Di antara ilalang yang menari mengikuti alunan seruling alam di musim panas, Angkara kecil melangkah dengan terseok-seok dituntun oleh pria muda bertopeng badut. Debu dari tanah gersang mengepul ke udara. Desa mati ini hanya menyisakan selembar koran 2009 yang sepertinya tersapu angin dari desa sebelah, Desa Taman Sari.
“Kapan paman akan mengantarkanku ke rumah?” tanya bocah itu dengan polosnya. Dengan mata tersenyum dibalik topeng, pria itu menoleh. “Nanti, setelah luka di kakimu sembuh.” Sampailah keduanya di bekas peternakan yang terletak di desa tak berpenghuni. Angkara kecil mendadak didorong masuk oleh si pria bertopeng. Dengan kelopak mata yang membesar dan tubuh yang bergetar hebat, anak laki-laki itu sangat tidak percaya atas apa yang dilihatnya. Harapannya untuk bisa pulang menjadi abu seketika. Yang dia lihat hanyalah jeritan dan tangis dari belasan anak-anak yang ketakutan. “Sudah lengkap semua.” sahut pria bertopeng itu dengan suara paraunya. Angkara kecil berbalik lagi mencoba menerobos celah kandang yang terbuka, namun si pria bertopeng langsung mencengkram bahunya dan melemparnya tepat ke tengah-tengah anak-anak. Hal itu membuat jeritan serta tangisan anak-anak membumbung tinggi. Angkara kecil yang tersungkur dengan luka membiru mencoba bangkit dan menyerang balik, namun seorang anak perempuan yang mana adalah Meydisha kecil menyapu tangisnya lalu menggenggam lengannya. Angkara kecil menoleh dan menatap lekat mata membara dari anak perempuan itu. Bukan hanya ketakutan, tapi keberanian dan amarah yang tercermin di kedua bola matanya. “Baiklah, bocah-bocah menggemaskan. Kalian terlalu menggemaskan sampai-sampai aku tidak sabar mengeksekusi. Matilah dengan tenang.” Mendengar kata-kata si pria bertopeng, semua anak-anak yang berada di dalam kandang saling meringkuk dan memeluk satu sama lain. “HAHAHAHAHA!” Dengan pita suara mungilnya, ia tertawa sekencang-kencangnya sehingga berhasil membuat tangis anak-anak berhenti. Si pria bertopeng menatap heran ke arahnya. “Paman! Apa dengan membunuh kami, paman bisa merasa bahagia?” tanya Meydisha kecil dengan polos dan tenang. Si pria bertopeng tampak menorehkan tatapan terkesan. “Tentu saja. Aku sangat menyukai mengembalikan kalian semua yang tersesat di desa ini ke tempat di mana kalian berasal,” “Dari mana kami berasal?” Meydisha kecil terus bertanya dengan nada mantap. Pria bertopeng mendongakkan kepalanya dan menatap langit biru dari celah kandang. “Di tempat damai bersama anakku yang cantik. Dia takkan kesepian bila kukirim kalian semua.” Ujarnya lalu memejamkan mata sesaat. “Tidak, mungkin sebaliknya. Bagaimana jika ada pengkhianat di antara kami dan berkelahi dengannya?” Mendengar pertanyaan Meydisha kecil, pria bertopeng itu tertegun sesaat. Kentara sekali ia sedang berpikir kencang seperti yang diinginkan Meydisha kecil. “Kalau begitu, apa kamu mau menyingkirkan pengkhianat itu?” Tak disangka, jawaban yang mengerikan terucap dari mulut si pria bertopeng. Dia mendekati Meydisha kecil lalu berlutut dan menyerahkan belati dengan ukiran gambar sayap di ujung gagangnya. Meydisha kecil meraih belati itu dan beringsut dibantu oleh si pria bertopeng, keduanya berjalan ke depan lalu menatap anak-anak yang sudah dikurung selama seminggu. “Pilihlah gadis manisku, siapa sekiranya yang akan berkelahi dengan anakku di nirwana?” sahut si pria bertopeng dengan nada lembut, lalu mencondongkan tubuhnya ke telinga si gadis kecil. “Berkelahi untuk hidup, berdamai untuk mati,” bisik si pria bertopeng disusul gelak tawa bergema yang diciptakannya sendiri.《 BARA ARKAIS: BAGIAN PERTAMADari Arkais untuk Mey, gadis pemegang belati.Masih di hari yang sama. Gadis keciku, Mey, pergi seorang diri menuju desa tak berpenghuni untuk mencari ayah tercintanya. Namun, langit berkata lain. Alih-alih bertemu bagindanya, ia dipertemukan dengan pangeran kematian. Sang pangeran kematian menculiknya. Mengumpulkannya bersama belasan putra dan putri yang tersesat di kandang tempat jerami berserakkan.Ia tak menangis, ia tak menjerit, ia tak melawan. Api keberanian tercermin dalam sorot mata mungilnya. Tampaknya hanya ia yang bisa melihat pesona dan kebijaksanaan sang pangeran kematian. Akhirnya sang pangeran kematian menjadikannya algojo dan menyerahkan belati bersayap di tangannya. 》***BRUUUK! Aku melempar ponselku ke meja dengan keras. “Ish, enak saja! Siapa juga yang terpesona dengan pangeran bertopeng jelek?” gerutuku. Angkara tampak memiringkan senyumnya melihat tingkahku. “Kenapa? Kenapa kamu tersenyum, hah?” teriakku, lega sekali rasanya menyemprot seseorang dengan omelku. Ia menggeleng, “Nggak, hanya lucu saja melihatmu mengomel. Kamu tidak berubah, Mey.” Aku melotot. “Jangan panggil aku seperti itu! Disha! Panggil aku DISHA, D I S H A. Nanti kamu seperti Penulis Arkais yang sok tahu itu.” “Iya, iya. Ya sudah, sebaiknya kita memastikan dulu apakah Penulis Arkais adalah si pria bertopeng atau bukan. Kita harus menemui polisi yang menangani kasus ini dulu.” Aku mengangguk sebagai tanda menyetujui sarannya.Akhirnya Tovan dapat bernapas lega. Setelah lima belas menit berlalu, ia bisa melihat Meydisha berkedip meski pergerakan sangat pelan. Sementara dokter sibuk memeriksa kondisinya secara keseluruhan, Meydisha menatap langit-langit rumah sakit dengan tenang. Barangkali, dia belum sadar kehadiran Tovan di sana. “Untuk sekarang ini, tanda-tanda vital menunjukkan respon baik. Tidak ada masalah pada semua jahitan. Kami akan membuka jahitan begitu ia mengering,” jelas dokter wanita bernama Raisa. Setelah mendapat ucapan terima kasih dari Tovan, dokter bersama suster pergi meninggalkan ruangan. Seperti biasa, kamar VIP itu cuma ada Tovan dan Meydisha. Tovan berdeham. Meski begitu, suasananya lebih canggung karena gadis itu tahu kehadiran Tovan. “Kamu yang nyelametin aku? Nama kamu siapa?” tanya Meydisha parau. “Tovan Adipati, gue anaknya—” Keraguan dan rasa bersalah menyeruak di relung hati. Tovan tidak tahu apa yang Meydisha lakukan bila dia tahu semuanya. Apa Meydisha bakal melarikan d
Tetes demi tetes darah bercucuran. Muncul dari teririsnya urat nadi leher Angkara. Angkara? Suamiku yang kucintai? Meydisha berdecih, mengertakkan giginya. Berusaha tak acuh dengan erang kematian dari pria busuk yang perlahan runtuh, lalu ambruk ke tanah bebatuan.“Aku tahu semuanya, Reyvan Purnama,” ucap Meydisha, sangat jelas sekaligus getir.“O-oh-ohok, tol—tol—”Nyawa Reyvan berada di ujung tenggorokan dan tak mampu mengeluarkan satu kata pun. Reyvan memegangi lehernya sekuat tenaga dengan dua kaki menggesek-gesek tanah. Satu tangannya kini lepas, mencoba menyentuh kaki Meydisha. Di detik-detik yang tersisa, ia memohon pengampunan. Berharap Meydisha masih memiliki belas kasih untuk menyelamatkan dirinya.“Selamat karena berhasil hidup bersamaku dalam waktu yang singkat, Reyvan. Tapi, asal kamu tahu, di hari aku sadar kepalsuanmu, kamu tidak pernah menggantikan suamiku, Angkara Langit Putra. Dia tidak pernah sekali pun hilang dari lubuk hatiku. Aku tidak tahu apa yang kamu lakukan
Hardikan Angkara membuat burung-burung yang bertengger terbang ketakutan. Wajah pria itu memerah sepenuhnya. Rahangnya mengeras bagai batu dan gemetar hebat ketika dipaksa berbicara. Urat syaraf menjalar seperti akar di pelipisnya. Kesabaran Angkara sudah meledak habis. Api yang paling jahat adalah yang membakar jiwa raga. Ia membumi-hanguskan perasaan tanpa meninggalkan asap. Yang artinya, bekas luka akan abadi mengepul kehidupan Angkara. “Sudah terlambat, Angkara,” ungkap Black memecah akal sehat pria yang menggila di atasnya. “Asal kau tahu, aku tak berniat sampai membunuhnya. Hingga sialnya—oopss! Kami ketahuan bakal membunuhmu. Kamu mau melihatnya terakhir kali?” Hening menyeruak, tapi batin Angkara menjerit. Telinganya mendadak tuli, terbawa arus duka yang luar biasa menyakitkan. Ia tak sadar kapan anak buah Black yang pitak itu memberikan ponsel ke bosnya. Potongan Fot
“Kak Luther menunggumu di sana.” Lia menunjuk punggung kakaknya yang berdiri tegap di ujung tebing. Kedua tangannya disilangkan ke belakang. Berulang kali menoleh ke segala sisi hamparan laut di bawahnya. Sepertinya Pak Luther fokus sekali merasukkan energi tenang dari air ke dalam jiwa raganya. Ia berbalik, nyaris tergelincir kerikil. Merasakan kehadiran Angkara yang membuat sendi-sendi kakinya melemah. “Akhirnya Anda datang,” sambut Pak Luther tersenyum kecut. “Akan kutinggalkan kalian berdua. Kasian Jake sendirian di kamarnya,” timpal Lia sebelum akhirnya pergi. Angkara maju ke tak jauh dari bibir tebing, berdiri di samping Pak Luther. “Saya datang untuk pamit,” ungkap Angkara menyesal. “Ya, saya barusan membaca berita tentang rumor jahat bahwa ketika kecil Anda sempat membunuh psikopat. Rupanya media paling gesit menyebar
“Halo, Lia? Pak Luther? Bu Angel?” Meydisha mengetuk pintu ruang keluarga Pak Luther. Tidak ada jawaban. Dari halaman kantor, lobi, dan kediaman keluarga itu sepi sekali. Apa mereka sudah tidur? Benak Meydisha. Akan tetapi, kalau benar, pintu kaca biasanya terkunci. Itu pun di atas jam sembilan malam. Gagang pintu tak sengaja ditekan Meydisha, engsel berderit. Benda itu terdorong. Membuka portal dunia yang jauh lebih sunyi daripada di luar. “Lia? Bu Angel? Pak Luther?” panggil Meydisha lagi, lebih mengeraskan suara. Kakinya melangkah maju, sedikit demi sedikit masuk ke dalam rumah setelah menutup rapat pintu. Sejauh mata memandang, pintu-pintu kamar terbuka, tapi tidak ada tanda-tanda kehidupan. “Ke mana mereka semua pergi?” gumamnya sendirian. Kekosongan rumah keluarga itu seolah mengaktifkan jiwa ala ‘detektif’ Meydisha. Benaknya digebu-gebu rasa penasaran. Feeling-nya membisikkan ada yang salah di sini. Mereka harusnya lapor pada Angkara lebih dulu jika bepergian. Teledor sekal
“Nangis? Angkara! Kamu menangis nonton film anti hero?” seru Meydisha, berusaha menengadah di leher Angkara. Angkara menggesek dagunya ke puncak kepala Meydisha. Membiarkan setitik airmata menetes sekaligus supaya perhatian istrinya balik ke layar proyektor. Dinding yang semula putih bersih, sekarang menampilkan jelas adegan-adegan fantastis. Di mana para penjahat kelas kakap serentak berbalik, mengubah langkah mereka dan tidak meninggalkan warga kota yang tengah diserang alien. Tidak acuh pada fakta bahwa mereka sebenarnya melangkah pada kematian. Bunuh diri. Angkara mempererat dekapannya pada Meydisha, selimut pun ikut andil menggulung keduanya dalam kehangatan. “Kamu tidak merasa tersentuh? Manusia yang biasa anggap jahat, ternyata punya sudut pandangnya sendiri untuk menyelamatkan dunia. Lihat! Mereka masih mengikuti hati nurani,” ujar Angkara. Meydisha memutar bola mata. “Ya ... di dunia nyata, kuanggap orang-orang itu adalah orang bodoh.” “Loh, kenapa? Mereka rela mati unt