"Kak Vina tega banget, sih. Kasihan Lano, tau nggak?" Rere protes keras pada sang kakak."Kok jadi belain Dylan? Aku yang hamil, lho." Vina tak kalah sewot dengan adiknya."Jangan lebay. Waktu hamil pertama aja Kak Vina nggak gini kok. Malah mandiri banget.""Justru itu! Dylan tuh rese banget. Ngikutin terus. Aku risih.""Tapi nggak sampe gitu juga keselnya, Kak. Pake pisah kamar segala."Vina mengerutkan kening. Bagaimana adiknya sampai tau ia dan Dylan pisah kamar? Pasti suaminya itu berkeluh kesah pada Rere."Dasar lelaki cepu. Gitu aja ngadu sama adik ipar." Vina mendengus kesal."Woii, Kak! Aku tau bukan karena Lano yang ngomong. Tiap malam Lano tuh live, katanya nggak bisa tidur. Aku lihat di kamera, Lano tidak di kamar utama." Rere memberi sanggahan.Vina terdiam mendengar ucapan Rere. Ia baru tau Dylan live setiap malam karena nggak bisa tidur. Padahal ia tidak mengeluh apa-apa padanya."Kakak tuh emang hamil. Tapi, jangan keterusan kesel sama suami.""Lano juga menanggung ngi
"Apa?" Serentak Dylan dan Marcel bertanya.Dylan yang awalnya tidak tertarik jadi penasaran. Ia juga perlu tau apa yang dilakukan Genia untuk menambah kewaspadaan."Kudengar ia merayu seorang produser agar menerbitkannya menjadi penyanyi.""Hmmm... aku tau siapa produser itu." Marcel langsung menebak. "Lelaki itu memang sering terkena skandal dengan bibit baru.""Lagipula, memangnya Genia bisa nyanyi?" Dylan mencebik."Sebenarnya, suara Genia cukup bagus. Tapi masih butuh latihan bertahun-tahun agar lebih matang. Beda dengan kalian yang memang memiliki bakat." Marcel menjelaskan."Betul." Erick mengangguk. "Asisten pribadiku juga bilang begitu.""Sebentar." Dylan mengerutkan kening. "Kalau dia mau jadi penyanyi, kenapa melamar ke sini untuk jadi manager kafe?""Banyak yang menduga itu hanya salah satu cara untuk mendekatiku." Erick terkekeh."Bisa jadi." Marcel memgangguk-angguk. "Jika berhasil dekat denganmu, karirnya sebagai penyanyi pendatang baru akan cepat naik.""Apa dia terliha
“Genia.” Dylan menggumam sambil melirik kakaknya.Dylan sudah akan bangun dan pergi jika tidak ditahan Marcel. Genia ternyata hanya menyapa dari kejauhan hingga Erick menghampirinya.Keduanya pergi ke arah sebuah pintu. Marcel mengamati Erick mempersilahkan Genia masuk dan menutup pintu.Saat pelayan datang membawakan pesanan, dengan gaya sok akrab, Marcel bertanya. “Apa Genia bekerja di sini atau merupakan salah satu partner bisnis Erick?”“Wanita tadi, Tuan?” Pelayan balik bertanya dan saat Marcel mengangguk, pelayan menjawab, “Kami tidak tau, Tuan. Beliau baru datang hari ini.”Marcel mengangguk. Dylan tampak tak peduli.Ia mencoba minuman yang direkomendasikan Erick untuknya.“Kurasa Genia tidak akan berani mendekatimu. Keluarganya sudah berjanji untuk itu.” Marcel berkata sambil mencoba minumannya.“Kita lihat saja nanti.” Dylan membalas. “Yang pasti, kalau ia berani mengajakku mengobrol, kita harus segera pergi dan Kak Marcel harus mengadukan pada keluarganya bahwa ia melanggar j
“Tok, tok, tok.” Marcel mengetuk pintu kamar Vina. “Vin, ini aku, Marcel.”Pintu terbuka. Vina menyembulkan kepala dan melihat ke sekeliling. “Nggak ada Dylan, kan?”Marcel menggeleng pelan. “Tidak.”“Oke.” Vina melebarkan pintu dan mempersilahkan Marcel masuk lalu menutup pintu.Marcel terkekeh melihat sikap Vina. Tidak biasanya Vina mau bicara dengannya dalam kondisi ruangan yang tertutup. Wanita ini biasanya risih berduaan di dalam satu ruangan dengannya.“Kenapa, Vin?” Dengan nada sabar, Marcel bertanya sambil duduk di sofa.“Aku lagi kesel sama Dylan.”“Terus?”“Besok ada acara sekolah. Kak Marcel tahan Dylan di kantor biar ia nggak ikut ke sekolah, ya.”“Aku kan juga harus ke sekolah, Vin.”“Nggak usah. Ini kan cuma rapat pentas sekolah aja. Biasanya juga kebanyakan ibu-ibu yang ikutan. Aku sama Kak Linda saja.”Kalimat itu sepertinya tidak bisa dinegosiasi. Apalagi yang di depan Marcel adalah ibu hamil muda yang masih sering berubah moodnya.“Tapi, aku dan Lano dapat undangan r
Sambil makan, Dylan menyahut santai. “Wanita hamil gemuk itu wajar, Chagiya. Apalagi, kamu hamil anak kembar.”Tanpa berkata apa pun, Vina berdiri lalu menghentak langkahnya pergi dari ruang makan. Dylan yang masih mengunyah makanan ,enoleh menatap punggung istrinya yang menjauh.Lalu, Dylan melihat chef dan pelayan wanita yang bertugas menghidangkan makanan menggeleng samar padanya.“Apa? Kenapa?” Dylan bertanya heran. Berani-beraninya mereka memberinya ekspresi tak menyenangkan begitu.“Anu, Tuan.” Chef menggaruk kepalanya yang tidak gatal, lalu menoleh pada pelayan wanita di sampingnya. “Bagaimana ngomongnya ini?”Pelayan wanita itu memandang Dylan sekilas lalu berkata pelan. “Nyonya pasti kesal pada Tuan, karena wanita paling tidak suka dikatakan gemuk saat hamil. Meskipun kenyataannya begitu.”“Masa? Istriku bukan tipe yang mudah marah karena hal receh begitu. Memang moodnya sering berubah saja saat hamil muda begini.” Dylan mengibaskan tangan seolah menggampangkan masalah ini.C
Dylan sampai berkonsultasi kembali pada psikolog tentang sindrom couvade yang dialaminya. Perlahan, ia mulai dapat lebih santai menghadapi kehamilan Vina.Seiring dirinya yang sudah tenang, gelaja mual pun berangsur hilang. Dylan memfokuskan pikirannya agar sehat dan kuat untuk menjaga keluarga.Tetapi, Vina justru sering menghindar. Ia merasa Dylan terlalu memanjakan dirinya hingga ia sulit bergerak.“Aku bisa sendiri, Dylan. Masa mandi saja dimandiin!” Vina merengut kala Dylan dengan keras kepala ikut menyabuni dirinya.“Aku takut kamu kepeleset di kamar mandi.”Mungkin ada benarnya. Tetapi, Vina tetap merasa kesal. Ia juga bingung pada perasaannya yang malah tidak ingin berdekatan dengan Dylan.Vina menghela napas lega saat ponsel Dylan berbunyi. Vina jadi bisa berpakaian sendiri, mengeringkan rambut dan mengenakan skincare tanpa dibantu Dylan.“Chagiya, aku harus rapat online.” Dylan berkata pelan. “Ada yang mau aku bantu lagi?”Cepat, Vina menggeleng. “Tidak. Pergilah. Aku mau me