MasukArumi dibenci oleh mertuanya. Disuruh melakukan pekerjaan berat saat hamil besar hingga menyebabkan bayinya meninggal. Bastian yang awalnya membela sang istri, perlahan terhasut sang ibu dan ikut membenci Arumi. Akankah Arumi bertahan atau justru berpindah hati pada seorang lelaki yang sama-sama pernah kehilangan?
Lihat lebih banyakArumi menggerakkan kepalanya perlahan. Matanya masih terpejam rapat. Perlahan ia membuka kelopak yang terasa lengket. Cuping hidungnya mencium aroma asing. Wangi maskulin dan alkohol yang mulai memudar. Hawa dingin dari pendingin ruangan membuat tubuhnya menggigil. Arumi memeluk tubuhnya sendiri. Tiba-tiba ia menyadari tubuhnya yang hanya berbalut selimut tipis. Arumi tersentak kaget. Jantungnya seketika berpacu dengan cepat. Ia memeluk selimut tipis itu erat-erat ke tubuhnya yang polos. Matanya menatap nyalang ke sekeliling kamar.
“A ... Apa yang terjadi?” lirihnya yang masih belum bisa mencerna apa yang telah terjadi.
Tiba-tiba sesuatu bergerak di sebelahnya, membuat Arumi menoleh. Seorang lelaki berbaring di sampingnya. Wajahnya tampak tenang dengan napas yang teratur, menandakan ia yang masih dalam tidur lelapnya. Tubuhnya hanya berkemul selimut tipis yang menutupi bagian bawah tubuh.
Arumi terperanjat dan tergesa turun dari ranjang. Gerakan itu membuat sang lelaki terbangun. perlahan ia membuka mata. Bastian tertegun melihat seorang gadis yang berdiri di seberangnya dengan tubuh gemetaran dan hanya terbungkus selimut tipis. Saat kesadarannya sudah datang, lelaki itu tersentak kaget dan segera bangun.
“A-Arumi… Apa yang terjadi?”
“Bajingan!” pekik Arumi.
“Tega-teganya kamu melakukan ini terhadapku, Bastian ...” Airmata Arumi menetes tanpa dapat dibendung lagi.
“A-aku juga tidak tahu apa yang terjadi, Arumi …” Bastian menjawab bingung. Ia menatap tubuhnya sendiri yang tanpa pakaian.
“Bohong!” teriak Arumi lagi.
Potongan memory semalam berkelebatan di benak Bastian. Setelah acara bakti sosial yang melibatkan kliniknya dan kampus Arumi, Freddy mengajak Bastian, Arumi dan teman yang lainnya ke sebuah cafe untuk merayakan keberhasilan acara bakti sosial mereka. Di sana Freddy memberikan segelas minuman padanya. Bastian meminumnya hingga tandas. Tidak lama setelah itu tubuhnya terasa panas. Ada sesuatu yang bergejolak. Ada sesuatu di dalam dirinya yang minta dituntaskan.
Freddy dan beberapa teman di sana tertawa mengejek. Kemudian mereka menggiringnya ke sebuah ruangan lalu mendorongnya masuk. Bastian melihat di atas ranjang, tampak Arumi yang terbaring tak berdaya. Mata cantiknya terpejam rapat. Bastian meneguk ludah demi melihat perempuan itu. Sejak awal bertemu ia memang menyukainya. Sering mencuri-curi pandang. Freddy pasti mengetahui itu dan sengaja mengerjainya sekarang.
Bastian berbalik dan menggedor pintu kamar.
“ Fred! Buka pintunya!” Namun hanya terdengar suara tawa dari balik pintu.
“Nikmati saja, Kawan. Kapan lagi kamu dapat kesempatan seperti ini. Hahaha …”
“Ini ngga luuc, hei!” Bastian menggedor lagi, namun tidka ada jawaban. Suara langkah kaki di balik pintu perlahan menjauh. Jala mata Bastian kembali melirik ke arah tubuh Arumi. Lagi-lagi ia meneguk ludah.
