Vina nekat menikah dengan seorang pria asing yang baru ditemuinya. Di pagi hari usai melakukan malam pengantin, Vina menyesal. Dia pun memutuskan untuk membatalkan pernikahan. Sayangnya, tidak ada identitas lain yang Vina tahu tentang suami singkatnya selain nama. Dylan. Bagaimana jika pria dadakan yang dinikahi Vina bukanlah orang sembarangan?
View More“Mempelai pria tidak akan datang. Dia sedang sibuk dengan... wanita lain.”
Suasana ballroom yang sejak tadi sunyi kini terdengar suara bisik-bisik. Vina berdehem untuk mendapatkan perhatian kembali.
“Pesta tetap berlanjut. Silahkan nikmati makanan yang telah tersedia.”
Vina dengan gaun pengantin cantik turun dari panggung dengan senyum di wajah. Bahkan menyapa ramah para tamu undangan yang memberikan ucapan penuh keprihatinan.
“Aku nggak papa. Lebih baik tau sebelum pernikahan, bukan?” Kalimat itu yang selalu meluncur dari bibir Vina tiap kali keluarga atau kerabat menanyai keadaannya.
Tapi akhirnya, Vina lelah juga. Betul kata orang bijak, pura-pura baik-baik saja itu butuh banyak tenaga.
Sahabatnya, Ayla menyeretnya ke meja VIP. Ayla lah yang pertama kali tau bahwa Andreas – mantan tunangannya, selingkuh. Vina tidak percaya begitu saja.
Hingga dua hari sebelum pernikahan, ditemani sahabatnya, Vina memergoki sang tunangan di kamar hotel dengan wanita lain. Detik itu juga Vina memutuskan Andreas.
“Sudah kubilang untuk membatalkan saja pesta ini. Aku risih mendengar banyak orang bertanya tentangmu dan Andreas.” Ayla berbisik sambil menyiapkan piring makanan untuk Vina, lalu pergi untuk menemani para tamu.
Vina menatap sekeliling. Pesta pernikahan tanpa pengantin lelaki ini tetap berjalan meriah dengan dekorasi elegan dan band kenamaan. Hingga akhirnya matanya berair.
Tak mau keluarga dan kerabatnya melihat ia menangis, diam-diam Vina keluar dari ballroom. Perlahan berjalan menuju ruang ganti pakaian untuk sekedar menenangkan diri.
Langkahnya terhenti melihat pemandangan di depan pintu. Andreas dan Ayla sedang bercumbu di sofa. Dua orang terdekatnya ternyata berkhianat. Entah sejak kapan.
Kedua mata Vina hanya menatap kosong pada dua mahluk yang tak sadar ia perhatikan. Tidak ada air mata. Ia hanya mengutuk diri sendiri bagaimana selama ini begitu polos hingga tak tau apa yang terjadi di belakangnya.
Vina segera membalik tubuh dan setengah berlari menjauhi ruang ganti pakaian. Kakinya melangkah tak tentu arah. Hingga akhirnya ia melihat sebuah restoran yang sepi.
Setelah memesan minuman, Vina memangku wajahnya dan merenung. Jantungnya masih berdebar kencang mengingat apa yang barusan ia lihat. Sebenarnya Andreas bersama wanita di hotel atau dengan Ayla?
Tiba-tiba ada sesuatu yang menyelinap ke bawah gaun pengantinnya yang lebar. Tak lama kemudian tiga lelaki kekar masuk dan berkeliling ruangan.
“Ssstttt.” Seorang lelaki bermasker melongokkan kepalanya dari balik gaun. “Tolong sembunyikan aku sebentar, ya.”
Vina mengerutkan kening tak suka. “Pasti lelaki yang di bawah gaunku yang mereka cari.” Vina membatin.
Berpikir cepat apa yang harus ia lakukan, Vina akhirnya memutuskan untuk pura-pura tidak tau. Hingga tiga lelaki kekar itu pergi.
“Mereka sudah pergi, kan?” Lelaki itu keluar dari gaun lebar Vina.
“Plak.” Tangan Vina spontan menampar pipi lelaki tersebut. “Dasar lelaki mesum!”
“Eh, aku nggak lihat apa-apa, kok.” Lelaki itu bersumpah pada Vina sambil memegangi pipinya.
