Share

Bab 7

Aku pun langsung mengusap dada lalu beristigfar, supaya aku bisa menahan emosiku yang kini mulai tidak stabil.

"Terserah apa katamu, Mbak, yang penting aku tidak melakukan apa yang kamu tuduhkan. Toh ada saksi-saksi juga kok, termasuk Mas Hamdan suaminya Susi sendiri. Jika Mbak merasa tidak percaya dengan apa yang aku ucapkan, silakan Mbak tanya langsung suaminya Susi. Apa aku meminta bayaran atas kecelakaan yang anakku alami atau tidak? Karena aku tidak merasa meminta bayaran atas apa yang terjadi terhadap anakku. Aku hanya meminta, supaya Susi mau mengobati anakku sampai sembuh, tetapi tidak meminta uang sama sekali darinya." Aku menuturkan sedetail mungkin, tentang apa yang sebenarnya terjadi kemarin, pada saat aku meminta pertanggung jawaban Susi untuk mengobati anakku.

"Ya ... Mana ada maling mau ngaku, sebab kalau semua maling ngaku, maka penjara akan penuh." Mbak Nina malah menyahut ucapanku dengan pribahasa, yang artinya tidak mempercayaiku.

Aku pun tidak lagi meladeni Kakak sepupuku, yang kini sudah persis seperti musuh bebuyutan dengadaku. Entah kenapa dia seperti itu, sebab apa pun yang menyangkut aku, dia pasti akan ikut campur menyalahkan aku. Ia akan membela orang lain, walaupun dia belum tahu siapa yang salah dan siapa yang benar diantara kami. Seperti yang ia lakukan saat ini, pada saat ia membela Susi sampai segitunya.

Bahkan hubungan Uak Risma dengan orang tuaku pun kini renggang, apalagi semenjak Uak Sapri suaminya meninggal dunia. Hubungan kekeluargaan pun kini terasa hambar. Uak Risma seolah menganggap hubungan kekeluargaan antara kami telah berakhir. Uak Sapri adalah Kakak kandung Bapak, mereka berdua adalah dua bersaudara.

Namun Uak Risma sepertinya tidak menyukai keluarga Bapak, ia bahkan sampai menjauhkan Uak Sapri dengan Bapak. Hubungan Kakak beradik pun tidak seharmonis seperti bagaimana mestinya. Apalagi saat mendengar aku menikah dengan pemuda kota, Uak Risma dan Mbak Nina begitu memperlihatkan ketidaksukaannya kepadaku.

"Terserah kamu, Mbak. Toh Allah tidak tidur. Suatu saat nanti ia akan menunjukan siapa yang salah dan siapa yang benar. Tapi ketika itu sudah terbukti, jangan sampai Mbak menyesali atas apa yang Mbak pilih." Aku berkata sambil pergi, tanpa mengambil kembalian.

"Heh, Mira, ini kembaliannya!" seru Mbak Nina.

"Nggak perlu, Mbak, silakan ambil saja," kataku sambil berlalu pergi dan tidak melirik lagi kearahnya.

"Blagu kamu, Mira, punya uang hasil menipu saja sombong! Mau dibilang orang kaya ya, tapi sayang kamu nggak bermodal," ledeknya.

Aku pun terus melanjutkan perjalananku menuju rumah Ibu. Aku tidak menyahuti lagi perkataan Mbak Nina yang menusuk hati. Mbak Nina berkoar, kalau aku orang yang sombong, tetapi dia tidak ada usaha untuk mengembalikan uangku itu.

Intinya dia itu senang, jika aku selalu melebihkan uang belanjaanku, tetapi dia gengsi untuk mengakui semua itu. Orang munafik mana, yang mau terlihat butuh, iya kan? Tapi yang ada, mereka akan menutupi kekurangannya tersebut semampu mereka.

*****

"Mas Hamdan, aku berharap supaya kamu bisa menjaga ucapan istrimu. Jangan sampai ia memfitnah aku terus," pesanku kepada Mas Hamdan, saat ia dan Susi datang kerumah orang tuaku untuk melihat keadaan anakku.

"Maksud kamu apa, Mira? Kok kamu berbicara begitu kepada suamiku?" tanya Susi.

Ia seolah tidak tahu dan tidak mengerti, dengan apa yang aku katakan barusan.

"Susi, kamu nggak paham dengan ucapanku?" tanyaku balik.

"Ya nggak lah, mana mungkin aku paham dengan ucapanmu? Ucapanmu itu seolah ingin memfitnahku! Kamu jangan mengada-ada dengan semua ini ya, Mira. Jangan sampai suamiku salah paham lagi gara-gara kamu," tutur Susi.

"Apa kamu yakin, kalau kamu tidak mengatakan apapun kepada orang lain, tentangku dan anakku? Tentang kecelakaan, yang diakibatkan kamu mendorong anakku tempo hari?" desakku.

Aku sengaja tidak langsung memberitahu maksud perkataanku, sebab aku ingin melihat apakah dia berniat jujur atau tidak saat ini.

"Maksudnya apa ya, kok Mas tidak mengerti sih, Mira?" Mas Hamdan pun bertanya kepadaku, ia meminta penjelasan dariku.

"Jadi begini, Mas. Susi telah bercerita kepada orang-orang, kalau kecelakaan yang menimpa Azka tempo hari bukanlah salahnya, melainkan salah Azka sendiri yang terpeleset. Bahkan Susi bilang, kalau aku yang memaksanya, supaya dia memberi aku uang, atas semua yang menimpa anakku tersebut. Jadi orang-orang menyangka, kalau aku mau memotori uang kalian dengan cara seperti itu." Aku menuturkan apa yang terjadi, sehingga aku mendesak pengakuan dari Susi.

"Jadi maksud kamu, Susi telah mengarang cerita lagi dan memfitnah kamu?" Mas Hamdan bertanya lagi, ia meminta penjelasan orbit tentang hal ini.

Aku pun mengiyakan, sebab apa yang dilakukan Susi memang ingin memfitnahku. Wajah Mas Hamdan pun berubah menjadi merah padam, kemudian ia menarik paksa tangan Susi dan akan membawanya pergi dari rumah orang tuaku.

"Mas, sakit, apa-apaan sih kamu? Kamu dengerin aku dulu dong, Mas. Kamu jangan langsung percaya begitu saja dengan perkataan Mira, sebab mungkin saja dia sengaja melakukan semua ini, supaya rumah tangga kita berantakan." Susi memberontak, saat mendapat perlakuan kasar dari suaminya. Ia bahkan menuduhku ingin membuat keluarganya hancur.

"Nak Hamdan, lebih baik kita bicara baik-baik dulu, jangan sampai terbawa emosi. Nanti bukannya mendapat solusi, tetapi malah mendapat rugi." Bapak berbicara meredam amarah Mas Hamdan yang siap meledak.

"Tapi, Pak, perempuan seperti Susi ini tidak dapat diajak bicara baik-baik. Ia mungkin akan jera setelah aku menceraikannya, biar saja dia nanti menjadi gelandangan. Karena aku sudah capek, dengan tingkah lakunya yang selalu mencoreng aib di mukaku." Mas Hamdan menyahut ucapan Bapak.

Rupanya ia sudah tidak tahan, dengan sifat istrinya yang sudah keterlaluan tersebut. Lagian juga siapa yang betah, hidup dengan wanita searogan dan se-posesif Susi.

"Maksud Mas apa? Mas mau menceraikan aku?" tanya Susi dengan wajah yang langsung memucat.

Bersambung ...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status