“Tidak! Aku tidak boleh melakukan hal buruk terhadapnya.” Bastian melihat sekeliling dan melihat pintu kamar mandi. Ia berlari ke sana, menyalakan keran kamar mandi dan membasuh kepalanya. Namun tampaknya hal itu tidak membantu sama sekali. Bastian berjalan keluar dengan tubuh basah. Duduk diam di pojok kamar menahan hasrat. Lama. Namun akhirnya ia tidak dapat membendungnya lagi. Bastian bangkit dan melangkah hingga berhenti di depan tempat tidur besar itu. Ia menatap Arumi yang masih di tempat semula. Bastian membuka kemejanya dan mencampakkan ke sudut ruangan. Ia berjalan mendekat lalu naik ke atas ranjang. Kedua lengan kekarnya mengkukungi Arumi. Tatapan matanya telah menggelap. Tangannya gemetar saat menyusuri kancing baju Arumi …
‘Kamu dan teman-temanmu itu menjebak aku!” Bastian tersadar dari lamunan. Ia bergerak turun dari ranjang, namun Arumi berteriak histeris.
“Jangan mendekat!” Perempuan itu mengacungkan tangannya ke depan dada sebagai bentuk pertahanan. Bastian menyadari tubuhnya hanya berselimut kain tipis juga. ia memegang erat-erat selimut yang membungkus tubuh bagian bawahnya itu.
“Tenang Arumi, kita bicarakan baik-baik … A-aku juga dijebak oleh mereka …,” ucap Bastian terbata. Arumi tidak membalas ucapan Bastian. Dengan tangan gemetar ia meraih pakaiannya yang berserakan di lantai lalu berjalan terhuyung ke kamar mandi. Bastian menghela napas berat. Ia mengusap wajahnya sambil duduk di tepi ranjang. Tatapannya tersangkut pada pakaian miliknya yang teronggok di lantai. Ia bergegas mengambil dan memakainya.
Bastian menoleh saat mendengar langkah kaki mendekat. Arumi sudah mengenakan pakaian. Wajahnya tampak masih pucat. Sisa-sisa airmata masih membekas di pipinya.
“Rumi …,” lirih Bastian. Keheningan yang tidak nyaman menyelimuti mereka.
“Aku janji, aku akan bertanggung jawab,” Arumi menatap penuh kebencian dengan matanya yang memerah.
“Harga diriku sudah hancur, Masa depanku sudah berantakan. Apa yang mau kamu lakukan?!”
“Aku akan menikahimu.” Arumi menahan isaknya. Pernikahan belum ada di pikirannya saat ini. Apalagi dengan orang asing.
Bastian menunduk. perasaan bersalah semakin menghujam.
“Aku janji, aku ngga akan ninggalin kamu, Arumi.” Arumi mengusap airmatanya dengan kasar. Ia enggan menetap lelaki di hadapannya.
“Kamu merusak hidupku, Bastian … Aku tidak mau melihatmu lagi.” Arumi mengambil tasnya, lalu meninggalkan Bastian yang masih terdiam di tempatnya.
Arumi berjalan dengan langkah tertatih. Ia terdiam sejenak saat berdiri di depan sebuah rumah sederhana. Angin menggerakkan anak rambutnya yang menempel di dahi. Wajah perempuan itu masih terlihat pucat pasi. Arumi menghela napas, mencoba bersikap biasa dan masuk ke dalam rumah.
“Lho, baru pulang, Nduk?” suara Timah menyambutnya begitu ia memasuki teras. Di tangannya terdapat setumpuk cucian yang hendak dilipat.
“I … Iya, Bi …” jawab Arumi dengan suara lirih dan kepala menunduk. Ia sangat takut jika bibi dan pamannya itu mengetahui apa yang telah terjadi.
“Lain kali kalau mau ngerjain tugas kasih kabar dong. Bibi sama Paman nungguin kamu semalam.” ucap Pranoto sambil menyeduh kopi. Arumi tidak menjawab. Ia berdiri terdiam dengan canggung.
“Nduk, kamu kenapa?” Timah menyentuh bahu Arumi. perempuan itu tergeragap.
“Kamu sakit?” tanya Timah khawatir.
“Rumi ngga apa-apa … Aku istirahat dulu …” Arumi bergegas ke kamarnya yang berada di lantai dua sebelum air matanya terjatuh. Timah dan Pranoto saling pandang.
“Kamu sih, orang baru datang sudah diomelin.” Pranoto menunjuk hidungnya dengan bingung.
