Share

Bab 4: Suara Yang Tak Ingin Didengar

Tanpa pikir panjang, aku langsung menggendong Wirda yang saat itu langsung melunglai dan jatuh ke pangkuanku. Beberapa orang yang ada di rumah  makan sederhana itu sempat membantuku, namun selanjutnya aku mesti membopong sendirian istriku. Untung saja, di sekitaran situ sejak tadi—sebelum kami masuk ke restoran itu—banyak tukang becak yang mangkal. Aku langsung memanggil salah satu tukang becak, dan seorang lelaki yang kutaksir seusiaku lantas berlari kecil ke arahku.

“Mas, tolong saya...”

“Kenapa ini, Mas?” tanyanya sedikit berparas heran.

Aku hanya bilang dia sedang sakit. Lagipula, aku tak tahu apa yang sedang terjadi padanya. Tukang becak itu kemudian mengantar kami ke parkiran mobil yang cukup jauh jaraknya. Dengan agak tergesa-gesa aku dan tukang becak itu memasukkan Wirda ke jok belakang mobil sedanku.

Ketika aku hendak membawanya ke rumah sakit terdekat, tiba-tiba Wirda terbangun dan tentu saja aku kaget. Saat itu aku baru saja ingin menyalakan mesin mobil, dan perempuan itu lantas menjawil pundakku begitu saja, seraya menampilkan raut yang membuatku terkejut. Terang saja karena wajahnya yang masih pucat itu tertutup rambut panjangnya yang menjuntai ke depan.

“Wirda! Wirda... kamu mengejutkanku.” 

“Jangan.”

“Jangan apa?”

“Jangan bawa aku ke rumah sakit. Bawa saja aku pulang.”

“Kamu yakin?”

Aku dengan refleks memegang keningnya untuk mengecek perubahan suhu yang mungkin terjadi pada tubuhnya. Akan tetapi, tubuhnya benar-benar dingin, dan tangan Wirda pun lantas menepis tanganku.

“Pulang saja, Mas. Ayo,” katanya sembari merebahkan tubuhnya lagi di jok belakang.

“Baiklah. Kamu yakin?”

“Sudahlah, jangan membuat kepalaku tambah pusing. Aku hanya butuh istirahat di rumah.”

Kami pun akhirnya melaju pulang. Sepanjang perjalanan, Wirda hanya terdiam. Kadang meringkuk, kadang duduk, dan setiap aku melirik ke spion mobil, entah mengapa aku merasa merinding tatkala melihat tatapannya yang kosong. Kupikir, ia tak sedang baik-baik saja dalam beberapa hari terakhir ini.

Ya, ini bukan suatu keadaan yang wajar. Ia sudah terlalu berubah menjadi orang lain, sementara Wirda sama sekali tidak sadar akan hal tersebut. Bahkan ia melupakan kata-katanya saat sebelum kami pindah. Ia sendiri yang bilang akan terus mengingatkanku, bila aku mulai mengambil banyak lembur di bank tempatku bekerja.

Namun, ia benar-benar melupakanku. Melupakan dirinya sendiri.

Malam sudah cukup larut saat kami sampai rumah. Terakhir kulihat arlojiku sekitar pukul setengah dua belas. Sudah tengah malam. Wirda pun sudah tampak mengantuk, dan ketika mobil telah kuparkirkan di depan rumah, segera kubangunkan perempuan itu.

Dan betapa terkejutnya aku tatkala Wirda lantas sadar dan menatap wajahku dengan serius. Tapi, tak lama setelah itu Wirda segera keluar dari mobil dan berjalan lunglai ke kamarnya.

Di saat itulah, aku melihat kembali pohon besar yang sempat mengusikku tatkala pertama kali kupindah ke rumah ini. Entah, apa yang terjadi saat itu pada istriku. Yang jelas, kini tak sengaja aku melihat kembali pohon besar itu seakan menantangku dengan desaunya yang membisik.

Saat itu pula, aku sekejap merasa merinding. Rasanya bulu roma di sekitar tengkuk leherku berdiri semua. Di waktu yang sama, aku mendengar Wirda sudah menutup pintu kamarnya. BRAAAK! Keras sekali ia menutup pintu. Alhasil, aku lantas masuk cepat ke rumah. Mengunci rumah dan pergi ke kamar. Kupikir pintu kamar sudah ia kunci, sehingga aku harus tidur di kamar lain. Tapi, tidak. Pintunya tidak terkunci meski sebelumnya ia menutup pintu itu keras.

