"Mira, Bapak, Ibu, aku permisi dulu ya! Terima kasih karena kalian telah menerima kedatanganku dengan baik," pamit Mas Hamdan.Mas Hamdan berpamitan kepadaku dan orang tuaku, tetapi wajahnya seperti sedang menahan amarah. Karena terlihat dari raut wajahnya yang merah padam, serta dengan napas yang memburu. Tetapi dia tidak melupakan, attitude yang baik saat sedang bertamu di rumah orang."Lho, kok buru-buru amat sih, Nak Hamdan?" tanya Bapak."Iya, Pak, maaf ya," sahut Mas Hamdan.Setelah bersalaman dengan kedua orang tuaku, Mas Hamdan pun pergi meninggalkan rumah kami, tanpa mengajak serta istrinya. Tetapi Susi tetap mengekori Mas Hamdan, ia berjalan terburu-buru mengimbangi langkah suaminya. Bahkan Susu tidak mengucapkan salam sama sekali terhadap kami, sebahai pemilik rumah ini. Sikap Susi dan attitude Mas Hamdan begitu berbanding terbalik. Mereka begitu jomplang bagaikan bumi dan langit. Saat ini sepertinya Mas Hamdan sedang marah besar terhadap istrinya itu, pantas saja jika Mas
Aku bertanya kepada mereka bertiga, tentang maksud dan tujuan mereka datang ke rumah orang tuaku tersebut. Padahal Susi pernah bilang, kalau dia tidak akan pernah menginjak rumah ini lagi. "Asal kamu tau ya, Mira. Aku datang kesini karena mau membuat perhitungan dengan kamu, Mira! Karena gara-gara kamu, rumah tanggaku hancur!" Susi berkata, sambil mendorong pundakku, dengan begitu kasar."Iya benar, kamu harus bertanggung jawab atas semua yang dialami, Susi. Ingat kamu harus bertanggung jawab, Mira," timpal Mbak Nina dan juga Bu Mega, mereka berdua berkata sambil menunjuk-nunjuk wajahku."Lho, kenapa aku yang kalian persalahkan? Aku nggak ada sangkut pautnya, dengan permasalahan yang sedang Susi hadapi. Itu kan masalah pribadi, antara Mas Hamdan dan juga Susi," sanggahku.Aku tidak terima ketika mereka berkata, kalau aku adalah biang dari masalah, yang sedang dihadapi oleh Susi tersebut. Aku tidak mau menjadi kambing hitam atas semua kesalahan yang tidak pernah aku lakukan.Enak bet
Tidak berapa lama, si pengemudi mobil pun membuka pintu, kemudian ia keluar dari dalam mobil tersebut. Wajah Mbak Nina dan Uak Risma pun langsung memucat, saat melihat siapa yang datang. Kemudian mereka pun langsung menyebut siapa pengemudi mobil pajero tersebut."Arsya!" seru Mbak Nina dan Uak Risma barengan."Iya, Uak, dia itu Mas Arsya suamiku. Bukannya Mas Malik, suaminya Mbak Nina," terangku, sambil tersenyum.Aku merasa lucu dengan tingkah mereka berdua, sebab tadi mereka sudah sangat girang karena dikira Mas Malik yang datang. Namun saat Mas Arsya yang datang wajah mereka langsung terlihat begitu kecewa."Kok suamimu membawa mobil mewah sih? Pasti suamimu sengaja menyewa mobil ini, buat dicap kaya oleh warga kampung ya?" tanya Mbak Nina, dengan senyum mengejek."Bukan seperti itu, Uak. Tapi mobil ini memang mobil kami," terangku."Ah nggak mungkin, kaksu kamu memiliki mobil. Uang dari mana kamu buat membelinya? Apalagi mobil ini 'kan harganya mahal," tanya Uak Risma.Ia nggak
Aku bertanya karena merasa heran, dengan ucapan Uak Risma barusan. Kenapa bisa, ia sampai menyimpulkan hal seperti itu? Uak Risma menganggap keluargaku sombong, hanya karena tidak mengajak mereka pergi. "Ya terus aku mesti ngomong apa lagi, Mira? Memang seperti itu kan kenyataannya? Aku yakin, jika kalian semua tidak mungkin akan mengajakku jalan-jakan, kalau saja aku tidak datang kesini!" Uak Risma terus menyalahkan kami, ia tetap merasa berada di posisi paling benar."Maaf, Mbak Risma, sebetulnya kami tidak pernah bermaksud seperti itu. Tetapi pada saat melihat sikap Mbak dan Nina yang menjauh dari keluarga kami, maka kami pun mulai membatasi. Kami bukan tidak mau mengajak Mbak dan Nina, tetapi kami merasa takut jika nanti Mbak dan Nina malah akan menolaknya." Ibu mengungkapkan semua alasan yang membuat kami tidak mau mengajak Mbak Nina dan Uak Risma."Iya bener apa kata ibunya Mira, kami semua tidak bermaksud menjadi orang yang sombong atau apapun itu. Maafkan kami, jika sikap k
"Lho, kok kamu bicaranya seperti itu sih Mira! Kamu kok malah mengancam kami," tanya Mbak Nina terlihat heran, ia sampai memicingkan matanya padaku.Kami yang berniat akan pergi jalan-jalan malah berdebat hal yang sangat konyol, hingga membuat rencana kami untuk pergi jalan-jalan pun tertunda."Makanya, kalian itu nurut saja dengan aturanku. Silahkan kalian duduk di belakang dan jangan pernah sekalipun bikin ulah! Tapi jika kalian tidak mau menuruti apa yang aku mau, lebih baik kalian semua tidak usah ikut jalan-jalan deh, bikin ribet saja!" Aku memberi mereka pilihan, mau mengikuti perintahku atau tidak.Mereka bertiga pun sepertinya berpikir, menimbang apa yang aku ucapkan. Sekali-sekali memang perlu dibegitukan, orang sombong seperti mereka bertiga. Biar mereka sadar, posisi mereka saat ini seperti apa? Aneh, orang yang diajak kok malah mau mengalahkan orang yang ngajak, itu namanya kurang ajar."Ya sudah, kami ikut aturan kamu saja deh, yang penting kami bisa ikut jalan-jalan da
"Bu-bukan, bukan begitu, Dek! Justru tadi itu Mas kaget banget, mendapat perlakuan seperti itu dari dia. Mas kaget, Sayang, bukannya menikmati," jawab Mas Arsya, sambil mengusap wajahku."Bohong kamu, Mas! Aku tidak percaya dengan ucapanmu," "Udah dong, Sayang. Kamu nggak perlu ngambek begitu, nanti cantiknya hilang lho!" Mas Arsya malah merayuku.Ia memang selalu bisa membuat aku klepek-klepek, wakau saat suasana hatiku sangatlah buruk sekalipun. Seperti saat ini, ketika mendapat perlakuan demi perlakuan yang tidak menyenangkan dari ketiga orang tersebut, yaitu Mbak Nina, Uak Risma dan juga Susi. Aku terus saja merasa jengkel, dari semenjak akan berangkat tadi. Kalau saja tidak memikirkan perasaan keluargaku, aku pasti akan membatalkan rencana piknik ini karena ulah ketika orang tersebut, sehingga membuat mood aku menjadi hancur."Awas ya, Mas, kalau sampai kamu kepincut sama si Susi! Pokoknya aku tidak akan pernah memaafkan kamu, Mas," ancamku."Ya tidak akan pernah dong, sayang.
Aku berkata apa adanya, tanpa berbohong sedikit pun. Saat ini aku merasa pusing, ketika didudukkan oleh suamiku, di sebuah batu yang lumayan besar yang ada di sana. Aku merasa bersyukur tidak tergelincir ke jurang, ataupun terantuk batu yang cukup besar, serta tajam yang aku duduki saat ini.Padahal, jarak batunya begitu dekat, dari pohon tempat aku tersangkut tersebut. Aku terus-menerus mengucapkan kalimat tahmid, sebab aku masih diberi keselamatan, walau ada beberapa luka ditubuhku."Mira, kok kamu bicara seperti itu sih, kata-kata kamu juga seolah menuduhku? Padahal tadi itu aku sudah membantu kamu lho, Mir. Tapi, kok kamu tega sih sama aku," sungut Susi, dengan wajah yang sudah merah padam. Ia berkata sambil "Susi, kamu itu nggak usah ngeles deh! Aku itu bukan menuduh kamu, Susi. Tapi aku mengatakan yang sebenarannya," tegasku."Mas, tuh lihat istri kamu, dia dari tadi kok menuduh aku terus sih! Kalau aku tau kejadiannya akan jadi seperti ini, tadi itu aku tidak perlu membantunya
Aku begitu kaget, sebab biasanya merekaselalu rukun, malah seolah saling menyalahkan. Namun, aku tidak tahu ini akting atau kenyataan. Karena hidup mereka selalu penuh dengan drama."Ya sudah, kalian nggak perlu terus-menerus saling menyalahkan. Namanya juga ada musibah, siapa sih yang mau? Lagian jika kalian terus berisik, silahkan kalian keluar saja dari mobil anakku. Kalian pulang naik angkutan umum saja sana, daripada disini bikin berisik! Kalian bertiga juga sepertinya tidak ada kasihnya sedikit pun sama anakku, padahal anakku sedang kesakitan begini. Tapi kalian malah menambah keributan saja," sungut Ibu.Ibu terlihat murka, saat mendengar perkataan mereka. Mereka semua pun terdiam, saat mendengar perkataan Ibu yang terlihat murka. Aku yakin mereka nggak mau, jika harus pulang naik angkutan umum. Mereka bertiga tidak beradu ucapan lagi, hingga kami sampai ke rumah sakit.Sesampainya di rumah sakit, tempat dulu Azka periksa, aku langsung mendapat penanganan. Setelah diperiksa, a