****Aku mengubungi Krisna dan meminta dia bersiap-siap untuk membawa Ayah dan Ibu ke kantor polisi. Jo bilang, pelaku yang sudah sengaja membuat Ayah celaka sudah ditemukan, melalui rekaman CCTV, meskipun aku sudah tahu, jika Tante Cecil lah dalang di balik semuanya. Aku ingin lihat, siapa saja kacung yang sudah rela mengorbankan hidupnya demi utusan Tante Cecil.Mas Danu terlihat menahan amarahnya setelah aku bercerita tentang pertemuanku dengan Tante Cecil barusan. Selain ingin mengungkap siapa di balik kecelakaan Ayah dan Mang Kosim, aku juga ingin melihat perkembangan kasus Pak Ferdinan dan kawan-kawannya.Sesampainya di rumah ibu, Krisna sudah siap dengan mobil kesayangannya. Ayah dan ibu duduk di belakang sedangkan Krisna yang menyetir, karena kami belum menemukan pengganti Mang Kosim. Sengaja aku membawa mobil sendiri dengan Mas Danu, karena setelah dari kantor polisi nanti, kami ada keperluan yang mendesak.____________________"Beruntung rekaman CCTV di salah satu sudut jala
***"Diam, Hans! Kamu mau kita semua mati, hah?!" bentak salah satu pelaku pada lelaki yang hendak membuka suaranya, yang dia panggil Hans."Aku tidak peduli! Asalkan keluargaku selamat!" sahut Hans sengit.Lelaki tadi melengos, aku bisa melihat raut penyesalan dari mukanya."Bu Cecil. Kami melakukan ini atas perintah Bu Cecil dengan bayaran masing-masing 10 juta."Mendengar penuturan salah satu pelaku, sontak membuat ibu berdiri dengan mata membeliak lebar. Kedua tangannya menutup mulut, tanpa menunggu lama, cairan bening sudah mengalir di pipinya."Gi-la! Kita bukan hanya tidak bisa bebas, Hans. Tapi keluargaku di rumah akan mendapat musibah," tutur lelaki tadi dengan frustasi."Tenanglah. Kalian memang tidak akan bisa bebas begitu saja, karena harus menjalani proses hukum. Tapi keluarga kalian, aku pastikan aman di bawah naunganku." Ucapan Mas Danu membuat keempat lelaki tadi menunduk.Setelah mendapat alamat Tante Cecil dari salah satu pelaku tadi, petugas polisi membuat surat pen
***Aku masih bergeming di tempat, sementara Adelia berjalan mendekat ke arah dimana Pak Adi tengah berdiri. Tante Cecil melirik ibu dengan tatapan sinis. Beruntung Ayah sedang ke mushollah bersama Mas Danu dan Krisna, sehingga Tante Cecil belum mengetahui jika Ayah ternyata masih hidup."Mas! Diajakin ngomong malah bengong! Kamu itu kemana aja sih?" tanya Adelia manja, dengan membetulkan dasi di leher Pak Adi.Mbak Anggi yang melihat gelagat aneh Adelia, bergegas mendekati suaminya yang kini lengannya sudah digelayuti manja oleh Adelia.Ditepisnya tangan Adelia hingga wanita itu meringis, tubuhnya hampir saja terjatuh jika Pak Adi tidak dengan sigap menarik kembali lengannya. Melihat hal itu, kentara sekali kemarahan Mbak Anggi, wajahnya memerah dan menarik paksa tubuh Adelia agar menjauh dari suaminya."Siapa kamu? Murah*n sekali, jangan kecentilan!" sungut Mbak Anggi.Tante Cecil yang sedari tadi sibuk memphatikanku dan Ibu, seketika menoleh ke sumber suara yang tengah menghardik p
****"Ma, dengan dulu penjelasan Papa. Kita bisa bicarakan ini baik-baik, lagipula kalian bisa menjadi istri yang akur, Papa yakin Adelia akan menjadi madu yang baik untukmu," jelas Pak Adi. Ketahuan buayanya kan, enteng sekali dia bicara begitu."Ja-jadi, dia istri kamu, Mas?" tanya Adelia tidak percaya."Iya, Sayang. Maaf, Mas harus menyembunyikan identitas Mas, kamu nggak pa-pa kan punya kakak madu?" tanya Pak Adi sok manis. Aku begidig jijik dibuatnya."Nggak masalah, kok, asal bisa sama Mas Adi selamanya!" jawab Adelia tak kalah menjijikkan."Hei, wanita jal-ang! Siapa bilang aku mau menjadi kaka
***Sepeninggal Pak Adi, kulihat Tante Cecil duduk dengan mati kutu. Adelia pun demikian, tangannya sibuk mengutak-atik gawai dengan bibir cemberut.Tunggu! Bukankah waktu hari pernikahan Krisna dan Adelia, ada seorang lelaki yang mengatakan Adel sedang mengandung anaknya, lalu kenapa tadi Tante Cecil bilang Adel sedang mengandung anak Pak Adi, dan perutnya pun kini terlihat rata. Pantas juga sih, mengingat kejadian itu sudah hampir dua tahun, jika selamat, mungkin anak Adelia sekarang berusia satu tahun lebih, jika tidak, entahlah. Aku tidak ingin ikut campur.Tante Cecil berjalan mendekat ke arah ibu. Tanpa diduga, dia bersimpuh di lutut ibu dengan menangis tersedu-sedu. Aku tahu, melihat sahabatnya seperti itu, Ibu pasti tidak tega, tapi kuharap, Ibu punya keputusan yang bijak mengingat yang hampir Tante Cecil hilangkan nyawanya adalah Ayah."Maafkan aku, Tini. Aku khilaf, tolong cabut tuntutan kalian, lagipula suami kamu selama
***"Perang dunia persilatan. Suami yang digadang-gadang punya jabatan tinggi di kantor, ternyata memiliki istri baru, Mbak Anggi murka dan terjadilah keributan ini!" jelas Mbak Hanin padaku. Aku manggut-manggut, itu berarti cukup lama juga mereka berseteru."Kok kalian tahu?" cecarku, apa mungkin Mbak Anggi menceritakan keburukan keluarga di depan banyak orang? Ah, tanpa bercerita pun orang-orang mungkin sudah bisa menebak, tidak mungkin ada pertengkaran hebat seperti ini jika tidak ada masalah yang serius."Biasa sih, Bu Halimah yang cerita!" sahut Mbak Fifi sambil menunjuk keberadaan Bu Halimah menggunakan dagu. Wanita itu berdiri dengan kedua tangan bersedekap dada dan mulutnya terlihat komat-kamit, berbicara entah apa dengan lawan bicaranya. Tentu saja para ibu-ibu kepo di kampung ini.Pantas saja berita ini cepat sekali menyebar. Apa Bu Halimah tidak malu setelah suaminya tertuduh sebagai tersangka kasus korupsi, eh, dia malah sibu
***Semua orang membubarkan diri dari kerumunan, hanya tertinggal Pak RT dan Bu RT yang masih menemani Mbak Anggi. Kemana para sekutunya saat ini? Dulu saja, saat Mbak Anggi sedang dalam masa kejayaan, sekutunya selalu mengikuti, lalu di saat dia terpuruk seperti ini, kemana semua sahabat-sahabatnya? Sejak tadi aku bahkan tidak melihat Bu Andin, kemana dia?"Mau kemana Bu Endang?" tanya Mbak Fifi, ketika mendapatiku berjalan ke arah lain, tidak ke arah rumah."Ah, ini--""Mau ke rumah Bu Aminah, Mbak." Mas Danu yang sudah di belakangku langsung berbicara. Aku mengangguk ragu, entah mengapa aku merasakan sesuatu yang tidak pas di hati.Mbak Fifi hanya ber"O" ria, begitupun Mbak Hanin yang kini sudah berdiri di sampingnya. "Tapi emang kita nggak pernah liat Bu Hajjah Aminah loh, Bu Endang. Mungkin lagi pulang kampung," sahut Mbak Hanin, dengan tatapan menerawang jauh.Mas Danu menatap ke arahku, dia menaikkan dagunya, memberi isyarat apakah kita akan tetap berkunjung ke rumah Bu Hajjah
***"Tolong, Bu. Beri saya waktu dua Minggu, saya pasti bisa menebus sertifikat rumah ini beserta bunganya," ujar Bu Andin memelas, kulihat wanita yang duduk di kursi teras rumahnya hanya melengos.Tidak lama, seorang lelaki keluar dari sebuah mobil yang berhenti tepat di depan rumah Bu Andin."Siapa dia, Mbak fi?" tanyaku pada Mbak Fifi."Suami Bu Andin, Bu."Aku mengangguk dua kali. Baru kali ini aku melihat suami Bu Andin, aku jadi penasaran apa jabatannya di Endan Group."Stop! Stop! Tolong hentikan mengacak-acak rumah saya!" teriak s