha tersenyum di depan Vano walau nyatanya beban di dadanya makin terasa berat. Pikiran tentang Inara terus menghantui, meski ia sudah mencoba menyakinkan diri kalau ini hanya sementara. Dan, setelahnya, dia berjanji akan kembali pada keluarga kecilnya. Makan malam berlangsung. Sesekali tawa kecil Vano terdengar saat Damian menanggapi celotehnya dengan penuh perhatian. Selesai makan malam, suami Inara itu menemani Vano belajar. Dengan sabar mengajari bocah 5 tahun tersebut menulis dan membaca, sebagaimana yang sering ia lakukan juga pada Alma. Tak sampai di situ saja, Damian juga membacakan dongeng untuk Vano hingga anak itu tertidur pulas. Sementara di lain tempat, Inara duduk di sisi ranjang putrinya, mencoba tersenyum di hadapan Alma walaupun kini hatinya terasa seperti ditusuk ribuan duri. Bayangan Damian tersenyum hangat pada Selena tadi, bak keluarga harmonis membuat dadanya kian sesak kala mengingatnya. “Kamu sudah terlalu banyak berubah semenjak kehadiran wanita itu, Mas,” ujarnya dalam hati. Air matanya lagi-lagi mengalir tanpa bisa tertahan, tetapi buru-buru dihapus sebelum Alma melihatnya. “Bahkan, kamu rela berbohong hanya untuknya.” Inara melamun, entah akan seperti apa rumah tangganya dengan Damian ke depan nanti, jika alasannya untuk bertahan makin kecil? “Bunda, kapan Papa pulang?” Suara kecil Alma seketika membuyarkan lamunannya. Inara menatap putrinya, mencoba bersikap tenang. “Papa lembur, Sayang. Banyak kerjaan di kantor yang harus diselesaikan.” Jelas, ia berbohong. Inara mengingat jelas bagaimana Damian menemui Selena tadi. Namun, dia tidak ingin Alma tahu apa yang sebenarnya tadi karena buah hatinya ini masih terlalu dini untuk tahu masalah orang dewasa. “Tapi aku rindu Papa bacain dongeng sebelum tidur. Udah lama banget Papa enggak bacain dongeng buatku lagi.” Perkataan Alma lagi-lagi bagaikan palu yang menghantam hati Inara. Dalam hati, membenarkan perkataan putrinya, bahkan ia sendiri sudah lama kapan terakhir Damian membacakan dongeng untuk Alma? “Papa pasti akan bacain dongeng buat Alma lagi, kok. Tapi, sekarang biar Bunda aja yang bacain, ya?” Inara mencoba menenangkan dengan mengalihkan perhatian Alma meski dadanya juga sesak. “Tapi, aku maunya Papa ….” Alma merengek kecil, membuat mata Inara kembali panas. Tak ada yang bisa dilakukan, selain memeluk sambil mengusap lembut kepala Alma. “Nanti Bunda bilangin kalau Alma kangen dibacain dongeng oleh Papa, tapi untuk sekarang biar Bunda dulu aja yang bacain.” Akhirnya, Alma mengangguk kecil meskipun terlihat kecewa. Dengan cepat, Inara meraih buku dongeng lalu membacanya. Dia berusaha agar suaranya terdengar ceria mengikuti cerita yang dibacanya meski sesekali tenggorokannya terasa tercekat. Hatinya makin hancur begitu melihat wajah polos putrinya yang merindukan sang papa kini sudah tidur, sedangkan Damian saat ini tengah menghabiskan malam bersama Selena dan Vano, bahkan untuk buru-buru pulang menyelesaikan masalah mereka saja tidak dilakukan, bahkan mungkin tidak berniat. Tatapannya mengarah ke langit-langit kamar, mencoba menahan air mata yang lagi-lagi hendak menerobos keluar. “Kamu lebih memilih menemani mereka, tanpa tau kalau di sini, Alma juga sangat merindukanmu, Mas.” *** “Terima kasih, Mas Damian. Kamu memang orang baik. Dan, aku tau, kamu pasti tidak tega membiarkan Vano merasa sedih.” Selena memuji sambil tersenyum sumringah ketika Damian pamit pulang. “Hm. Tapi, ini yang terakhir. Aku tidak bisa terus-menerus menemui kalian.” Senyum Selena seketika memudar, merasa tak terima dengan keputusan Damian yang tiba-tiba. “Kenapa? Istrimu cemburu padaku?” Damian terdiam, hati kecilnya membenarkan. Jadi, sekarang ia tak memiliki tujuan lain, selain memperbaiki hubungan dengan Inara yang dirusak oleh kebohongannya. Semua ini guna melindungi pernikahannya. “Nanti aku akan membantumu menjelaskan pada Inara kalau kita tidak ada hubungan apa-apa, tapi tolong jangan mengatakan kalau ini terakhir kali kamu ke sini. Bagaimana dengan Vano ketika ia merindukanmu? Dia hanya anak kecil yang tidak mengerti masalah orang dewasa seperti kita. Dan, bagaimana denganku jika membutuhkan bantuanmu? Kamu tau kalau aku tidak punya siapa-siapa di sini … selain kamu.” Selena mengatakan itu dengan wajah memelas, berharap Damian akan tetap selalu ada untuknya seperti belakangan ini. “Nanti kita bicarakan lagi. Sekarang, kamu masuk dan istirahat.” Setelah mengatakan itu, Damian buru-buru pulang ke rumah. Hanya saja, tiba di sana, ia tak mendapati istrinya berada di kamar. Beralih ke kamar Alma, ternyata Inara berada di sana. Untungnya, karena istrinya itu masih terjaga sehingga Damian bisa masuk dan mengajak Inara bicara. “Aku mau bicara sebentar denganmu.” Inara mengembuskan napas berat, terlihat sangat malas, tetapi tetap bangkit dari tempat tidur dan mengikuti Damian ke kamar mereka. “Aku terpaksa ke rumah Selena tadi.” Pembelaan diri Damian meluncur saat mereka tiba di kamar. “Kenapa lagi kali ini?” Inara bertanya dengan nada datar. Merasa sudah tak ada energi membahas masalah yang sama, berulang kali, apalagi harus marah-marah mengatakan kalau ini menyakitinya. Sebab, sudah seringkali ia mengatakan, tetapi Damian tetap melakukan seolah-olah memang tak peduli perasaannya. “Vano merindukan momen makan malam bersama ayahnya. Jad—” “Ya, kamu memang cocok jadi ayahnya Vano, Mas.”Inara mengatakan itu dengan sinis membuat Damian tertegun. Ia tahu istrinya sedang kecewa dan marah padanya, tetapi tak menyangka kalau Inara sampai melontarkan kalimat seperti itu?
Setelah beberapa menit perjalanan, kini mobil Damian akhirnya akhirnya berhenti tepat di depan lobi kantor Mahacitra. Inara melepas sabuk pengaman, tetapi tidak serta merta langsung turun. Dia menoleh pada Damian, lalu berkata, “Terima kasih sudah mengantarku, Mas.”Damian hanya tersenyum tipis, menatap wanita yang duduk di sampingnya dengan sorot yang teduh. “Tidak perlu katakan itu. Bukankah aku sudah janji padamu?” jawabnya tenang. Sebelum Inara benar-benar turun, Damian kembali menambahkan, “Aku akan coba hubungi mantan suaminya Selena. Semoga dia mau merawat Vano. Paling tidak, untuk sementara, sampai Selena sehat kembali dan proses hukumnya selesai.”Inara mengangguk pelan, tetapi dalam binar matanya masih tampak keraguan di sana. “Tapi, bagaimana kalau ayahnya Vano menolak, Mas?”Damian terdiam sesaat, tetapi tangannya semakin keras mencengkeram setir mobil. “Mungkin, akan lebih baik kalau Vano dibawa ke panti asuhan.”“
Mendengar pembicaraan Damian dan wanita muda itu, Inara sedikit mengernyit.Merasa bingung dengan arah obrolan mereka. Didengarnya nama Daffa beberapa kali disebut-sebut dan hal itu, tentu saja membuatnya merasa tak nyaman.Seperti ada yang janggal.Hingga ketika dia berada dalam perjalanan pulang diantar Damian, hati kecilnya masih bertanya-tanya. Dan, berusaha mencerna kata demi kata yang didengarnya tadi.“Bu Selena juga kadang marah-marah tidak jelas ke Vano, Pak. Kadang banting barang atau lempar mainan, bahkan tak sengaja menyakiti Vano hingga anak itu menangis histeris. Saya juga sebenarnya mau berhenti bekerja dengan mereka karena satu bulan terakhir, Pak Daffa belum gaji saya. Tapi, kalau saya kasihan sama Vano kalau harus meninggalkannya. Bagaimana kalau Bu Selena semakin menjadi-jadi?”Perkataan Lisa itu membuat Inara langsung menatap Damian yang juga terdiam di sebelahnya.Mata pria itu terpejam sesaat dengan rahang m
“Selena ... dia nekat melakukan percobaan bunuh diri.” Damian mengatakan itu setelah menerima telepon dan kembali duduk di dekat Inara. “Sekarang, dia dilarikan ke rumah sakit karena pendarahan hebat. Dia butuh tindakan lanjutan karena ada masalah serius pada janinnya.”Inara menoleh cepat, sedikit terkejut mendengar kabar itu. Namun, hanya sebentar, ekspresinya langsung berubah seolah-olah tidak peduli. Sorot matanya sulit untuk ditebak.“Aku harus ke rumah sakit sekarang. Pihak rumah sakit butuh persetujuan kerabatnya, sedangkan dia tidak punya keluarga di sini. Pengasuhnya Vano minta tolong aku sebagai orang yang mengenal Selena untuk bertanggung jawan, setidaknya untuk kali ini. Tapi ....” Damian menjeda ucapannya, lalu menatap Inara seakan meminta solusi. “Pergi saja, Mas. Dia butuh kamu.” Inara mengatakan itu, tentu saja dengan suasana hati yang tidak baik-baik saja. Baru saja Damian mengatakan akan berubah, tetapi sekarang malah seperti i
“Mas, berhenti!” seru Inara dengan suara sedikit tersengal. Dia menghentakkan tangannya dari genggaman Damian begitu mereka tiba di area parkiran restoran.Pria itu pun refleks menoleh, terkejut. “Apa?”“Kakiku sakit ….,” lirih Inara sambil menunduk, wajahnya menahan nyeri, sontak membuat ekspresi Damian berubah panik. “Astaga, maaf. Sini, biar aku lihat.”Tanpa menunggu reaksi Inara, dia segera berlutut di hadapannya. Tatapannya langsung tertuju pada pergelangan kaki wanita itu yang tampak kemerahan, tepat di atas tali sepatu hak tingginya yang kini sedikit longgar.“Maaf, aku tidak bermaksud bikin kamu kesakitan,” ujar Damian, merasa bersalah, tetapi tidak ada tanda-tanda penyesalan di wajahnya itu. “Aku tadi sedikit ... kesal.”“Seenggaknya, jangan menyeretku seperti itu.”“Refleks.” Damian menghela napas, kemudian berdiri perlahan. “Sini, aku bantu jalan, aku obatin di mobil.”Inara mendengus pela
Dengan kacamata hitamnya, Damian duduk tenang di salah satu sudut restoran siang itu. Tangannya bersilang di dada, menunjukkan kalau ia tampak tengah kesal. Bahkan, kacamata hitam yang menutupi tajam tatapannya itu tak bisa menyembunyikan raut wajahnya yang tidak suka dengan apa yang sedang ia lihat.Di meja sebelahnya, duduk Inara dengan anggun mengenakan blazer putih yang mempertegas karismanya sebagai salah satu petinggi wanita di perusahaan yang bergerak di bidang fashion.Namun, tentu saja bukan itu yang membuat Damian kesal. Tapi, karena Inara tak hanya sendiri di meja itu. Melainkan, bersama pria paruh baya berkacamata bulat di depannya, perutnya sedikit buncit.Pria itu tertawa renyah, terlalu renyah. Membuat Damian kian kesal. Tidak suka.Hanya saja, ia tidak bisa pergi begitu saja, karena tujuannya datang ke sini memang untuk mengawasi Inara. Dia rela menunda meeting begitu mendapat kabar dari Andrew kalau Inara akan
Mendengar penjelasan Rafiq, setidaknya Pak Baskara bisa sedikit bernapas lega. Paling tidak, putrinya tidak akan curiga lagi padanya. Lagipula, dirinya memang tidak tahu menahu soal penculikan itu. Baik, penculikan Alma ataupun upaya Daffa untuk mencelakai putrinya. Bila tahu, ia pasti akan sangat marah.“Kak Rafiq benar, Kak Inara. Dan, kami sudah melaporkan kasus ini ke pihak berwenang dan mereka sudah menambahkan Daffa ke DPO. Kabarnya, dia kabur ke luar negeri. Meskipun begitu, kami tidak akan memberikan maaf untuk orang yang mencoba mencelakai anggota keluarga Wardhana.”Inara mengangguk pelan. Namun, belum mengatakan apa pun, ketika Rafa kembali melanjutkan, “Dan, soal Selena. Polisi juga sedang mengupayakan pencarian. Terakhir, dia di apartemen milik Daffa, tetapi lagi-lagi polisi kehilangan jejaknya. Dia pintar menghilangkan jejak.”“Tapi, dia tetap harus bertanggung jawab, bukan hanya soal penculikan Alma, tapi juga .