“Lagian, apa nggak ada tempat lain untuk sembunyi dari para penagih hutang itu?”
“Hah? Penagih hutang?” Lelaki itu tampak terkejut.
Dengan wajah menahan marah, Vina melengos lalu pergi. Tetapi, lelaki itu malah membuntuti Vina.
“Aku ikut kamu, siapa tau mereka masih mengejarku.”
“Bukan urusanku!"
“Oh. Mereka juga akan mengejarmu, bahkan menangkapmu juga karena barusan kamu yang menyembunyikanku.” Lelaki itu mengancam sambil berkacak pinggang.
Ini pasti orang gila! Dengan wajah merengut kesal, Vina melewati lelaki itu dan masuk ke dalam lift yang kosong.
Hingga tiba di depan pintu kamar hotel, lelaki itu tetap membuntuti Vina.
“Cukup sampai di sini ngikutin aku.” Vina berkata tegas.
Vina membuka pintu. Saat ia akan masuk, lelaki itu segera mendahuluinya. Spontan, Vina berteriak kesal.
“Heii! Kamu tidak boleh masuk!”
Lelaki itu tidak menjawab. Ia terpaku di tempatnya berdiri sambil menatap sekeliling. “Kamu... ini, kamar pengantin?”
“Keluar!” ulang Vina dengan jari telunjuk mengarah ke pintu. Nada suaranya bergetar saat memerintah.
Lelaki itu mengabaikan ucapan tegas Vina, lalu mengambil secarik kartu pada kue cantik di meja.
“Nona Vina... kami prihatin atas gagalnya pernikahan anda. Terimalah kue ini sebagai rasa kepedulian kami.” Lelaki itu membaca keras-keras. “Aku pikir kamu sedang syuting, pemotretan, cosplay atau apa lah. Ternyata pengantin betulan,” imbuhnya lagi sambil terkekeh.
“Tolong, keluar lah. Aku sedang ingin sendiri.” Vina seperti kehabisan daya untuk emosi, lalu menjatuhkan bokongnya ke sofa dan bersandar lemah.
“Nangis aja kalau mau nangis.” Lelaki itu memberi saran dengan santai. “Lagipula dia yang rugi karena tidak jadi menikahi wanita cantik sepertimu.”
Kalimat itu sudah berkali-kali ia dengar, namun saat ini terasa berbeda. Rasanya kata-kata itu menguatkan sekaligus melemahkannya. Vina jadi terisak sedih.
“Cup, cup, cup.” Lelaki itu menghampiri Vina lalu memeluknya. “Apa ini kali pertama kamu menangis semenjak membatalkan pernikahan?”
Vina tidak menjawab. Untuk sesaat ia larut dalam pelukan lelaki tak dikenal itu. Hingga akhirnya sadar dan mendorong dada lelaki di sampingnya.
“Kamu siapa, sih? Jangan sok menenangkanku.”
“Mmm kamu... tidak kenal aku?” Lelaki itu membuka masker wajahnya.
Kening Vina berkerut menatap si lelaki. Tampan, kulit bersih dengan mata berkilau, struktur wajahnya proporsional. Di mata Vina, lelaki ini seperti sosok playboy internasional.
“Tidak. Kita belum pernah bertemu, kan?”
Lelaki itu mengangkat kedua alisnya, lalu tergelak kencang sambil bertepuk tangan. Vina terpana melihat ketampanan lelaki itu justru bertambah saat tertawa.
“Akhirnya... ada juga wanita yang tidak mengenaliku.” Lelaki itu bergumam sambil menatap Vina dengan senyum misterius.
“Apa maksudmu?” Vina menggeleng bingung.
“Tidak, tidak.” Lelaki itu menggeleng dan menjulurkan tangan. “Kenalkan. Aku Dylan.”
Vina menatap uluran tangan itu tanpa membalasnya. Si lelaki akhirnya menurunkan tangan dan menatap prihatin pada Vina.
“Apa yang lelaki itu perbuat padamu? Selama dia tidak tiba-tiba mati, kamu wajib balas dendam!”
Spontan, Vina menoleh dan menatap Dylan. Saat ini, ia bahkan sulit bernapas, apalagi balas dendam yang butuh ekstra effort?
