"Tega! Kamu biarkan aku mengurus keluargamu dan kamu bermain wanita di luar sana dengan alasan aku tak menarik lagi di matamu, salahku apa Mas?" Mereka bertengkar di dalam mobil bersama suaminya yang baru ketahuan selingkuh ketika dirinya baru melahirkan anak pertama mereka. "Hentikan amarahmu, Hafizah! Kamu tak akan bisa menghentikan aku berselingkuh. Semua ini adalah jalanku karena kamu sudah tidak mau mengurusku seperti pertama kali kita bertemu, lihat penampilanmu memang tak menarik, lusuh dan dekil, normal sebagai seorang laki-laki dewasa aku menginginkan wanita yang lebih menarik darimu. Banyak sekali salahmu, termasuk selalu mengungkit apa yang kamu berikan pada Ibu dan Adikku." "Jadi kamu menyalahkan aku sepenuhnya? Di mana kamu saat aku membutuhkan uangmu? Nafkah yang kamu berikan saja tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan rumah, apalagi untuk mempercantik diriku ini, sebagai laki-laki dewasa kamu juga paham kalau kamu seharusnya bisa memenuhi kebutuhan istri dan anakmu dulu, apalagi dicampur oleh keluargamu yang setiap hari minta ingin dinafkahi." "Cukup, Hafizah! Jangan pernah membawa keluargaku atas pertengkaran kita. Selama ini aku salah memiliki Istri sepertimu! Kamu harusnya bisa paham, aku anak laki-laki Ibuku yang menggantikan Ayahku untuk menafkahi mereka berdua, apalagi Adik perempuanku, dia masih membutuhkan aku." "Seharusnya mereka juga paham kamu sudah menikah! Kamu wajib memenuhi Istrimu dan anakmu dulu!" Jalanan kota Istanbul (Turki) menjadi saksi pertengkaran hebat mereka berdua, apalagi Hafizah membawa bayinya yang baru dua hari dilahirkan. 'Brukkkkk!' Mobil terguling-guling di tengah jalan karena Hamid telah bertabrakan dengan mobil lain, mobilnya melaju sangat cepat disebabkan emosinya pada Hafizah yang terus menyudutkan keluarganya. Hafizah merasakan seluruh tubuhnya tertimpa benda berat karena dia terjebak di dalam mobil dengan sabuk pengaman mobil yang masih melekat di tubuhnya.
View More"Aku bukan pembunuh!" seru seorang wanita yang mulai bangkit di dekat batu nisan yang selesai di peluknya, air matanya pun masih belum mengering karena peristiwa yang baru dialaminya bersama mendiang suaminya yang baru meninggal dunia.
"Bagiku kamulah pembunuh Hamid! Perempuan pembawa sial!" pekiknya berteriak lantang menunjukkan kemarahan di depan menantunya yang menurutnya menjadi penyebab anak laki-lakinya meninggalkan dunia ini. "Bukan! Aku tidak pernah membunuh Mas Hamid. Ibu salah paham padaku," balas Hafizah membela dirinya dari tuduhan mertua. "Tutup mulutmu! Jelas-jelas anakku yang sekarang meninggal, kuburannya masih belum kering dan kamu masih mengelak? Aku tidak akan memaafkan kamu, Hafizah! Sekarang kamu ikut aku ke kantor polisi." Hafizah mencoba melepaskan diri dari tangan Lestari yang menariknya sangat kuat, tetapi Lestari tidak terkalahkan menarik tangan Hafizah sampai bisa menjauh dari kuburan Hamid. "Lepas, Bu!" "Diam!" Lestari tetap pada pendiriannya untuk bisa membawa Hafizah ke kantor polisi bagaimanapun caranya Hafizah harus dipenjarakan. "Aku mohon Bu, sama sekali tidak pernah terbesit untuk membunuh Mas Hamid, aku baru melahirkan anak Mas Hamid, mana mungkin aku membunuhnya. Tolong lepaskan aku demi anakku, cucu Ibu juga," ucap Hafizah meminta ke ibu mertuanya agar tidak membawanya ke kantor polisi. Ingatan Hafizah tertuju pada bayinya yang masih membutuhkan dirinya, apalagi Lestari tidak pernah bersikap baik selama dua tahun pernikahannya bersama Hamid, dirinya tidak pernah dianggap sebagai seorang menantu, melainkan Lestari selalu memperlakukannya seperti seorang pembantu rumah tangga, mana mungkin ibu mertuanya bisa merawat bayinya dengan tulus. Ditariknya rambut Hafizah, didorongnya kuat-kuat sampai wanita itu terjatuh di rerumputan dekat kuburan. "Menantu kurang ajar! Sudah membunuh suami sendiri sekarang membahas bayimu, bayimu ada di rumah anakku yang kamu bunuh! Aku tidak sudi memiliki cucu darimu!" Bentakan Lestari membuat orang-orang yang ada di sekitar pemakaman memperhatikan mereka, dengan posisi Hafizah yang tersudutkan bak seorang pembunuh membuat Hafizah rasanya kehilangan muka di depan semua orang yang kini menatapnya sinis, sama seperti ibu mertuanya yang menyalahkan dirinya, padahal Hafizah sendiri tidak mau semuanya terjadi. "Ya, ampun. Bu, aku bukan pembunuh, semuanya kecelakaan," ucap Hafizah tetap menjelaskan pada ibu mertuanya yang masih salah paham padanya. "Tutup mulutmu, Hafizah! Kamu lihat semua orang melihat kamu sebagai seorang pembunuh! Kamu pembunuh Hafizah, tidak mungkin kecelakaan itu terjadi kalau kamu mendengarkan kata-kataku untuk tidak ikut campur masalah suamimu!" Lestari mengetahui perselingkuhan anaknya dan membiarkannya terjadi, karena selama ini dirinya terang-terangan menyodorkan beberapa wanita pilihannya pada Hamid agar berpaling dari Hafizah. Dua bulan sebelum Hafizah melahirkan, Hamid membawa selingkuhannya ke rumah untuk diperkenalkan ibu dan adiknya, di sana Lestari orang pertama yang merestui perselingkuhan tersebut, semakin lama mereka bermesraan tanpa sepengetahuan Hafizah yang sedang berjuang dengan kehamilannya. "Bu, semua tuduhan Ibu tidak benar." Hafizah menangis karena ibu mertuanya semakin menuduhnya macam-macam, dengan posisinya yang masih duduk di rerumputan membuat Lestari akhirnya mendekatinya lagi. "Di mataku kamu selalu salah, Hafizah!" Ditarik paksa Hafizah untuk segera berdiri, Lestari tidak senang Hafizah menangis di depannya. "Lepaskan, Bu! Lepas!" Hafizah berontak ingin melepaskan dirinya, dan terlihat hujan mengguyur tempat pemakaman, serta orang-orang yang ada di sana termasuk Lestari dan Hafizah yang masih berseteru. "Jangan harap aku akan melepaskan kamu, Hafizah! Kalian lihat 'kan, dia adalah menantuku yang sudah membunuh suaminya sendiri, sekarang dia mau lari dari perbuatannya itu." Lestari melihat ke orang-orang, meyakinkan mereka bahwa Hafizah adalah seorang pembunuh yang kejam karena telah menewaskan anaknya yang selama ini menjadi tulang punggung baginya. Dan orang-orang terprovokasi oleh Lestari, mereka menunjukkan satu jarinya ke arah Hafizah dengan tatapan tidak suka. Hafizah mendengar suara teriakan mereka dengan menyebut "Dasar pembunuh!" membuat gaduh pemakaman, bahkan suara air hujan yang semakin keras tidak ada artinya untuk menutupi suara mereka yang begitu jahat sedang menghakiminya tanpa tahu kejadian yang sebenarnya. "Bukan! Aku bukan pembunuh," ucap Hafizah menutup kedua telinganya dengan kedua tangannya sendiri, dia tidak mau menatap sorot mata orang-orang jahat mengelilingi dirinya. Lestari menarik Hafizah kuat-kuat untuk berjalan lebih jauh dari tempat itu, dan ternyata Lestari sudah menghubungi pihak polisi sebelumnya sehingga Hafizah bisa langsung dibawa dan diproses mengenai laporannya. "Bawa dia, Pak Polisi!" "Baik, kami akan membawanya." Hafizah melebarkan matanya, dia tidak menyangka kalau ibu mertuanya benar-benar membawanya ke polisi dengan tuduhan pembunuhan, padahal Lestari tahu betul dirinya tidak bersalah. "Lepaskan aku, Pak. Jangan dengarkan Ibu, aku tidak bersalah, tolong lepaskan aku." Hafizah meminta pada polisi untuk dilepaskan, semuanya terlambat karena polisi menarik Hafizah untuk naik ke dalam mobil dengan tangannya yang sekarang terborgol, ada senyum licik yang terlihat dari wajah Lestari setelah Hafizah ditangkap polisi. "Akan aku pastikan kamu masuk penjara, Hafizah! Dan selanjutnya aku tidak akan melepaskan kamu begitu saja, akan ada babak kedua dariku sebagai pembalasan kematian Hamid," gumam Lestari mengepalkan tangannya masih dendam pada menantunya. Dalam perjalanan menuju kantor polisi Hafizah masih terus menangisi nasibnya yang menyedihkan dan penuh penderitaan, apalagi bayinya harus ditinggal selama dirinya ditangkap, sedangkan Hafizah sendiri belum sepenuhnya ikhlas atas kepergian suaminya. Namun, tuduhan itu seperti melekat pada dirinya. Hafizah pasrah jika memang takdirnya harus mendekam dalam penjara. Dua hari kemudian, Hafizah belum juga mendapatkan kabar dari ibu mertuanya tentang bayinya yang masih ada di rumah, seorang ibu mana yang bisa berjauhan dari buah hatinya sendiri? Rasanya hancur hati Hafizah sekarang ini. Tidak ada yang mengunjunginya sama sekali, dia tidak memiliki keluarga lagi, sedangkan keluarga suaminya begitu tidak memperdulikannya. Kesedihannya bertambah setelah prosesnya dilanjutkan untuk dirinya disidang dan menunggu vonis yang akan diterimanya, karena Lestari sudah memberikan bukti-bukti palsu yang memberatkan menantunya untuk menjadi tahanan di sana. Sedangkan Lestari di rumah bersama anak perempuan yang bernama Dera, mereka mendengar suara bayi menangis tidak berhenti sejak satu jam yang lalu. "Oeeekkk ... Oeeekk." "Der! Kamu urus anak itu dulu. Ibu malas harus menggendong anak Hafizah." Lestari meminta anak perempuannya sendiri untuk mengurus bayi yang tidak berdosa itu, seketika Dera merasa tidak nyaman harus dekat-dekat dengan keponakannya sendiri, dia tidak tahan dengan tangisannya, apalagi dirinya mencium aroma tidak sedap dari keponakannya itu. "Bu, sepertinya dia buang air besar," ucapnya merasa sangat jijik berada di dekat bayi Hafizah. "Astaga! Bagaimana ini? Ibu juga tidak mau mengurusnya," balas Lestari panik bersama anak perempuannya. Dera menutup hidungnya kuat-kuat, begitu juga Lestari yang menjauh dari sana, mereka sama-sama berpikir bagaimana caranya untuk bisa menyingkirkan bayi Hafizah dari rumah. "Bu, aku punya ide." "Apa itu?" "Kita serahkan bayi Hafizah ke panti asuhan, dengan begitu kita terbebas dari dia, aku tidak mau Bu, kalau harus merawatnya tiap hari, aku bukan babysitter." Lestari tersenyum mendengar ide anak perempuannya, tentu Lestari setuju dengan ide tersebut. "Bagus