Suara familiar itu membuat Qiyana sudah bisa menebak siapa yang datang menghampiri dirinya dan Kenzo. Siapa lagi kalau bukan Amanda, sepupu lelaki itu. Entah ia perlu mensyukurinya atau tidak. Namun, kedatangan Amanda berhasil membuat Kenzo berhenti menempeli dirinya. Kenzo yang tadinya bersikukuh mengajaknya mencari tempat sarapan langsung sibuk dengan Amanda. Mengabaikan hatinya yang entah kenapa terasa perih, Qiyana segera memanfaatkan kesempatan yang ada untuk melepaskan diri. Perlahan-lahan Qiyana melangkah mundur tanpa sepengetahuan Kenzo. Amanda pun tampaknya memberi jalan agar dirinya bisa pergi dari sana dengan mudah. Masa bodoh lah, yang terpenting ia tidak perlu terjebak dengan dua orang itu lagi. “Qiyana, kamu masih ada di sini?” sapa Gino yang nyaris bertabrakan dengan Qiyana. Lelaki itu mengernyit heran melihat Qiyana yang terlihat aneh. Namun, memilih mengabaikan keanehan tersebut. “Aku pikir kamu sudah pulang. Mana suamimu? Maaf, tadi aku terpaksa pindah tempat dudu
“Apa kamu lupa kalau seorang istri harus meminta izin pada suaminya sebelum pergi ke mana pun?” sindir Kenzo yang langsung menarik Qiyana masuk ke kamar itu dan menguncinya. Kenzo menyudutkan Qiyana di dinding dan tidak membiarkan wanita itu bergerak ke mana pun. Sementara koper milik Qiyana dibiarkan begitu saja di luar kamar tersebut. Kemarahan terlihat sangat jelas dari raut wajah lelaki itu. Urat-urat di lehernya sampai sampai terlihat jelas. Alih-alih merasa takut, Qiyana malah menyunggingkan senyum miring. Seolah-olah sengaja menantang lelaki di hadapannya ini. Keterlambatan pulangnya ini memang di luar rencana, tetapi ia tidak merasa salah apalagi harus meminta maaf. Tidak ada yang berhak melarangnya melakukan apa pun. Seperti Kenzo yang bebas dekat dan melakukan apa pun dengan Amanda, Qiyana merasa dirinya juga memiliki hak yang sama. Lagipula dirinya dan Gino juga tidak berbuat macam-macam selain jalan-jalan dan mengobrol. Kalau bukan karena Gino yang secara tidak langsung
Qiyana yang lebih banyak melihat ke belakang tidak menyadari kalau ada mobil yang melaju dari arah berlawanan. Tepat ketika tubuhnya nyaris menabrak mobil tersebut, Kenzo lebih dulu menariknya hingga punggung lelaki itu menabrak pagar. “Kamu baik-baik saja? Apa ada yang terluka?” tanya Kenzo khawatir. Lelaki itu langsung memeriksa keadaan Qiyana dari atas sampai bawah, memastikan tidak ada luka yang timbul karena kejadian barusan. Meskipun kakinya sedikit berdenyut nyeri, Qiyana memaksakan langsung menegakkan tubuhnya. Ia pun tidak menyangka sampai nyaris tertabrak hanya karena ingin pergi sebentar. Itu juga karena Kenzo yang menyebalkan dan terus mengejarnya. Mobil yang nyaris bertabrakan dengan Qiyana itu ternyata salah satu mobil milik Kenzo yang dibawa oleh supir lelaki itu. Sang supir langsung turun, menghampiri Qiyana dan Kenzo untuk meminta maaf dan menanyakan keadaan keduanya. Kenzo langsung memarahi pria itu dengan kalimat pedas. Padahal sebenarnya yang salah dan tidak mem
Tidur lelap Qiyana terusik karena perutnya yang tiba-tiba bergejolak. Secepat kilat wanita itu turun dari ranjang dan berlari ke toilet. Dan ia pun kembali memuntahkan isi perutnya yang sebenarnya belum terisi apa pun. Sudah nyaris seminggu Qiyana merasakan sesuatu yang aneh pada tubuhnya. Setiap kali bangun tidur, ia pasti mual-mual dan berujung memuntahkan cairan bening. Gejala ini berawal sejak dirinya pergi ke pesta ulang tahun kenalan Gino tempo hari. Qiyana yang masih menyandarkan tubuhnya di tembok kontan tersentak ketika tak sengaja mendengar pintu kamarnya terbuka. Sontak saja, wanita itu segera menegakkan tubuhnya. Namun, pening hebat malah menghantam kepalanya dan ia terpaksa kembali berpegangan pada tembok. Kenzo yang sedang mencari Qiyana dibuat terkejut melihat wanita itu berada di toilet dengan keadaan kurang baik. Qiyana terlihat sangat pucat dan nyaris terjatuh kalau tidak berpegangan pada tembok di belakangnya. “Kamu kenapa? Sakit?” tanya Kenzo sembari menyentuh b
Qiyana yang baru saja kembali dari toilet langsung menyandarkan punggungnya di kursi sembari memijat kepalanya yang terasa pening. Wanita itu meneguk orange juicenya perlahan-lahan hingga mual itu akhirnya menghilang. Baru beberapa suap saja Qiyana melahap makanannya, tetapi akhirnya sama saja. Padahal sebelumnya ia sangat menginginkan makanan yang tersaji di hadapannya itu. Sayangnya, makanan tersebut malah berakhir ia muntahkan lagi. “Kenapa tidak mengatakan apa pun kalau kamu sedang sakit?” Gino yang sedari tadi memperhatikan Qiyana akhirnya membuka suara. “Aku tidak sakit, hanya sedikit pusing saja, mungkin karena kepanasan. Sebentar lagi pasti mendingan. Ayo, kita lanjut makan saja, tidak perlu mengkhawatirkan keadaanku,” jawab Qiyana dengan senyum tipis. Sebenarnya Qiyana ingin menceritakan gejala aneh yang dirinya alami ini pada Gino. Itulah yang membuatnya bersedia saat lelaki itu mengajaknya makan siang bersama. Tetapi, rasanya sulit sekali untuk menceritakan masalah yang
Satu garis berwarna merah perlahan-lahan muncul, menemani satu garis berwarna sama yang ada di sampingnya. Tak membutuhkan waktu lama bagi Qiyana untuk mengartikan apa yang terjadi padanya saat ini. Wanita muda itu masih berdiri terpaku tanpa bisa mengalihkan pandangannya dari benda pipih yang ada di tangannya. Wajahnya mulai berubah pucat dan tanpa bisa dicegah, tangannya mulai gemetar sampai benda itu jatuh di lantai toilet. Dirinya hamil. Qiyana tidak bisa menampik fakta yang terpampang jelas di depan matanya. Namun jika boleh jujur, sebenarnya ia tidak sanggup menerima fakta mengejutkan ini. Kehamilan ini benar-benar tidak dirinya harapkan, apalagi di tengah konflik tak berujung yang terjadi di antara dirinya dan Kenzo. “Kenapa aku harus hamil?” lirih Qiyana dengan tubuh yang meluruh ke lantai. Wanita itu membekap mulutnya agar isak tangisnya tidak terdengar dari luar sana. Di saat nyaris seluruh wanita di dunia ini menantikan dan menyambut kehamilan dengan suka cita, Qiya
“Jangan membual! Aku tidak percaya dengan omong kosong apa pun yang keluar dari mulutmu!” sahut Qiyana seraya membereskan barang-barangnya yang ada di meja. Lebih baik ia segera pergi sebelum emosinya terpancing. Qiyana sengaja memblokir nomor telepon Feli agar wanita itu tidak bisa mengganggunya lagi. Sayangnya, mereka malah bertemu di sini. Lebih parahnya lagi di saat suasana hatinya sedang hancur berantakan. Feli yang menyadari itu tentu saja tidak tinggal diam. “Kamu akan menyesal seumur hidup kalau tidak mau mendengar fakta yang akan aku katakan. Kalau kamu tetap pergi juga, berarti kamu memang pengecut. Atau jangan-jangan kamu tidak menyayangi ayahmu sebesar itu!” Kalimat yang Feli lontarkan berhasil membuat Qiyana menghentikan langkah. Meskipun belum membalikkan tubuhnya apalagi kembali melangkah ke meja itu, kata-kata Feli mampu menggoyahkan keputusannya untuk pergi. Selama beberapa saat Qiyana menimbang-nimbang, kalau dirinya tetap memilih pergi, Feli pasti akan semakin me
Tak ingin rencananya kembali gagal hanya karena menyepelekan keadaan sekitarnya, kali ini Qiyana tidak lagi keluar menggunakan pintu depan. Berbulan-bulan tinggal di rumah ini membuatnya cukup familiar dengan area tertentu yang benar-benar jarang sekali dilewati orang lain. Sama seperti saat berusaha menerobos masuk ke ruang kerja Kenzo tadi, Qiyana memilih melalui kawasan yang tidak terpantau kamera pengawas. Untung saja ia sudah membawa barang-barang pentingnya sebelum masuk ke ruang kerja Kenzo. Jadi, sekarang dirinya bisa langsung pergi tanpa perlu kembali ke kamar. Qiyana menyeka air mata yang masih saja membanjiri wajahnya. Ia memang berhasil menahan isakan, namun tidak dengan tangis. Kenyataan yang baru saja dirinya dapatkan benar-benar menghancurkan hatinya. “Maafkan aku, Yah,” lirih Qiyana dalam hati. Seandainya Qiyana mengetahui semuanya sejak awal, ia tidak mungkin sudi bekerja sama apalagi sampai menikah dengan lelaki yang sudah mencelakai ayahnya sampai meninggal dunia