Dengan cemas, aku kembali menutupnya. Membiarkan perempuan yang kini sedang tidur berposisi menyamping ke arah jendela kamar itu istirahat. Kupikir, mudah-mudahan dia bisa kembali sehat dan kuharap dia kembali seperti dulu.

Kalau tidak berubah, aku takut ini memanglah bukan sesuatu yang wajar. Aku takut istriku mengalami suatu fase sebuah penyakit atau apapun. Ya, pikiranku sudah bercabang tatkala melihat kepribadiannya lambat hari semakin ke arah yang tak pernah bisa kubayangkan sebelumnya.

Malam itu, kuputuskan untuk tidur di kamar lain. Aku sengaja meninggalkannya, kupikir dengan hadirnya aku di sana, itu hanya akan membuat dirinya tak tenang. Serba gelisah. Ya, kuakui, beberapa hari terakhir ini Wirda selalu merasa kehadiranku seperti ancaman baginya. Entah, aku merasa demikian. Setiap aku berada di sisinya, apalagi kalau aku menyentuhnya, ia lantas menunjukkan wajah yang masam.

Jujur saja, itu sungguh membuatku terluka sebenarnya. Ketika kami mencoba untuk bercinta pun, kini Wirda selalu menampilkan wajah yang tak menyenangkan, seolah ia tak menikmatinya. Tak seperti hari-hari pertama kami di rumah baru itu.

“Apa rumah ini penyebabnya,” gumamku, sembari meletakkan buku yang kubaca, setelah sebelumnya kuambil dari rak buku di ruang tengah. Awalnya kupikir dengan mengambil buku dan membacanya, rasa kantukku akan datang seiring rasa lelahku menyertai. Tapi, kantuk tidak juga datang. 

Sebentar, aku beringsut dari ranjangku, dan berdiri tepat di depan jendela. Kusibakkan sedikit jendela, sehingga mataku bisa langsung mengarah ke lahan kosong, yang hanya dihuni oleh pohon besar.

Aku sempat bertanya kepada beberapa penduduk setempat perihal satu-satunya lahan kosong di kawasan perumahan baru ini, di saat semua lahan lain sebenarnya sudah penuh dibangun rumah. Ya, hanya lahan kosong di samping rumahku saja yang kosong. Seolah itu dibiarkan kosong.

“Pernah suatu kali ada yang ingin menebangnya... katanya, sih pemilik pengelola perumnas ini... tapi, saat eskavator datang untuk menebang meratakan tanah di sekitar pohon, dan beberapa orang ingin menggergajinya dengan alat khusus... pohon itu tidak bisa ditebang,” kata seorang satpam, suatu hari aku pernah mengobrol dengannya, sebelum pulang ke rumah.

“Apa karena akarnya terlalu kuat?”

Satpam itu tersenyum.

“Wah, Mas ini sangat berpikiran positif. Itu bagus, Mas.”

Aku hanya terkekeh kecil.

“Saya hanya tidak mengerti, Pak,” kataku.

“Mas tahulah cerita-cerita seperti itu selalu ada. Mungkin, Mas ada benarnya, karena akarnya kuat menempel ke dasar tanah, atau bebatuan menghambat akar di dasar tanah itu, sehingga sulit ditebang. Terlebih pohon itu sudah sangat lama ada di sana, Mas. Bahkan saat saya masih kecil pun, seingat saya, pohon itu sudah ada....”

“Sudah ada?!”

“Ya. Daerah sini dulu memang angker, Mas. Jarang orang mau lewat di sini. Kalaupun ada, itu petani-petani yang punya kebun di sekitar sini... Orang-orang sini, sih percaya kalau pohon itu ada penunggunya. Entah apa... jin, demit, atau sebangsanya.”

Saat itu aku tak terlalu percaya dengan perkataan satpam bersama Amran itu. Kuanggap itu sebagai legenda desa setempat. Akan tetapi, setelah cukup lama kami tinggal di rumah samping lahan kosong itu. Aku mulai merasa perubahan yang terjadi pada diri Wirda sangatlah tidak wajar. Belum lagi suasana rumah yang terasa singup dan sesak. Aku sendiri tak tahu apa yang terjadi di sini.

Di saat itulah, aku mendengar suara Wirda lagi. Suaranya mendesah-desah, seperti orang sedang menikmati persenggamaan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status