“Malas!” Vina menjawab dan menghela napas beratnya.
“Hem. Karena tadi kamu membantuku, aku akan balas budi.”
Vina menggeleng lemah. “Tidak perlu. Keluar saja dari kamar ini. Aku butuh ketenangan.”
“Tidak mau. Aku takut kamu bunuh diri.”
Pernyataan itu membuat bibir Vina mencebik. “Sebelum mati, aku ingin tau bagaimana mantan tunangan dan sahabatku bisa selingkuh.”
“What?” Mata Dylan terbelalak lalu memberi saran. “Daripada sedih-sedih, lebih baik menyalurkan energi negatifmu pada hal yang bisa membuat mereka terkejut.”
Vina menghela napas berat. “Aku belum tau harus melakukan apa.”
Dylan menatap sekeliling kamar yang bernuansa cream dan putih serta dekorasi bunga berwarna burgundy. “Aku punya solusi untuk masalahmu.” Dylan menatap Vina dengan wajah serius.
“Apa?”
“Menikah lah denganku!”
Kehidupan Dylan dan Vina kini berjalan lebih teratur dan penuh warna.Setelah Dylan resmi mengundurkan diri dari dunia hiburan, ia benar-benar fokus menjalankan bisnisnya yang terus berkembang. Keputusan itu membuatnya jauh lebih tenang.Dylan tak lagi dikejar jadwal padat konser, tur, dan sorotan media. Kini Dylan bisa mengatur ritme kerja sesuai dengan prioritas utamanya: keluarga.Vina merasa sangat bersyukur. Dulu ia sering khawatir Dylan kelelahan atau stres karena pekerjaan yang menyita hampir seluruh waktunya.Kini, setiap pagi mereka bisa sarapan bersama, menyiapkan keperluan Clara dan si kembar, lalu Dylan berangkat ke kantor dengan wajah yang lebih rileks.Sore harinya, Dylan sering pulang lebih cepat agar bisa menemani Clara berlatih piano atau bermain dengan si kembar di halaman belakang rumah. Ada kebahagiaan sederhana yang tak bisa mereka beli dengan kesuksesan dunia hiburan.Vina sendiri juga semakin berkembang. Ia aktif di bidang desain busana, bahkan sering menerima pe
Sejak pengumuman itu, Clara semakin giat berlatih. Setiap hari selepas sekolah, ia akan duduk manis di depan piano di ruang musik rumah mereka. Jemarinya yang mungil menari di atas tuts, kadang tersendat, lalu ia mengulanginya lagi dengan tekun.Vina selalu setia menemani, duduk di sofa dengan senyum penuh rasa bangga. Sesekali ia merekam latihan Clara dengan ponselnya, lalu mengirimkan video itu ke Dylan yang masih berada di kantor.Malam itu, setelah Clara selesai memainkan lagu yang akan dibawakan di acara kenegaraan, Vina menghampirinya.“Sudah selesai, Sayang? Capek jari-jarinya?”“Nggak capek, Mommy. Kata guru piano, kalau latihan rutin nggak akan capek.”Vina mengusak lembut kepala Clara. “Clara, Mommy bangga sekali sama kamu. Kamu tahu tidak? Kamu akan jadi pianis termuda di acara kenegaraan. Itu artinya, semua tamu penting dari luar negeri juga akan mendengarkan permainan pianomu.”Clara tersenyum sedikit. “Iya. Guru Ara juga bilang gitu.”“Clara harus percaya diri karena mem
Begitu Dylan menyelesaikan lagu terakhirnya, tepuk tangan riuh terdengar dari “penonton kecil” di ruang tamu.Kean meloncat-loncat dengan antusias.“Wow, superstar! Superstar! Daddy keren banget!”Kael ikut-ikutan. “Aku mau tanda tangan, Daddy Lano!”Clara segera mengambil kertas gambar dan spidol. Ia pura-pura jadi fans garis keras, berlari ke arah Dylan.Clara gaya hebohnya mendekati Dylan. Gayanya benar-benar mirip seorang Goldies. “Mister Lano, boleh saya minta tanda tangan? Saya fans berat sejak kecil!”Dylan tertawa sampai terbahak, tapi tetap menuruti. Ia menandatangani kertas itu dengan gaya artis profesional.“Namanya siapa? Mau ditulis dengan ucapan apa?”Vina yang dari tadi hanya menonton sambil tersenyum, akhirnya ikut bergabung. Ia mendekat, pura-pura mengacungkan ponsel.Kali ini, Vina berpura-pura jadi reporter gosip. “Permisi, Mister Lano, bagaimana rasanya tampil di konser keluarga dengan penonton terbatas? Apa berbeda dengan konser di stadion besar dulu?”Dylan menu
Clara baru saja pulang dengan tas berat dan wajah lelah setelah seharian sekolah plus les piano. Begitu membuka pintu rumah, ia langsung disambut teriakan riang si kembar.Kean berlari mendekat dan berteriak, “Kak Ara! Tadi aku jadi kapten bola di sekolah! Semua anak nurut sama aku!”Kael ikut nimbrung sambil tersenyum. “Terus… bekalku habis. Temen-temen suka sate buah dari Mommy. Mereka minta lagi besok.”Clara terbelalak, menatap adik-adiknya yang penuh semangat.“Waaah, kalian heboh banget. Baru hari pertama sekolah aja ceritanya banyak.”Kean mengangguk cepat. “Iya! Terus habis pulang sekolah, kita diajak Daddy makan es krim. Aku pilih cokelat, Kael pilih vanila. Enak banget, Kak!”Kael menambahkan sambil menepuk perutnya. “Aku sampe kedinginan… tapi tetap habis.”Clara tergelak mendengar celotehan adik-adiknya. Ia menaruh tasnya di sofa lalu merebahkan diri di sofa.“Duh, kalian beruntung banget. Kak Ara habis les cuma dapat roti isi di jalan, gak ada es krimnya.”Kean langsung r
Pagi itu rumah terasa riuh. Vina sibuk menyiapkan bekal, sementara Dylan dengan sabar berusaha memasangkan sepatu untuk Kael yang terus bergerak tak mau diam. “Kael sayang, kalau kamu tidak tenang, sepatunya tidak bisa masuk.”Kael memberengutkan wajah dengan manja, lalu bergelendot pada tubuh Vina.“Nggak mau sekolah… maunya sama Mommy.”Di sisi lain, Kean justru terlihat antusias. Ia sudah rapi dengan tas kecil bergambar dinosaurus di punggungnya.“Daddy, cepat! Aku mau lihat mainan di sekolah!”Dylan terkekeh melihat perbedaan karakter kedua putranya.“Lihat tuh, Kean sudah siap duluan. Kael, masa kamu kalah sama kakakmu?”Kael mendengus, tapi akhirnya menurut saat Dylan mengikatkan tali sepatunya.Sesampainya di sekolah playgroup, suasana ramai oleh anak-anak yang ditemani orangtua masing-masing. Ada yang menangis kencang, ada yang ceria. Vina menggandeng tangan Kean dan Kael erat-erat.Saat guru menyapa ramah, Kean langsung berlari masuk kelas dengan riang.“Mommy, Daddy! Aku ma
Hari itu kantor polisi penuh wartawan. Berita besar sedang digoreng: kasus penggelapan dan penipuan bisnis Andreas dan Lawson akhirnya terbongkar.Andreas melangkah keluar dengan borgol di tangannya, wajahnya pucat pasi tapi masih berusaha menyunggingkan senyum sombong. Lawson, di sisi lain, menunduk lesu, seakan sudah kehilangan daya juang.Seorang wartawan mencecar pertanyaan. “Tuan Andreas, benarkah Anda selama ini menggunakan dana investor untuk kepentingan pribadi?!”Andreas mendengus kesal, ingin membalas, tapi polisi segera mendorongnya masuk ke mobil tahanan. Sementara itu, Dylan menonton dari layar televisi di ruang kantornya bersama Brandon.Dylan bersandar di kursinya, mata tajamnya penuh kepuasan.“Inilah yang mereka dapat karena serakah. Kesombongan Andreas akhirnya menghancurkan dirinya sendiri.”Brandon, yang duduk di sampingnya, hanya menyeringai puas.“Semua bukti yang kita kumpulkan tidak terbantahkan. Mereka pikir bisa bermain-main dengan hukum, padahal jejak digit
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments