"Tidak bisakah kamu berdandan sedikit saja? Ingat! Kamu itu istri dari CEO terkenal di kota ini, bagaimana mungkin seorang CEO memiliki istri yang tidak terawat. Mau ditaruh dimana muka saya?" Lelaki itu menarik tangan seorang wanita lusuh didepannya. Ia membawanya ke ruangan dimana satu cermin yang tingginya melebihi tinggi wanita tersebut berada. Wanita itu bernama Charlotte Jacquenline, lebih sering dipanggil dengan sebutan Quen. Ia adalah lulusan terbaik dari École Études Komersiales, dalam bidang bisnis. Selain itu, ia juga mengikuti kursus menjadi desainer di Charden Cavard dan berhasil merancang satu brandnya sendiri yang ia namai Blyhte Callie Fashion Corps. Keterampilannya dalam berbisnis dan mendesain pakaian memukau banyak orang. Tidak hayal jika di usianya yang ke 21 tahun, ia berhasil membawa brandnya tampil di London Fashion Week edisi musim semi. "Coba lihat dirimu di cermin? Apakah kamu sendiri suka, banyak lemak dimana-dimana, tidak ubahnya seperti ikan buntal, baga
"Quen! Dimana kamu?" Edward berteriak mencari keberadaan Quen. Seorang yang mendengar namanya disebutkan berlari ke arah sumber suara dengan keadaan yang berantakan dan masih terdengar sisa-sisa tangisnya. "Lancang kamu sebagai istri berani memarahi Mama. Jika bukan karna bantuannya apakah kamu pikir brand yang kamu agungkan akan berkembang? Dasar wanita tidak tahu diri." Edward menunjuk-nunjuk wajah Quen. Satu tamparan tepat mengenai pipi kanan Quen hingga ia tersungkur. "Bangun!" Edward membentak sambil menarik baju Quen. "Selama ini saya diam dengan semua pengaduan Mama, apakah ini balasan dari kebaikan Mama kepada kamu?" Edward menarik baju Quen dengan saat erat hingga terasa mencekik dileher Quen. Dengan sekuat tenaga ia berusaha melepaskan tangan Edward dari bajunya. "Lepaskan!" Quen menghempaskan tangan Edward dengan penuh tenaga. Ia terbatuk saat berhasil melepaskan diri. "Oh kamu sudah berani melawan!" Raut wajah Edward merah padam, matanya melotot kemerahan. Ia mendorong
"Apa yang kamu masak hari ini?" Berenice menutup hidungnya saat mendekat ke arah Quen. Tidak lupa ia juga selalu membawa antiseptik untuk di semprotkan ke ruangan bekas Quen. Quen memandang getir dengan sikap berlebihan mertuanya. Kini ia mulai menyesali keputusannya dulu untuk tinggal bersama mertua. Namun, sebelum tinggal bersama, Berenice sangat baik kepadanya. Jadi, tidak ada alasan untuk menolaknya. "Saya hanya membuat sandwich dan omelette. Maaf Ma, saya terburu-buru untuk mengambil beberapa kain yang sudah saya pesan," ujarnya. "Bagus, segeralah pergi. Oksigen dirumah ini menjadi tercemar karna kamu." Berenice bersedekap dan menyemprot antiseptik ke arah Quen, hingga membuatnya risih. Quen mengambil tasnya dan berlalu begitu saja. Saat ini, ia benar-benar butuh seseorang untuk diajak berdiskusi. Ia tidak mungkin menghubungi sahabatnya, karena tahu pasti urusan akan menjadi panjang dan runyam. Terpikirkan olehnya satu nama, Lyden. Ia sangat berharap hari ini Lyden berad
"Nyonya, ini data-data yang anda minta. Semua tentang wanita itu ada didalam berkas ini." Lyden mengambil berkas yang diberikan kepadanya. Ia duduk dengan anggun di meja kerjanya. Mengenakan serba hitam termasuk kacamata. "Saya pikir wanita tua itu cukup berkuasa, ternyata tidak seperti yang saya pikirkan." Lyden berbicara sendirian dengan senyum ganjil. Tidak disangka orang yang melawannya tidak lebih hebat darinya. Ia sempat berpikir wanita tua tersebut mempunyai peranan sangat penting dalam dunia bisnis di kota ini. Lyden keluar dari ruang kerjanya, berganti pakaian ke yang lebih sederhana untuk kembali menjadi penjual bunga. "Hari ini, seharusnya ada pertunjukan." Mobilnya melaju ke arah toko bunga deket rumah Quen. Ia menantikan respon apa yang wanita tua itu berikan kepadanya. Ketika sedang merangkai bunga ia melihat Quen datang. Lyden memposisikan diri dengan baik ketika Quen berusaha untuk menceritakan tentang rumah tangganya. Tidak berselang lama setelah Quen berpamitan,
"Tolong bawakan makanan ini kepada Quen, bagaimanapun dia sedang hamil. Tidak baik menyiksanya begitu." Berenice menyerahkan sandwich yang ia buat beserta satu gelas jus. "Mama, tidak perlu sebaik ini pada wanita yang tidak tahu diuntung itu. Memang apa kurangnya saya sebagai laki-laki?" Edward memakan sosis yang ada didepannya. "Cepatlah, jika kamu ingin anak di kandungannya segera pergi, maka turuti saja perintah Mama." Edward mengambil piring dan gelas yang telah disiapkan Mamanya. Dari semalam, Quen tidak diizinkan untuk keluar dan juga tidak diberi makan. Tidak ada yang bisa ia lakukan di dalam kamar selain mendesain pakaian agar pikirannya terfokus tidak pada makanan. Ia teringat perkataan Lyden untuk merubah sudut pandanganya mengenai pernikahannya dengan Edward. Quen mendengar seorang membuka pintu kamarnya. Meskipun ia telah mencoba untuk menahan lapar, tetap saja tidak bisa. Ia mendapati Edward membawa makanan serta jus untuknya. Tanpa pikir panjang Quen langsung me
"Dok, bagaimana keadaan sahabat saya?" tanya seorang wanita dengan setelan rapi, sedangkan wanita lainnya terlihat harap cemas. "Untung saja kalian datang tepat waktu untuk mengambil keputusan. Jika tidak, saya tidak tahu hal apa yang akan terjadi selanjutnya." Kedua wanita yang merupakan sahabat Quen tersebut adalah Sarah Staphanny dan Micheline Gourge. Mereka dulunya berkuliah dikampus yang sama dan memutuskan untuk tinggal bersama. Sarah yang merupakan putri dari orang yang cukup penting dikota ini. Mereka berbincang dengan dokter yang menanganin Quen soal apa yang sebenarnya terjadi. Wajah Sarah terlihat merah padam. Tangannya menggengam kuat. Ia hanya tak habis pikir bagaimana bisa suami Quen meninggalkan Quen seorang diri. Dokter bergegas pergi setelah dirasa penjelasannya cukup. "Berkali-kali saya bilang, seharusnya dia mencari tahu siapa lelaki itu," ucap Sarah jengkel. "Quen bukanlah lagi anak kecil. Dia pasti mempunyai pertimbangan akan keputusannya dulu. Sudahlah. Mar
"Apa? Kamu akan kembali ke rumahnya? Apakah cinta benar-benar membuatmu kehilangan akal?" Sarah mendelik ke arah Quen."Apakah ada pilihan lain?" tanya Quen.Michelle merasa iba dengan keadaan yang harus dihadapi sahabatnya. Tidak tega rasanya jika ia harus memberitahukan kebenaran soal Edward."Apa yang kamu harapkan dari lelaki yang bahkan tidak pernah ada ketika kamu butuh. Hampir dua bulan kamu dirawat disini, apakah pernah dia datang?" Sarah memalingkan mukanya. Bagaimanapun ia tetap merasa kasihan dengan Quen."Terima kasih karna selalu ada. Namun ... apakah mungkin saya harus meninggalkan Bhlyte Callie begitu saja? Tapi bolehkah saya meminta pertolongan lagi?" tanya Quen.Ia terlihat begitu menyedihkan karna sesuatu yang sudah ia bangun. Quen menghabiskan semua yang ia punya untuk brandnya. "Katakanlah." Michelle menatap Quen dengan seksama.Quen memberitahu apa keinginannya kepada Sarah dan Michelle. Ia yakin hanya mereka berdua yang bersedia membantu tanpa pamrih.***"Quen,
"Selangkah lagi, apa yang saya cita-citakan akan tercapai." Edward merapikan dasi yang sedang ia kenakan."Mama yakin kamu pasti bisa mendapatkan yang kamu inginkan, Nak." Berenice menepuk pundak Edward penuh kasih sayang.Berenice menggandeng Edward menuju Altar pernikahannya bersama Jeanne Fredh Diomore, putri dari pemilik ribuan perusahaan yang bergerak dibilang kemediaan. Namun, orang tua Jeanne juga memiliki pertambangan di luar negeri."Mr. Fredhor sangat pandai dalam memilih menantu," bisik salah seorang tamu yang hadir."Tidak hanya tampan, dengar-dengar dia juga seorang desainer yang karyanya luar biasa."Para tamu yang hadir sangat mengagumi Edward. Selain parasnya, pencapai-pencapaian yang ia miliki juga membuat banyak orang terpukau. Itu juga yang menjadi alasan Fredhor menjodohkan Jeanne dengannya.Gemuruh riuh saat janji suci diucapkan oleh Edward untuk Jeanne. Kebahagiaan tak terkira dirasakan oleh kedua pembelai. Bahkan tamu yang hadir memandang kagum akan ketampanan da