“Mana ada aku marahin dia. Kamu dengar sendiri kan omonganku barusan? Aku tuh sayang sama Arumi sejak ia kecil. mana pernah aku pernah marahin ponakanmu itu.” Timah berdecak sebal lalu melanjutkan pekerjaannya melipat pakaian.
Arumi memutar anak kunci. Ia berjalan gontai ke arah kamar mandi di sudut kamar. Perlahan ia memutar keran shower dengan tangan gemetar. Air dingin membasahi rambut dan pakaiannya. Ia merosot terjatuh, memeluk tubuhnya sendiri yang meringkuk di bawah kucuran air keran. Tangisnya meledak.
Bagaimana ini, Ia ingin menghapus jejak lelaki itu, namun ia jijik menyentuh tubuhnya sendiri …
“Bagaimana aku harus membersihkan tubuh ini? ...” Arumi menggosok leher dan dadanya dengan keras hingga meninggalkan bekas berwarna merah di sana. Tapi semakin keras ia berusaha menghilangkan jejaknya, wajah lelaki itu semakin melekat dalam benaknya …
***
Bastian melangkah masuk ke dalam cafe. Ia tidak menghiraukan sapaan hangat dari seorang pelayan cantik yang berjaga di depan dan membukakan pintu untuknya. Biasanya ia akan tersenyum dan melemparkan tatapan menggoda, hingga membuat perempuan tersipu malu.
Bastian mengedarkan pandangan. Ia melihat Freddy yang sedang nongkrong bersama dengan dua temannya sambil mengepulkan asap rokok dan tertawa. Wajahnya tampak ceria. Freddy melihatnya yang sedang berjalan mendekat. Ia melambaikan tangan sambil tertawa-tawa.
“Apa kabar, Jagoan? Bagaimana rasanya semalam?” Freddy berseru sambil mengangkat tangan mengajak tos. Namun, bukannya mendapat balasan, tangan Bastian malah melemparkan bogem ke rahangnya.
Bugh! Freddy terjungkal dari kursinya. Rokok di tangan terlempar. Orang-orang yang duduk di dekat mereka menjauh sambil berteriak.
Freddy mencoba berdiri dengan dengan terhuyung, namun Bastian meninjunya lagi hingga lelaki itu jatuh menimpa kursi.
“Apa-apaan kamu, Bas?!”
“Harusnya aku yang bertanya, apa yang kamu masukkan ke dalam minumanku semalam?!”
“Bastian …” Arumi menutup mulutnya tanpa sadar. Di seberang, Bastian menatapnya penuh kerinduan. Suara klakson dan deru kendaraan seakan menjadi lagu latar pertemuan mereka yang saling terdiam di antara dua sisi jalan yang berseberangan.Lampu di seberang Arumi berubah hijau. Bastian melangkah mendekat. Arumi menghitung dalam hati di antara harapan dan kecemasan akan masa depan yang akan ia hadapi.”“Apakah dia takdir yang harus aku jalani?”Bastian tiba di depan Arumi. Berdiri canggung. Ia ingin merangkul, namun belum merasa pantas untuk memeluk perempuan tersebut.“Bagaimana kabarmu?” tanya Bastian sungkan.“Aku … hamil…,” ucap Arumi lirih. Bastian tercengang, namun hanya sejenak.“A-aku akan bertanggung jawab, Arumi. Kita akan menikah.” Arumi merasakan sedikit kelegaan.“Tadi aku habis menemui ibumu.” Bastian tercengang lagi.“Apa yang ia katakan?” Arumi tersenyum sedih.“Sepertinya ia tidak menyukai diriku.” Bastian menggeleng.“Ini bukan tentang saling menyukai, Rumi. Ini tentang
Tiiiiinnn!!! Suara klakson yang begitu panjang memekakan telinga. Arumi jatuh terduduk. telapak tangannya terasa perih tergores aspal. Orang-orang berlari menolong. Menanyakan keadaannya. “Mbak, kamu ngga apa-apa?” tanya seorang perempuan muda seumuran dirinya. Ia segera turun dari motor lalu membantu Arumi berdiri dan memapahnya ke pinggir jalan.“Mau saya antar ke Rumah Sakit?” tanyanya khawatir.“Ngga apa-apa, Mbak. Tadi hanya kesenggol dikit.” Orang-orang tampak lega. “Mbak mau kemana?” tanya seorang Bapak yang tadi ikut membantunya.“Saya mau ke …” Arumi mencari kartu nama yang tadi digenggamnya namun ia tampak tertegun. Kartu nama itu terlepas dari tangannya. Arumi melihat berkeliling, namun tak melihat benda kecil itu lagi. Ia segera memeriksa ponselnya, namun hanya tampak layar hitam. “Handphonenya rusak? Mbak perlu menghubungi seseorang?” Lelaki setengah baya itu kembali bertanya.“Iya, Pak,” jawab Arumi lemah.“Mbak hapal nomornya? Pakai saja hape saya.” Arumi menghela na
Timah memandang masakannya yang belum tersentuh di atas meja. Ia menghela napas berat.“Padahal aku bikinin masakan kesukaan dia beberapa hari ini, tapi ngga pernah disentuh,” ujar Timah sambil memasukkan lauk itu ke dalam rak.“Mungkin lagi sibuk sama kuliahnya, Bu. Kan ini sudah masuk semester akhir.”“Aku khawatir sama dia, Pak.” Timah duduk di kursi makan lalu duduk merenung. Ayahnya dulu juga ngga cerita apa-apa waktu divonis tumor otak …” Pranoto yang sedang membersihkan kipas angin terdiam. Ia memandang istrinya lama.“Dia itu persis seperti Mas Ghani. Jika ada masalah hanya dipendam sendiri. Bahkan dia ngga cerita saat istrinya selingkuh dan kabur sama lelaki lain …” Timah menghela napas. Terasa dadanya dihimpit sesuatu yang begitu besar. Yang tak mau enyah meskipun ia menghela napas berkali-kali. “Aku khawatir sama Arumi, Pak …” Timah mulai terisak. Pranoto menghela napas. istrinya memang suka berlebihan kalau menyangkut tentang Arumi. Lelaki itu meninggalkan pekerjaannya la
Bastian duduk sambil menangkupkan jemarinya di atas meja. Sementara Freddy yang duduk di sebelahnya tampak meringis kesakitan. Seorang pelayan laki-laki datang sambil membawa baki berisi minuman. ia menyerahkan dua gelas minuman ke hadapan mereka berdua lalu segera pergi dari sana.“Sakit banget pukulan kamu, Bas. Untung gigiku ngga rontok,” ujar Freddy sambil memegangi wajahnya yang memar. Ia menggerak-gerakkan rahangnya yang kaku.“Kalau bukan sahabat lama, bukan cuma gigi kamu yang aku rontokin, Fred,” geram Bastian kesal. Lelaki itu terdiam setelah berkata-kata. Ia menghela napas panjang kemudian termenung menatap gelas kopinya lagi.“Iya, aku minta maaf,” Freddy berkata tanpa rasa bersalah. Ia meraih gelas kopi di hadapannya dan menyeruputnya seolah tanpa beban.“Kupikir setelah kejadian itu kalian akan semakin dekat.” Bastian menatap sahabatnya itu dengan gusar.“Arumi itu berbeda, Fred. Dia tidak seperti perempuan yang selama ini kita temui.”“Iya, aku tahu. karena itu dia terl
Arumi menggerakkan kepalanya perlahan. Matanya masih terpejam rapat. Perlahan ia membuka kelopak yang terasa lengket. Cuping hidungnya mencium aroma asing. Wangi maskulin dan alkohol yang mulai memudar. Hawa dingin dari pendingin ruangan membuat tubuhnya menggigil. Arumi memeluk tubuhnya sendiri. Tiba-tiba ia menyadari tubuhnya yang hanya berbalut selimut tipis. Arumi tersentak kaget. Jantungnya seketika berpacu dengan cepat. Ia memeluk selimut tipis itu erat-erat ke tubuhnya yang polos. Matanya menatap nyalang ke sekeliling kamar. “A ... Apa yang terjadi?” lirihnya yang masih belum bisa mencerna apa yang telah terjadi. Tiba-tiba sesuatu bergerak di sebelahnya, membuat Arumi menoleh. Seorang lelaki berbaring di sampingnya. Wajahnya tampak tenang dengan napas yang teratur, menandakan ia yang masih dalam tidur lelapnya. Tubuhnya hanya berkemul selimut tipis yang menutupi bagian bawah tubuh.Arumi terperanjat dan tergesa turun dari ranjang. Gerakan itu membuat sang lelaki terbangun. pe
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen