Part 14"I-iya, baik, Tuan. Den Alvaro bagaimana?""Kamu berapa hari di kampung?""Maaf Tuan, kalau saya izin dua hari apakah boleh?""Ya, tentu."Aku merasa sangat senang, ternyata majikanku yang satu ini sangatlah baik, berbeda dengan yang lainnya, mereka tak menyukaiku di sini. Entahlah ..."Kalau begitu, Alvaro diajak. Saya gak percaya dengan orang rumah.""Baik, saya akan siapkan Den Alvaro juga.""Saya akan menginap juga dua hari.""Hah? Menginap?" Sungguh aku tak percaya ucapannya. Masa sih Tuan Putra ingin menginap? "Ya, kenapa? Ada yang salah?""Ti-tidak, tapi--""Hal yang wajar bukan, seorang majikan silaturahmi pada pembantunya? Apalagi keluargamu sedang terkena musibah.""I-iya sih, tapi saya takut mengecewakan Tuan.""Kenapa?""Rumah saya kecil dan jelek, Tuan. Saya takut Tuan dan Den Alvaro tidak kerasan di sana. Karena gak ada springbed ataupun AC.""Kau tenang saja, saya bisa pesan hotel.""Tapi--""Hana, saya ini bermaksud baik lho, tapi secara halus kamu menolak say
Terlihat Tuan Putra dan Nyonya Reni berdebat sejenak."Mbak gak habis pikir, kok bisa-bisanya kamu mau nganterin pembantu pulang kampung. Dia itu digaji buat bekerja sama kita, bukan malah sebaliknya. Kamu sudah gak punya otak ya, Putra?!""Sudahlah, Mbak, jangan ikut campur dengan urusanku.""Tapi dia kan cuma pembantu, kita itu tidak boleh seperti ini nanti lama-lama pembantu itu ngelunjak.""Mbak, jangan nilai seseorang hanya dengan strata sosialnya. Sudah cukup, saya tidak ingin mendengar sanggahan apapun lagi!" Tuan Putra menoleh ke arahku yang tak sengaja mencuri dengar perdebatan dengan Nyonya Reni."Hana, cepat masuk mobil."Aku mengangguk ragu. "Maaf, permisi dulu, Nyonya.""Oh ya, Mbak, bilang ke ayah, aku gak pulang tiga hari. Tidak usah dicari," ujar Tuan Putra penuh penekanan."Hah? Kamu?"Aku masuk ke dalam mobil, duduk memangku Alvaro. Secepat kilat kaca jendela mobil ditutup oleh Tuan Putra. Nyonya Reni tampak kesal sekali, terutama mungkin padaku. Ia pun segera mela
Part 15"Haha maaf Bu, ini Tuan Putra. Dia majikan Hana di kota, Bu."Aku terkejut, benar-benar tidak menyangka Tuan Putra bergurau sampai sebegininya. Debaran jantung jadi tak karuan dibuatnya. Gara-gara kata-kata itu saja membuatku gugup tak menentu.Astaghfirullah, ada-ada aja ini Tuan Putra. "Oh, ya ampun, majikan Hana. Maaf ya Tuan ganteng, ibu teh gak tahu, silakan masuk."Aku melirik ke arah lelaki itu yang tampak santai seolah tak terjadi apa-apa, membuatku makin salting saja. Lelaki itu masuk mengekori ibu lalu berdiri di sebelah ranjang pasien. Akupun menghampiri bapak yang tengah tertidur, wajah keriputnya tampak pucat. Kuciumi pipi bapak. "Pak, Neng pulang. Bapak cepat sehat ya, Pak. Cepat sembuh biar bisa beraktivitas seperti sedia kala," bisikku lirih di telinganya. Bapak bergeming, tak ada respon apapun darinya. Beliau tertidur nyenyak.Kamar rawat inap bapak adalah kelas dua, jadi satu ruangan ada dua kamar, cuma yang di sebelah kosong tidak ada pasien."Kalian dar
Part 16Aku terdiam. Suasana jadi begitu canggung sepanjang perjalanan. Ah, apa-apaan ini?Sesampainya di rumah ...Lampu ruang tamu sudah gelap, Husna mungkin sudah tertidur.Kuketuk pintu beberapa kali. "Assalamu'alaikum. Husna, ini teteh. Tolong bukain pintu ya!"Aku berteriak sekali lagi, hingga terdengar suara kunci diputar. Daun pintu mengayun terbuka. Adikku dengan mata menahan kantuk membuka pintu. Aku segera masuk dan menyalakan saklar lampu."Teteh udah pulang? Gimana bapak?"Aku tersenyum. "Alhamdulillah, kata ibu, bapak udah sadar. Pas di sana bapak sedang tidur.""Syukurlah kalau begitu.""Gimana, Alvaro bangun gak?""Enggak, Teh. Tidurnya nyenyak banget. Itu majikan teteh gak disuruh masuk?" tanya Husna. Aku menggarukkan kepala yang tidak gatal. "Mau lapor Pak RT tapi sepertinya Pak RT udah tidur ya? Malah takutnya ganggu.""Biarin aja sih, Teh. Suruh masuk aja kasihan."Aku keluar melongokkan wajah, menoleh ke kanan dan kiri tapi tak melihat sosok Tuan Putra dimanapun.
Part 17"Ehm ... Teteh lagi ngapain?" Spontanitas kami menoleh, aku terkesiap begitu juga dengan Tuan Putra, ia menurunkan tangannya saat melihat Arga yang sudah siap dan rapi memakai seragam putih merahnya. Seketika suasana menjadi canggung."Jadi ini majikan teteh ya? Yang teteh ceritain itu?" tanyanya lagi.Aku tersenyum. "Iya, sini Arga, salim dulu sama majikan kakak, ini namanya Tuan Putra, ayahnya Dek Alvaro."Adik laki-lakiku itu datang mendekat. Lalu menatap Tuan Putra dengan lekat dan menyalami tangannya."Sudah, ayo kita sarapan bareng. Teh Husna panggil juga ya, Dek Alvaro belum bangun kan?""Iya, belum, Teh."Arga mengangguk kemudian berlalu menuju kamarku."Maaf Tuan, tadi Tuan mau bilang apa?""Tidak jadi.""Ya sudah, kita makan dulu ya, Tuan. Maaf menunya sangat sederhana gak ada ikan maupun daging-dagingan.""Hmmm ..."Dia mengekor di belakangku lalu duduk di kursi kayu. Tak lama kedua adikku datang mendekat.Aku menyiapkan makanan untuknya dan kedua adikku. Mengambi
Part 18Setelah Pak RT pergi, aku beranikan diri menatap manik mata Tuan Putra yang kecoklatan penuh pesona."Maaf Tuan, kenapa jawabnya seperti tadi? Apa maksudnya? Bikin orang jadi salah paham aja!" gerutuku. Dia tampak santai, tapi tak kunjung menjawab perkataanku."Tuan?" panggilku dengan nada pelan."Ya?""Tuan tahu gak maksud ucapannya Pak RT tadi? Tuan kan majikan saya bukan calon suami saya. Saya tidak enak sama omongan orang-orang kampung yang kadang suka dilebih-lebihkan.""Kalau begitu sesuai ucapan Pak RT, saya akan menghalalkanmu," jawabnya terkesan mantap."Hah?" Aku terperanjat kaget dengan ucapannya. Sungguh tak habis pikir dengan ucapan pria tampan di sebelahku ini. Kok bisa? Apa yang dia suka dariku?"Kenapa terkejut? Saya merasa nyaman sama kamu. Terlebih Alvaro, dia sudah sangat cocok denganmu," jawabnya lagi. Jantungku makin bertalu dibuatnya."Hah? Tapi itu--"Jantungku berpacu dua kali lebih cepat dari biasanya. Apa ini artinya dia sedang melamarku? Rasanya ti
Part 19Tuan Putra sudah berada di belakang kemudi. Bapak dan ibupun sudah berada di jok belakang. Tadi dibantu oleh perawat yang bertugas. Perihal pembayaran Rumah Sakit tadi, akan saya tanyakan di rumah saja ketika sudah sampai."Sudah siap?" tanya Tuan Putra."Sudah, Tuan," sahut ibu sambil tersenyum.Mobil melaju dengan pelan. Sesekali Alvaro berceloteh riang. Dia menunjuk sesuatu yang dinilainya takjub. "Mommy, itu apa?""Mommy, itu apa?""Mommy, itu apa?"Dan pertanyaan lain yang serupa. Aku tersenyum.dan menjelaskan semua yang dia tanyakan. Meski memakan waktu lebih lama, akhirnya sampai juga di rumah. "Makasih ya, Nak," ujar bapak pada Tuan Putra saat ia membantunya masuk ke dalam rumah."Iya, bapak istirahat biar cepat sembuh," sahutnya.Ibu tersenyum, raut wajahnya pun terlihat sangat lelah. Ia masih menemani bapak agar bisa beristirahat.Gegas aku ke dapur, membuatkan teh manis hangat untuk mereka. Bapak, ibu dan Tuan Putra, agar badan mereka segar.Aku segera ke warung
Part 20Tetiba Alvaro mendorong wajah sang ayah dengan tangan mungilnya. "Daddy, jangan mayahin mommy! Kasihan Mommy," pungkasnya."Kamu belain mommy-mu ini?" tanya Tuan Putra, kini ia menatap sang anaknya yang lucu menggemaskan."Iya. Aku sayang mommy!" ungkap Alvaro lagi seraya menyandarkan kepalanya di bahuku."Jangan mayahin mommy, Vayo yang salah," ungkapnya lirih. Sepertinya dia sudah hampir menangis, karena gerak bibirnya yang cemberut dengan mata yang berkaca-kaca. Aku langsung mengecup pipinya dengan lembut. "Enggak sayang, daddymu gak marah kok. Tadi dia hanya bercanda saja," sahutku menenangkan Alvaro yang rupanya salah paham.Tuan Putra tampak menahan senyumannya lalu membelai kepala anaknya. "Maafin daddy ya!"Alvaro justru makin menyembunyikan wajahnya. "Mommy, ayo pulang!""Iya, ayo pulang," sahutku."Ayo sama daddy, Varo!" ujar Tuan Putra."Gak mau! Daddy mayah-mayah teyus! Nanti cepat tua loh!" tukas Alvaro, membuatku tertawa lirih karena kepolosan anak kecil ini.