juga ide kamu, sekarang kamu siap-siap pergi bersama Ibu, tapi sebelumnya kita suruh pembantu dulu untuk membersihkan anaknya Hafizah." "Siap, Bu." Dera segera memanggil pembantu untuk membersihkan anaknya Hafizah, setelah selesai dibersihkan oleh pembantu yang ada di rumah, bayi tersebut digendong Dera masuk ke dalam mobil bersama ibunya. "Bu, kita ke panti asuhan yang jauh dari sini, pokoknya anak ini tidak boleh ditemukan walaupun nanti Hafizah bebas dari penjara." "Siap, akan Ibu pastikan Hafizah tidak akan menemukan anaknya seumur hidup." Lestari menyanggupi ide anaknya untuk membuang bayi Hafizah ke panti asuhan, tanpa memiliki hati jika anak tersebut adalah cucunya sendiri. Di depan panti asuhan yang jauh dari rumahnya sekitar satu jam menuju tempat tersebut, tiba saatnya Dera meletakkan bayi itu di lantai depan pintu panti asuhan. "Kita pergi sekarang, Bu." "Iya, memang kita harus pergi sebelum ada yang melihat." "Iya, Bu." Dera dan Lestari segera masuk lagi ke dalam mobil, mereka pergi dengan perasaan bahagia bisa membuang anaknya Hafizah. "Haha, aku senang, Bu." "Ibu juga, itu baru permulaan. Hafizah akan menerima yang lebih sakit daripada kehilangan bayinya." "Apa itu, Bu?" tanya Dera penasaran. "Menjadikan Hafizah tahanan rumah seumur hidupnya!" "Aku setuju, Bu," balas Dera menatap ibunya dengan serius. Dari pandangan Dera, ibunya sendiri lebih kejam daripada ibu tiri yang diceritakan jahat. Tetapi, semua rencana ibunya akan dia dukung, karena Hafizah sangat menyebalkan selama menjadi istri kakaknya, selain suka mengadu jika dirinya keluar malam pada kakaknya. Hafizah juga pernah mengurangi jatah uang bulanannya yang selama ini diberikan kakaknya. Satu bulan kemudian. "Selamat ya, Hafizah! Sekarang kamu ditahan lima tahun karena sudah membunuh suamimu sendiri," ucap Lestari berhadapan dengan menantunya yang baru selesai disidang dan mendapatkan vonis lima tahun menjadi tersangka anaknya. Air mata Hafizah tidak berhenti mengalir mendengarkan mertuanya terus menuduhnya membunuh suami sendiri. "Bu, terserah Ibu mau bilang apa sama aku, tapi aku minta tolong jaga anakku, dia tidak berdosa sama sekali," pinta Hafizah pada mertuanya dengan posisi berdampingan dengan Dera yang berdiri angkuh menatap kakak iparnya penuh dengan kebencian. Hafizah mencoba memegang lengan mertuanya, ternyata ditolak Lestari yang menghindarinya agar tidak bersentuhan dengan menantunya yang dipilih mati-matian sama anaknya ketika dirinya tidak memberikan restu. "Singkirkan tanganmu! Aku juga tidak sudi merawat anakmu!" Lestari terang-terangan bicara di depan mata Hafizah tidak mau merawat cucunya sendiri. "Dera, tolong aku." Dera membuang wajahnya ketika Hafizah akan meminta tolong pada adik iparnya. Hafizah tidak berhenti menangis melihat kedua orang yang seharusnya bisa menjaga anaknya di saat dirinya terpuruk seperti ini tidak bisa dimintai tolong olehnya. "Hafizah! Anakmu aku buang ke panti asuhan, dia tidak pantas ada di rumah semewah itu," bisik Lestari memberitahukan kenyataan pahit ini pada Hafizah. Hafizah menghentikan tangisnya, tangannya sudah mulai diborgol kembali dan polisi hendak membawanya ke penjara, tatapannya masih tertuju pada ibu mertuanya yang tega melakukan