"Panggil saja aku Yura. Kita sebaya, bukan? Tidak ada yang perlu diresmikan di sini," jawabnya, matanya bersinar gembira. Andy mengangguk, tersenyum lebar. "Yura, itu terdengar sempurna," katanya.Detik berikutnya, Andy kembali berkata, "Tapi Yura, Tuan Damian akan marah besar jika mengerti kita terlihat akrab seperti ini? Memanggilmu Yura.""Tidak apa-apa. Jika ada Damian, kamu bisa bisa memanggilku Nyonya. Bagaimana?"Andy hanya bisa mengangguk pasrah, menyetujui ucapan Yura."Baiklah. Sekarang, kamu buka bingkisannya."Mata Yura tertuju pada bingkisan berpita merah muda yang baru saja di terima di tangannya. Dengan hati yang berdebar, ia mulai membuka bingkisan tersebut. Jari-jarinya yang terampil dengan lembut mengurai pita dan membuka sisi-sisi boks kardus yang kaku. Saat tutup boks terangkat, sebuah wewangian cokelat yang manis langsung menyeruak ke udara, menambah rasa penasaran Yura. Di dalamnya, terdapat sebuah kue rainbow berbentuk hati, dengan lapisan cokelat leleh yang men
"Apakah misi ini akan berhasil?" tanya Andy, meragukan seorang Damian.Damian melangkah mendekat dengan tatapan yang tajam dan berat menusuk kalbu Andy. "Apakah wajahku mencerminkan keraguan, Andy?" suaranya rendah namun menggema di hati. "Tidak, Tuan," jawab Andy cepat, tetapi nada suaranya mengkhianati keraguannya. Damian mendecak, wajahnya mengeras. "Rupanya, kamu masih meragukan kemampuanku. Lupa, kah kamu akan kegilaan yang aku tunjukkan tiga tahun yang lalu?" Kulit Andy menjadi pucat, matanya terbelalak seakan menonton kembali adegan horor yang penuh darah itu dalam benaknya. Segera dia menggeleng cepat, tubuhnya ambruk dan dia berlutut di depan Damian. "Maafkan aku, Tuan. Ingatanku memang buram. Saya terlalu... " "Sudah, cukup," potong Damian tegas, suaranya serak dan getir dengan kekecewaan yang membuak. "Cukup bicara, pergilah! Temukan Yura dan pastikan dia aman." Kemarahannya tak hanya membuat Andy menggigil, tetapi juga menyimpan sejuta cerita kesetiaan yang retak.Andy men
Perusahaan Damian.Sindy merasa tubuhnya terhempas ke lantai dingin dengan kasar. Tangan-tangannya yang terikat di belakang membatasi gerakannya. Rasa sakit menyelimuti seluruh tubuhnya, tapi tak ada yang lebih menyakitkan daripada ketakutan yang menggelayuti hatinya saat ini.Damian, dengan postur tubuhnya yang menjulang tinggi seperti menara, mendekat dengan langkah berat. Setiap tapak kakinya seolah menggetarkan lantai. Wajah Damian penuh dengan kemarahan yang membara. Matanya yang tajam menatap Sindy seperti hendak menembus jiwa gadis itu.Damian mendekat penuh intimidasi. "Karena ulahmu, Yura menjauhi aku, Sindy!" suaranya menggema keras di ruangan itu, penuh dengan kekecewaan dan rasa terkhianati.Sindy menggigil, suara tangisnya terdengar parau. "Tolong, Tuan Damian, aku tidak bermaksud... aku mohon, maafkan aku!" ratapnya sambil menundukkan kepala, merasakan berat beban kesalahannya. Air mata membasahi pipinya, menunjukkan keputusasaan yang mendalam.Damian menghela napas bera
"Andy, kamu tahu tidak Yura dapat berita masa laluku dari mana?""Entahlah, Tuan!""Segera caritahu, Andy!" titah Damian pada asistennya dengan suara kesal."Baik, Bos! Tapi mungkin hasilnya mungkin tidak enak di denger ya.""Ya sudahlah, yang penting kita tau sumbernya dulu. Nanti urusan lain kita pikirkan lagi," balas Damian dengan nada tegas.Andy bergerak cepat untuk membongkar rahasia Yura. Dengan tekad yang membara, dia menginstruksikan pengawalnya untuk melacak jejak Yura setelah meninggalkan rumah sakit, mencari setiap CCTV yang mungkin menangkap bayangan Yura. Tanpa menunggu lama, pengawal itu kembali dengan rekaman yang diincar — tidak hanya dari CCTV tetapi juga dari dasbor mobil Yura yang masih berfungsi sempurna. Jantung Andy hampir terhenti ketika ia menyaksikan Yura berada dalam dekapan Sindy, wanita yang telah merebut hati Dony. Sakit yang menusuk membuat Andy merasa dunianya runtuh seketika.Andy berdiri tegak di depan Damian, matanya menunjukkan kegugupan saat ia mul
Yura menatap lurus ke foto-foto yang tersebar di atas meja. Matanya yang semula sayu kini semakin meredup, tertutup kabut kekecewaan. Bibir bawahnya terjepit antara gigi, sebuah usaha untuk menahan gejolak emosi yang mengancam akan meledak.Foto-foto itu menunjukkan Damian sedang bermesraan dengan berbagai wanita. Di sisi lain, Sindy yang tampak puas dengan efek yang dia timbulkan, terus berbicara tanpa henti. "Damian itu memang brengsek, Yura. Lihat saja, dia tidak pernah serius. Dulu, aku bahkan sempat tergila-gila padanya, tapi untung aku sadar lebih dulu dan mulai mengumpulkan bukti," ujarnya sembari menunjuk-nunjuk foto-foto tersebut.Yura hanya bisa menundukkan kepala, rasa sakit dan pengkhianatan menyelimuti hatinya. Setiap kata yang Sindy ucapkan seperti belati yang menusuk-nusuk hatinya pelan-pelan. Dia berusaha keras untuk mengambil napas dalam-dalam, menstabilkan emosinya yang bergejolak. Namun, dalam diam, air mata mulai berjatuhan membasahi pipinya yang pucat. Kehadiran f
"Apa maksudmu? Apa yang terjadi pada Dony?" Sindy bertanya dengan suara gemetar, ketakutan mencengkeram jantungnya."Ah, entahlah," sahut Yura dengan nada acuh tak acuh sambil tersenyum misterius. "Namun, yang jelas, Damian tadi memberitahu kepadaku bahwa dia bertekad untuk mengakhiri hidup Dony, KEKASIHmu itu." Ucapannya mendapat penekanan khusus pada kata 'kekasih', yang membuat seluruh pengunjung di restoran itu menoleh, berbisik-bisik seraya mengamat-amati kejanggalan yang terjadi di hadapan mereka.Suasana restoran yang semula ceria kini berubah menjadi panggung drama, mata penonton terpaku pada Sindy yang pucat pasi. Sementara Yura terus bermain-main dengan emosi setiap orang dengan tebaran kata-katanya yang seolah membawa bayu badai. Atmosfer tebal dengan ketegangan, seakan sebuah adegan film tentang perselingkuhan klasik sedang dipertontonkan di depan mata.Yura mengumpulkan semua pandangan pengunjung restoran yang padat itu dengan satu hembusan napas. “Pendengar yang terhorma
"Apa gerangan yang ingin dibicarakan Sindy tentang Dony?" gumam Yura dalam keraguan yang mengusik pikirannya.Yura dengan cepat melangkah menuju restoran tempat pertemuan yang dijanjikan. Selama perjalanan, hatinya diliputi rasa penasaran yang menggebu-gebu. Pikirannya menerawang, mencoba menebak-nebak apa yang mungkin ingin dibicarakan oleh Sindy tentang Dony. Sesampainya di restoran, Yura mencari sosok Sindy yang sudah duduk di pojok ruangan, matanya tajam memerhatikan sekeliling. Sebelum sempat Yura menyapa, Sindy yang tampak gelisah dan marah langsung berdiri dengan tegas. Tanpa basa-basi, Sindy menghampiri Yura dan dengan tiba-tiba, tangannya menampar pipi Yura dengan keras.Plak! Suara tamparan keras itu bergema, membelah keheningan yang selimuti restoran, membuat beberapa pengunjung tertegun dan menoleh."Ada apa ini?" tanya Yura, raut wajahnya mencerminkan kebingungan yang mendalam. "Kamu tahu tidak apa yang telah kamu perbuat?!" bentak Sindy dengan mata yang membara, amarah
"Lihatlah Andy, Luhan menghubungiku," ucap Damian saat melihat ponselnya bergetar.Damian menghentakkan kakinya ke lantai, dengan napas berat, ia menjawab telepon dan menekan tombol pengeras suara. "Halo?"Dari seberang sana, suara kakek Luhan yang tenang dan dingin terdengar, "Damian, kita perlu bicara tentang Dony." Mendengar nama itu, urat di leher Damian menegang, matanya menyala dengan kemarahan yang tak terbendung. "Aku akan membunuhmu, Luhan! Dan Dony juga!" teriaknya dengan amarah yang meledak-ledak. "Aku tahu, kamu yang telah menyembunyikan Dony." "Ha haha." Tertawa ringan, Luhan menjawab, "Tenang, lebih baik kita bertemu dan bicara seperti orang dewasa." "Brengsekh kamu, Pak Tua!"Tanpa berpikir panjang, Damian melempar ponselnya pada Andy, dan bergegas mengambil kunci mobilnya. Ia mengemudikan mobilnya dengan kecepatan tinggi, menembus jalanan yang sepi menuju kediaman Luhan. Setiap detik dalam perjalanan itu, pikirannya dipenuhi dengan bayangan mengenai apa yang akan ia la
"Aku takut Yah," bisiknya di antara isakan, "Aku takut kehilangan Ayah ... Aku tidak tahu harus apa kalau Ayah benar benar pergi." Ia menggigit bibir, mencoba menahan suara isaknya agar tak menggema di ruangan kosong itu, tapi gagal.Damian datang mengunjungi ruangan dimana Yura berada.“Damian.”Yura terpaku seketika, matanya membelalak tak percaya saat melihat Damian berjalan menghampirinya. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, Damian langsung melingkarkan lengannya mengelilingi Yura dengan hangatnya, seolah bisa merasakan getir kesedihan yang mendera hati wanita yang dicintainya itu. Sebuah isyarat bahwa ia hadir sebagai pelindung yang akan mengusir segala kelam dari hidup Yura.“Bagaimana kondisi ayahmu?” tanya Damian, duduk di samping ranjang rumah sakit.“Syukurlah, kondisi ayah sudah stabil. Semua ini berkat Tuan Damian, terima kasih ya?”Damian tersenyum sekilas. “Kamu ini bicara apa? Aku tak hanya merebutnya dari Dony.”Yura memandang sayu pada lelaki yang kini menggaruk tengk