LOGINKetika keluar dari gerbang kantor kepolisian, angin malam membawa hawa dingin.Luther mengeluarkan ponsel, menekan sebuah nomor, dan hanya berkata dengan singkat, "Ketemu sedikit masalah. Aku butuh bantuanmu."....Pada saat yang sama, di ruang tahanan kantor polisi.Meskipun ditahan sementara, Zidan dan Zaki tidak dimasukkan ke sel biasa, melainkan ditempatkan di sebuah ruang tahanan sementara yang kondisinya relatif lebih baik.Ini jelas merupakan "perlakuan khusus" yang datang dari pengaruh keluarga mereka. Namun, hal ini sama sekali tidak meredakan amarah Zidan."Sialan! Sekelompok anjing kurang ajar! Berani-beraninya ngurungku!" Zidan mondar-mandir dengan gelisah di ruangan itu. Mulutnya terus memaki, "Nanti kalau aku keluar, orang pertama yang bakal aku bunuh itu si Luther! Sama petugas yang berani nahan aku tadi, bakal aku patahin kakinya!"Semakin dipikir, semakin marah. Seumur hidupnya, kapan dia pernah diperlakukan seperti ini?Zaki duduk di ranjang sederhana, bersandar pada
Di bawah lampu terang ruang pemeriksaan kantor patroli, Luther dan Bianca dipersilakan masuk ke sebuah ruang interogasi dengan cukup sopan.Seorang kepala polisi patroli paruh baya mencatat langsung keterangan mereka. Sikapnya cukup ramah.Bianca menjelaskan dengan rinci mulai dari saat mereka keluar dari mal, lalu diadang iring-iringan mobil Zidan, hingga dikejar dan akhirnya dikepung di jembatan penyeberangan.Luther menambahkan beberapa detail, dengan penekanan pada jumlah lawan yang sangat banyak, membawa senjata berbahaya, serta Zidan dan Zaki yang terang-terangan memerintahkan pengeroyokan.Nada bicaranya tenang, jelas, dan langsung mengarahkan tindakan pihak lawan sebagai percobaan penganiayaan sengaja dan penyekapan ilegal yang serius.Kepala patroli itu mencatat sambil terus mengernyit. Kasus ini melibatkan keluarga kerajaan dan dilakukan dengan begitu terang-terangan. Hal ini membuatnya cukup kesulitan.Saat itu pula, pintu ruang wawancara diketuk pelan. Seorang petugas patro
Peluru itu memang tidak langsung mengenai si preman, tetapi menghantam tanah di dekat kakinya, memercikkan percikan api. Dia langsung ketakutan setengah mati, berguling lalu merangkak mundur.Para preman lainnya juga terkejut oleh suara tembakan yang tiba-tiba itu. Mereka berhenti maju. Wajah mereka penuh keraguan ketika menatap Bianca yang sedang mengacungkan pistol. Untuk sementara, mereka tidak berani mendekat."Sayang, kamu nggak apa-apa?" Bianca bergegas maju dengan cemas. Ujung pistolnya masih mengarah ke para preman itu dengan waspada.Luther bersandar pada pagar jembatan penyeberangan, menyeka darah di sudut bibirnya sambil terengah-engah. Dia melambaikan tangan. "Nggak apa-apa, cuma luka sedikit."Melihat keadaan Luther yang begitu berantakan dan gerakannya yang jelas sudah tidak setangguh dulu, kecurigaan di hati Bianca semakin kuat. Dia tak tahan bertanya, "Sayang, bukannya dulu kamu jago bertarung? Kok sekarang kelihatan lemah banget?"Luther tersenyum pahit. Dalam keadaan
"Tabrak saja," kata Luther dengan sangat tegas.Bianca langsung mengerti maksud Luther. Dia menyipitkan matanya, lalu menginjak pedal gas dalam-dalam dan langsung meluncur ke arah Zidan dan anak buahnya.Zidan yang terkejut pun buru-buru meloncat menyingkir, sedangkan dua preman yang tidak sempat menghindar pun langsung tertabrak hingga terpental ke tanah.Bianca segera memindahkan tuas persneling ke gigi mundur, lalu kembali menginjak pedal gas dengan kuat. Setelah menerjang dan memecah barisan kerumunan itu, dia menggunakan bagian belakang mobil untuk langsung menghantam mobil yang memblokir di persimpangan. Benturan dahsyat itu membuat mobil penghalang terdorong menyamping dan membuka satu celah jalan.Begitu serangan berhasil, Bianca tak berhenti sedetik pun. Dia memutar setirnya dan langsung melakukan teknik mengepot yang indah, lalu menerobos keluar dari kepungan dan memelesat menuju kejauhan."Sialan! Kejar mereka, jangan biarkan mereka kabur," teriak Zidan dengan sambil bangkit
Bianca mengangkat kepalanya dan senyumannya masih tetap cerah. "Bu Ariana sudah kembali ya? Kebetulan kami juga hampir selesai makan. Rasa masakan di sini memang enak. Bu Ariana, terima kasih sudah merekomendasikan tempat ini."Ucapan Bianca ini seolah-olah sudah menempatkan dirinya dan Luther di pihak yang sama, sedangkan Ariana berubah menjadi orang luar yang mentraktir.Ariana pun memaksakan senyumannya. "Baguslah kalau kalian suka."Setelah mengatakan itu, Ariana menoleh ke arah Luther. Namun, keinginan terakhirnya untuk berbicara berduaan dengan Luther pun akhirnya padam saat melihat tatapan Bianca yang waspada dan tatapan Luther yang tenang serta datar."Aku masih ada rapat di kantor sore ini, jadi nggak bisa menemani kalian lebih lama. Aku sudah membayar tagihannya," kata Ariana sambil mengambil tasnya dan berdiri."Aduh, nggak enak sudah membuat Bu Ariana sampai keluar uang," kata Bianca. Mulutnya berkata tidak enak, tetapi ekspresinya sama sekali tidak terlihat rasa sungkan."
"Bu Ariana, jangan cuma diam saja, ini lidah sapinya sangat segar. Cepat coba." Bianca seolah-olah baru menyadari keheningan Ariana.Dia menyapa dengan hangat, tetapi senyuman itu sedikit memperlihatkan rasa puas sebagai pemenang."Terima kasih." Ariana mengangkat mata, tersenyum tipis, mengambil sepotong lidah sapi. Namun, dadanya terasa sesak. Dia sulit menelan makanan.Dia mencoba mencari topik untuk memecahkan kecanggungan yang mencekik itu, sekaligus menanyakan kondisi Luther. "Luther, kudengar beberapa waktu lalu kamu pergi lama untuk mengurus sesuatu ya?"Sebelum Luther menjawab, Bianca sudah menyela dengan nada bangga, seolah-olah menegaskan dirinya menguasai jejak Luther. "Ya dong, Luther-ku hebat banget, pergi mengurus hal-hal sangat penting, bahkan menyelamatkan Kaisar! Benar begitu, Sayang?"Sambil berkata, dia mengambilkan sebuah bakso daging sapi untuk Luther.Hati Ariana bergetar. Menyelamatkan orang penting negara? Dia tahu Luther luar biasa, tetapi tak menyangka sampai