itu pada anaknya yang masih bayi. "Ibuuuuuu! Anakku, Dia tidak bersalah! Kenapa semuanya Ibu lampiaskan ke anakku? Cucumu sendiri," ujarnya sudah berjalan menjauh bersama polisi yang mendampinginya. "Lepas! Biarkan aku bicara sama Ibu mertuaku! Biarkan aku bilang ke Ibu mertuaku untuk mengambil kembali anakku!" Hafizah mencoba berontak untuk kembali ke arah ibu mertuanya. Namun, dicegah kuat-kuat oleh polisi. "Diam, kamu!" bentak polisi pada Hafizah. Lestari pun masih melihat Hafizah menengok ke belakang untuk melihat wajahnya yang sekarang ceria bersama Dera atas kemenangannya memenjarakan Hafizah. "Kita menang, Ibu." "Jelas Dera. Hafizah kalah, dia akan selalu kalah. Sekarang ataupun nanti. Ibu pastikan dia menderita!""Tante cantik, apa itu benar-benar Tante?" tanya Putri dengan rasa tidak percaya saat melihat Hafizah di dekatnya."Benar, sayang. Ini Tante. Bagaimana kabarmu? Apakah ada yang sakit?" jawab Hafizah.Hafizah berusaha mendekati kamar Putri, tetapi dokter menghalanginya karena Hafizah belum mendapatkan izin dari Hafidz, pemilik rumah tersebut."Biar aku keluar untuk menemui Tante cantik, Dokter," pinta Putri.Dokter akhirnya mengizinkan Putri keluar dari kamar, dan Putri merasa sangat bahagia bisa bertemu Hafizah. Di belakang Hafizah, Hafidz mengamati mereka berdua berpelukan, dan Hafizah bahkan meneteskan air mata saat momen itu berlangsung."Putri, akhirnya kamu bisa bertemu dengan Tante cantik, ya?" tanya Hafidz sambil melepaskan pelukan mereka.Putri menatap Hafidz, sementara Hafizah tampak terkejut dengan reaksi Hafidz yang terlihat canggung dengan kehadirannya."Hafidz, aku hanya ingin mengungkapkan rasa rinduku pada
Setibanya di depan rumah Hafidz, Hafizah yang sudah melihat kurir membawa paket pesanannya segera mengambilnya dari tangan kurir. "Apa itu, Hafizah?" tanya Hafidz."Ini balon dan beberapa barang lainnya untuk menyambut kedatangan Putri. Aku tidak ingin Putri datang tanpa senyuman," jawab Hafizah.Hafidz pun membantu Hafizah membawa barang-barang yang masih terbungkus, tidak ingin membiarkan Hafizah bekerja sendirian untuk menyenangkan anaknya."Aku akan membantumu, Hafizah.""Terima kasih, Hafidz," balas Hafizah.Mereka masuk ke dalam rumah, dan Hafidz tidak banyak bertanya lagi. Dia hanya mengikuti langkah Hafizah, sementara para pelayan di rumah itu juga membantu menyelesaikan pekerjaan dengan cepat."Cobalah letakkan balonnya di atas sana agar Putri bisa melihatnya terbang," ujar Hafizah.Hafidz segera naik ke atas kursi untuk memasang balon, mengikuti semua arahan Hafizah. Sementara itu, para pelayan tidak
"Hafizah! Kamu telah durhaka kepada mertua! Kamu wanita yang tidak tahu diri, merebut anakku dariku. Dia yang selama ini selalu memberiku uang, tetapi kini sibuk mengurus mu dan perilakumu yang sama sekali tidak bisa diterima. Aku benci kamu, Hafizah! Sangat membenci orang sepertimu!"Sungguh mengejutkan, Lestari memainkan drama ini di hadapan polisi yang sedang menyusun laporan berdasarkan bukti yang ada."Lestari, berhentilah berbicara. Menyalahkan Hafizah tidak ada gunanya, karena tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa Hafizah telah merebut seluruh harta anakmu. Harta yang dimiliki anak laki-lakimu sebenarnya adalah milik orang tua Hafizah. Kamu telah dibohongi oleh Hamid, dan Hafizah sudah menjelaskan hal ini sebelumnya. Namun, kamu tampak sangat terobsesi dengan uang, hingga membuatmu kehilangan akal. Seharusnya, kamu tidak berada di sini; tempatmu seharusnya di rumah sakit jiwa!"Hafidz membela Hafizah yang sudah terisak menangis setelah terus-meneru
Hafizah merasa gelisah, sementara Hafidz memperhatikan dua bodyguard yang tetap siaga untuk melindunginya. "Hafizah dalam bahaya. Kalian berdua harus tetap berjaga dan pastikan wanita tua itu tidak bisa masuk ke sini. Lakukan apa pun yang diperlukan untuk melindungi Hafizah dan tempat ini."Keduanya mengangguk, memahami perintah tanpa perlu menjawab, karena mereka bisa merasakan kewaspadaan bos mereka."Kamu dengar kan, Hafizah? Mereka akan menjaga di sini, dan aku juga akan menemanimu. Setidaknya, dengan begitu kamu bisa merasa lebih aman. Aku bisa tidur di sofa, jadi kamu bisa beristirahat tanpa khawatir."Hafizah membuka pintu kamarnya, memberi kesempatan kepada Hafidz untuk masuk dengan mudah, karena ia tidak ingin Lestari menyakitinya lagi. "Silakan masuk, Hafidz. Kamu bisa tinggal di sini sampai besok pagi," ujar Hafizah sambil menutup pintunya. Hafidz merasa senang bisa masuk, karena ini adalah yang diinginkannya: bersa
"Apa kamu serius, Hafizah?" tanya Hafidz untuk memastikan pernyataan Hafizah."Ya, aku serius, Hafidz."Hafidz merasakan kebahagiaan karena diterimanya kembali, namun di sisi lain, ia juga merasakan kesedihan ketika harus jujur tentang anaknya."Hafizah, aku berterima kasih padamu karena telah menerima aku lagi. Mengenai anakmu, aku tidak keberatan untuk membantumu. Kita bisa mencarinya bersama-sama, semoga kita menemukan jalan keluar dari semua ini. Aku tidak ingin kamu terus-menerus memikirkan hal yang sama."Hafizah tersenyum mendengar jawaban Hafidz. Dia bertekad untuk tidak menghindari Hafidz lagi, meskipun itu berkaitan dengan anaknya. "Hafidz, kamu adalah pria yang baik. Aku tidak ingin kehilanganmu dan Putri. Kalian berdua selalu ada di hatiku, meskipun aku telah berusaha menjauh dari kalian." Hafidz menggenggam kedua tangan Hafizah dengan lembut. "Sudahlah, Hafizah. Jangan terlalu memikirkan sikapmu. Seharusnya aku yang minta maaf karena
"Bukan hal yang mudah, Jep! Kamu tahu wanita ini sangat cantik, dan aku merasa ingin menyentuhnya.""Jangan lakukan hal lain! Kita tidak boleh melecehkan wanita, meskipun penampilan kita terlihat menyeramkan. Kita harus menyingkirkan wanita ini, tetapi sebelum itu, kita serahkan kepada Pak Hafidz. Dia ingin memberikan peringatan kepada wanita ini, sepertinya itu penting.""Baiklah, aku akan menahan diri. Namun, jika ini berlangsung terlalu lama, aku khawatir aku akan kehilangan kendali dan ingin menyentuhnya, bahkan mungkin mencium bibirnya.""Terserah padamu! Ayo, bawa ke tempat di mana kita bertemu Pak Hafidz."Mereka bergerak menuju Hafidz yang baru saja turun dari pesawat, sementara Hafizah, yang tidak dijaga, masih merasa ketakutan sendirian di dalam kamar hotel."Aku yakin sekali ada seseorang yang berniat jahat padaku, tapi siapa? Apakah orang yang membakar rumahku? Atau mungkin benar apa yang dikatakan Pam dan Jep, bahwa itu adala
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments