"Siapa sebenarnya pengirim dari surat-surat ini?" tanya Berenice geram.Kali ini, surat ancaman telah diterima oleh Berenice. Jika ia tidak menyerahkan diri ke polisi, hal buruk akan terjadi selanjutnya."Damien! Kamu saudah tidak ada! Kamu pikir saya takut? Kamu begitu lucu. Jika saya bisa membuatmu ke neraka sebelumnya, sekarang saya juga bisa melakukannya lagi!" Berenice terbahak dalam kamarnya. Pelayannya mendengar namun takut untuk melihat. Mereka merasa bahwa majikannya lama-lama akan kehilangan kewarasannya."Ada apa dengan Nyonya? Saya khawatir jika beliau kenapa-kenapa. Apakah kita perlu untuk menanyakan?" tanya seorang wanita yang tubuhnya kurus."Jika kamu mau dipecat. Silakan saja. Saya mending diam di sini," saut lainnya.Thomas yang baru saja keluar dari kamarnya dibuat heran karna para pelayan berdiri tepat di depan kamar Berenice. Ia dengan segera menghampiri para pelayan tersebut."Ada apa ini? Kenapa kalian malah berdiri di sini?" tanya Thomas."Tuan, maafkan kami.
"Tuan, laporan terbaru terkait saham Berenice yang mengalami penurunan yang signifikan ditambah beberapa pegawainya melakukan unjuk rasa kenaikan gaji," ucap asisten Vinn."Ini sudah waktunya dia menerima karmanya."Vinn membaca semua data-data informasi yang diberikan mengenai Berenice dengan seksama. Ia mencari cara agar bisa membalikkan keadaan dan menenggelamkan Barclay. Meskipun ini terlalu jahat."Satu informasi penting lagi. Sepertinya Mr. Robert yang juga merupakan salah satu investor dari Tuan Edward merencanakan hal buruk kepada Blhyte Callie. Mr. Robert tidak pernah mau bekerjasama dengan butik kecil tanpa adanya kepentingan besar yang dicari. Sepertinya beliau sengaja menerbangkan Edward lalu mengambul alih semuanya. Saya merasa keanehan ini setelah menemukan beberapa fakta.""Fakta apa saja itu?" Vinn menutup berkas yang ada di meja kerjanya dan justru tertarik dengan perkataan asistennya tersebut.Vinn belum pernah bertemu dengan investor lain dari bisnis yang dijalankan
"Apakah ini benar rumah Berenice Barclay?" tanya seorang polisi yang bertugas kepada security yang berada di depan rumah Berenice."Benar, Ada yang bisa saya bantu?"Seorang pria dengan seragam dengan senjata lengkap berhasil membuat security tersebut bergidik takut. Dengan cepat ia berlari ke dalam rumah padahal polisi yang ada di depannya belum sempat menjawab pertanyaan."Nyonya ... Nyonya ada polisi datang mencari," ujarnya dengan napas yang tidak beraturan."Polisi?" tanya Thomas yang sedang meminum kopi di meja tamu bersama dengan Berenice."Benar, Tuan. Apa yang harus saya lakukan?""Biarkan saja masuk!" bentak Thomas.Berenice terlihat pucat begitu mendengar ada polisi yang datang. Berarti susat itu tidak main-main. Ia dengan segera mengkemasi semua berkas-berkas dan menaruhnya kembali ke tempat penyimpanan tersembunyi di bawah keramik.Beberapa polisi muncul di depan pintu. Thomas dengan senyum lebar mempersilakan mereka masuk dan duduk."Tanpa basa-basi, kami ingin menanyaka
"Makanlah ini." Seorang wanita muda memberikan satu roti kepada remaja yang sedang mengais makanan di tong sampah."Tidak, Mama melarang untuk menerima pemberian dari orang tidak dikenal," ujar remaja. Ia masih tetap fokus kepada tong sampah yang ada di depannya."Kamu menolak makanan bersih dan memakan sampah yang justru tidak tahu siapa yang telah membuangnya. Kamu sungguh aneh," hardik wanita tersebut.Keadaanya keluarganya yang sangat miskin membuat ia sering menahan lapar. Papanya hanyalah seorang pengangguran yang kerjaannya hanya menyiksa mamanya. Ia terpaksa harus bekerja paruh waktu sebagai pengantar koran untuk membantu perekonomian keluarganya."Ta-tapi ... ""Sudah terima saja, apa yang kamu lakukan di sini?" tanya wanita tersebut dengan senyum tipis."Saya selesai mengantar koran dan merasa lapar. Dari semalam di rumah tidak ada makanan. Tidak ada pilihan lain," ujarnya. Ia membuka dengan cepat bungkus roti yang diberikan."Bagaimana jika kamu bekerja dengan saya? Saya lu
"Tidak bisakah kamu berdandan sedikit saja? Ingat! Kamu itu istri dari CEO terkenal di kota ini, bagaimana mungkin seorang CEO memiliki istri yang tidak terawat. Mau ditaruh dimana muka saya?" Lelaki itu menarik tangan seorang wanita lusuh didepannya. Ia membawanya ke ruangan dimana satu cermin yang tingginya melebihi tinggi wanita tersebut berada. Wanita itu bernama Charlotte Jacquenline, lebih sering dipanggil dengan sebutan Quen. Ia adalah lulusan terbaik dari École Études Komersiales, dalam bidang bisnis. Selain itu, ia juga mengikuti kursus menjadi desainer di Charden Cavard dan berhasil merancang satu brandnya sendiri yang ia namai Blyhte Callie Fashion Corps. Keterampilannya dalam berbisnis dan mendesain pakaian memukau banyak orang. Tidak hayal jika di usianya yang ke 21 tahun, ia berhasil membawa brandnya tampil di London Fashion Week edisi musim semi. "Coba lihat dirimu di cermin? Apakah kamu sendiri suka, banyak lemak dimana-dimana, tidak ubahnya seperti ikan buntal, baga
"Quen! Dimana kamu?" Edward berteriak mencari keberadaan Quen. Seorang yang mendengar namanya disebutkan berlari ke arah sumber suara dengan keadaan yang berantakan dan masih terdengar sisa-sisa tangisnya. "Lancang kamu sebagai istri berani memarahi Mama. Jika bukan karna bantuannya apakah kamu pikir brand yang kamu agungkan akan berkembang? Dasar wanita tidak tahu diri." Edward menunjuk-nunjuk wajah Quen. Satu tamparan tepat mengenai pipi kanan Quen hingga ia tersungkur. "Bangun!" Edward membentak sambil menarik baju Quen. "Selama ini saya diam dengan semua pengaduan Mama, apakah ini balasan dari kebaikan Mama kepada kamu?" Edward menarik baju Quen dengan saat erat hingga terasa mencekik dileher Quen. Dengan sekuat tenaga ia berusaha melepaskan tangan Edward dari bajunya. "Lepaskan!" Quen menghempaskan tangan Edward dengan penuh tenaga. Ia terbatuk saat berhasil melepaskan diri. "Oh kamu sudah berani melawan!" Raut wajah Edward merah padam, matanya melotot kemerahan. Ia mendorong
"Apa yang kamu masak hari ini?" Berenice menutup hidungnya saat mendekat ke arah Quen. Tidak lupa ia juga selalu membawa antiseptik untuk di semprotkan ke ruangan bekas Quen. Quen memandang getir dengan sikap berlebihan mertuanya. Kini ia mulai menyesali keputusannya dulu untuk tinggal bersama mertua. Namun, sebelum tinggal bersama, Berenice sangat baik kepadanya. Jadi, tidak ada alasan untuk menolaknya. "Saya hanya membuat sandwich dan omelette. Maaf Ma, saya terburu-buru untuk mengambil beberapa kain yang sudah saya pesan," ujarnya. "Bagus, segeralah pergi. Oksigen dirumah ini menjadi tercemar karna kamu." Berenice bersedekap dan menyemprot antiseptik ke arah Quen, hingga membuatnya risih. Quen mengambil tasnya dan berlalu begitu saja. Saat ini, ia benar-benar butuh seseorang untuk diajak berdiskusi. Ia tidak mungkin menghubungi sahabatnya, karena tahu pasti urusan akan menjadi panjang dan runyam. Terpikirkan olehnya satu nama, Lyden. Ia sangat berharap hari ini Lyden berad
"Nyonya, ini data-data yang anda minta. Semua tentang wanita itu ada didalam berkas ini." Lyden mengambil berkas yang diberikan kepadanya. Ia duduk dengan anggun di meja kerjanya. Mengenakan serba hitam termasuk kacamata. "Saya pikir wanita tua itu cukup berkuasa, ternyata tidak seperti yang saya pikirkan." Lyden berbicara sendirian dengan senyum ganjil. Tidak disangka orang yang melawannya tidak lebih hebat darinya. Ia sempat berpikir wanita tua tersebut mempunyai peranan sangat penting dalam dunia bisnis di kota ini. Lyden keluar dari ruang kerjanya, berganti pakaian ke yang lebih sederhana untuk kembali menjadi penjual bunga. "Hari ini, seharusnya ada pertunjukan." Mobilnya melaju ke arah toko bunga deket rumah Quen. Ia menantikan respon apa yang wanita tua itu berikan kepadanya. Ketika sedang merangkai bunga ia melihat Quen datang. Lyden memposisikan diri dengan baik ketika Quen berusaha untuk menceritakan tentang rumah tangganya. Tidak berselang lama setelah Quen berpamitan,