LOGINSaras tidak pernah menyangka hidupnya akan berbalik arah begitu cepat. Dikhianati dan diceraikan saat mengandung, ia memilih menutup hati dan menjalani hari hanya bersama anak kecil yang menjadi dunianya. Hidupnya tenang, meski penuh luka yang tak terlihat. Luka masa lalu membuatnya menutup rapat pintu hati, terutama pada pria kaya yang selalu identik dengan kesombongan dan permainan kuasa. Hingga Dennis datang pengusaha dingin dengan rumah tangga di ambang kehancuran. Pria itu penuh luka, tapi kehadirannya perlahan menghangatkan ruang hati yang lama beku. Di antara keraguan dan trauma yang membelenggu, Saras harus memilih, tetap bertahan dengan dinding pertahanan yang ia bangun untuk melindungi dirinya dan anaknya, atau berani membuka hati pada Dennis, seorang pria yang terluka, namun mungkin bisa menghadirkan kebahagiaan baru.
View MoreBrukk!
Kotak susu bayi itu jatuh, menggelinding pelan sebelum terhenti di bawah rak biskuit. Suara kecilnya cukup untuk membuat beberapa kepala menoleh, sekilas, penuh rasa ingin tahu. Saras membungkuk cepat, jantungnya berdegup kencang seperti genderang perang. Tangan kirinya masih perih akibat senggolan tadi. Jemarinya bergetar saat meraih kotak susu itu, lalu, mata mereka bertemu. “Maaf, Pak. Saya… saya tidak sengaja,” ucap Saras gugup. Suaranya hampir tak terdengar, terseret napas yang tak teratur. Lelaki itu berdiri tegak. Kemeja putihnya rapi tanpa cela, seolah tiap serat kainnya dipilih dengan teliti. Arloji berkilau di pergelangan tangannya, pantulan cahaya lampu toko memantulkan wibawa yang tak terbantahkan. Namun, bukan itu yang membuat Saras tercekat, melainkan tatapannya. Tatapan dingin, menelusuri dirinya dari atas hingga bawah. Bukan sekadar melihat, tapi menilai. Membuat setiap helai baju murah yang melekat di tubuhnya terasa seperti noda yang tak layak berada di sana. Saras menelan ludah. Kotak susu di tangannya digenggam begitu erat, seakan benda kecil itu bisa melindunginya dari rasa malu yang mendadak menghujam dada. Lalu, tak… tak… tak. Suara sepatu hak menghentak lantai. Seorang wanita muncul, cantik menawan dengan riasan sempurna, langkahnya penuh percaya diri. Gaunnya berkelas, setiap lipatan jatuh anggun, dan di sisi tangannya, seorang anak laki-laki kecil berjalan patuh, menempel erat seperti bayangan. Udara seolah berubah. Kehadiran mereka membuat Saras merasa semakin asing, kecil, tak terlihat. “Ada apa, Pa?” suara wanita itu terdengar lembut, namun ada sesuatu di baliknya, ketegangan halus, semacam kewaspadaan. Pria itu, Dennis, menggeleng tipis. “Nggak apa-apa. Lain kali hati-hati ya kalau berjalan,” katanya. Tenang. Namun ketenangan itu dingin, tajam, membuat bulu kuduk Saras berdiri. Saras menunduk dalam, menekan dadanya yang riuh dengan detak jantung. “Sekali lagi, maaf, Pak,” bisiknya. Tanpa berani menunggu balasan, ia melangkah cepat menjauh. Tapi sebelum benar-benar pergi, matanya sempat menangkap sesuatu dari sudut pandang samar. Tatapan wanita itu tajam dan sinis. Seperti bilah pisau yang menyayat pelan, meninggalkan jejak dingin di hati Saras. "Perempuan itu menatapku seolah aku baru saja melakukan dosa besar. Padahal aku hanya tidak sengaja bersenggolan dengan suaminya. Kenapa rasanya seperti aku sudah merebut sesuatu yang bukan milikku?" pikir Saras, dadanya sesak oleh rasa malu yang tak bisa ia jelaskan. Saras buru-buru beralih ke rak lain, berusaha menenangkan dirinya dengan berpura-pura sibuk memilih barang. Tangannya bergerak asal, seakan-akan ia benar-benar memperhatikan label harga, padahal pikirannya masih kacau. “Belanjaanku tidak banyak. Ambil secukupnya saja, lalu cepat pulang,” batinnya. Setelah merasa cukup, ia menarik napas panjang dan mendorong troli kecil menuju kasir. Hatinya mulai tenang, sampai langkahnya terhenti. Di dekat kasir, berdiri laki-laki itu. Laki-laki yang tadi ditabraknya. Saras tercekat, tenggorokannya kering. Jari-jarinya refleks menggenggam kotak susu bayi lebih erat, seolah benda kecil itu bisa menyamarkan kegugupannya. Ia berharap Dennis tidak memperhatikan, tapi pria itu sekilas menoleh, tatapannya dingin, singkat, namun cukup untuk membuat jantung Saras berdebar lebih keras. Saras berdiri di antrean, jantungnya berdebar tak keruan. Ia menunduk, pura-pura sibuk menata barang belanjaannya di meja kasir. Namun suara bariton itu membuat langkah tangannya membeku. “Belanja untuk siapa?” tanya Dennis tiba-tiba. Suaranya tenang, tapi ada sesuatu yang mengandung tekanan. Saras menoleh cepat, matanya melebar. “Eh… a-anu, untuk… rumah,” jawabnya gugup, tak yakin apakah alasannya terdengar masuk akal. “Sepertinya saya pernah melihatmu, tapi di mana ya?” tanya Dennis, dahinya berkerut tipis. Tatapannya tak lepas dari wajah Saras, membuat udara di sekitar terasa lebih berat. Saras tersenyum kaku, buru-buru mengalihkan pandangan ke arah kasir yang sedang menghitung belanjaannya. “Wajah saya pasaran, Pak. Wajar kalau Bapak merasa pernah melihat saya di mana-mana.” Suaranya bergetar halus, berusaha terdengar ringan, meski dadanya bergemuruh. Dennis tidak langsung menjawab. Matanya menyipit, seolah sedang berusaha menembus tirai yang coba Saras pasang. Lalu, perlahan, ia mengangguk kecil, meski ekspresinya tak menunjukkan benar-benar percaya. “Entahlah,” ucap Dennis akhirnya, nada suaranya rendah, seperti berbicara pada dirinya sendiri. “Tapi saya yakin pernah melihatmu di suatu tempat. Dan bukan sekadar sekilas.” Saras tercekat. Jemarinya mencengkram tas belanja erat-erat, seolah mencari pegangan. Ia buru-buru menunduk, menghindari tatapan itu. Kasir menyerahkan plastik belanjaan. Saras segera meraih dan mengangguk cepat. “Permisi, Pak.” Ia melangkah pergi, namun tiba-tiba. “Ayo, Pa. Mama sudah selesai belanjanya,” suara anak laki-laki itu terdengar jernih, polos. Namun bagi Saras, kalimat sederhana itu terasa seperti paku yang menancap dalam. Anak itu menggenggam tangan perempuan bergaun anggun, wanita yang tadi menatapnya tajam. Tatapan yang masih sama, menusuk, seolah Saras sudah melakukan kesalahan besar hanya karena senggolan kecil tadi. Dennis menoleh sebentar ke arah keluarganya, lalu kembali melirik Saras sebelum akhirnya melangkah pergi bersama mereka. Saras berdiri kaku, tubuhnya serasa membeku di depan pintu keluar supermarket. Ada perasaan asing yang menyesakkan, campuran malu, rendah diri, sekaligus rasa penasaran yang tak bisa ia jelaskan. "Kenapa laki-laki itu? Aneh. Padahal aku belum pernah bertemu dengannya," gumam Saras dalam hati, langkah kakinya terasa berat saat meninggalkan supermarket. Saras berjalan menelusuri trotoar. Tas belanjaan bergoyang di genggaman, namun pikirannya masih tertinggal di dalam toko, bersama tatapan dingin Dennis dan sinisnya sorot mata sang istri. * Sampai di rumah, Saras langsung menuju kamar mandi. Hari ini melelahkan, baik fisik maupun batin. Setelah membasuh wajah dan tubuhnya dengan air dingin, ia merasa sedikit lebih segar. Begitu keluar, ia langsung menggendong anaknya yang sejak tadi diam di kasur. "Althaf... anak Bunda, nggak rewel kan tadi?" bisiknya lembut, menciumi pipi kecil yang masih hangat itu. Althaf tertawa-tawa tanpa memahami apa pun. Matanya yang bening menatap Saras penuh cinta, seolah dunia ini hanya mereka berdua. "Makanlah dulu, Ras. Taruh dulu Althaf di kasur," suara ibunya, Gayatri, memecah keheningan. Saras mengangguk, lalu dengan hati-hati meletakkan bayinya. Ia duduk di meja makan, mengambil nasi dan lauk sederhana yang disiapkan ibunya. "Bagaimana pekerjaanmu hari ini?" "Alhamdulillah, Bu. Lumayan capek. Ada dua mobil terjual hari ini," jawab Saras sambil menyendokkan nasi ke mulutnya. Ibunya tersenyum. "Alhamdulillah. Semoga rezekimu berkah, Nak." "Amin.” Tapi dalam hati, Saras merasa hampa. Ia berusaha tersenyum, tapi pikirannya melayang jauh. "Seandainya hidupnya tak seperti ini. Seandainya ia masih punya suami yang menyayanginya. Seandainya Gavin tak menghancurkan segalanya."Begitu pintu apartemen terbuka, aroma lembut kayu dan kopi langsung menyambut mereka. Ruangan itu luas, rapi, dengan pencahayaan hangat dan sentuhan modern minimalis.Saras tak bisa menyembunyikan kekagumannya. “Tempatnya indah sekali,” gumamnya tanpa sadar.Dennis menatapnya dengan senyum samar. “Aku sering ke sini kalau lagi suntuk, banyak pikiran, atau butuh waktu buat tenang,” katanya sambil meletakkan kunci mobil di meja kecil dekat pintu.Saras hanya mengangguk pelan. Matanya menelusuri ruangan itu, rak buku dengan deretan novel dan dokumen, jendela besar dengan tirai abu-abu, dan cahaya sore yang masuk lembut dari balik kaca.Apartemen ini terasa asing, tapi entah kenapa menenangkan.Dennis mengisyaratkan Saras untuk duduk di sofa lembut berwarna krem.“Mau minum apa? Teh, kopi?” tanyanya dari dapur kecil di sisi ruangan.“Air putih saja, Pak,” jawab Saras, suaranya masih terdengar hati-hati.Dennis mengangguk. “Baik.”Ia melangkah menuju dapur, membuka lemari kaca dan menuan
Mobil Dennis berhenti di depan sebuah supermarket yang masih ramai meski sore mulai meredup. Lampu-lampu di dalamnya berpendar hangat menembus kaca depan mobil.“Ayo turun,” kata Dennis pelan.Saras menoleh cepat. “Saya mau langsung ke kantor, Pak. Nanti dimarahi Bu Dita.”Dennis tersenyum tenang. “Jangan khawatir, kamu aman.”“Aman bagaimana?” Nada Saras meninggi sedikit, menunjukkan kekesalannya.Dennis menatapnya, sorot matanya lembut tapi dalam. “Kamu cantik kalau marah,” katanya begitu saja.Saras terdiam sejenak, wajahnya langsung memanas. Ia berusaha menutupi kegugupannya dengan mendengus pelan. “Bapak ini, bisa aja.”Dennis tertawa kecil. “Kamu bahkan lebih cantik waktu berusaha menahan senyum.”Saras meliriknya, antara malu dan kesal. Ia membuka pintu mobil lebih cepat, mencoba mengakhiri momen canggung itu. “Saya turun duluan.”Tapi sebelum ia sempat keluar sepenuhnya, Dennis menahan dengan suara yang lebih lembut, nyaris berbisik,“Saras, jangan salah paham. Aku cuma in
Suasana restoran siang itu awalnya terasa canggung. Hanya denting sendok dan musik lembut yang terdengar di antara mereka bertiga, Dennis, Saras, dan tentu saja Aldo.Namun perlahan, percakapan ringan mulai mencairkan udara. Saras berusaha menata nada suaranya, menahan debar yang tak mau tenang setiap kali Dennis menatapnya.Dennis menatap Saras dengan pandangan yang sulit dijelaskan, tajam, namun hangat. Aldo, di sisi lain, hanya memperhatikan. Dalam hati ia ingin pindah meja, tapi Saras melarang. "Takut fitnah," katanya pelan.Perbincangan santai terus berlanjut, sesekali ada tawa kecil diantara mereka. Aldo permisi untuk ke belakang sebentar.Tiba-tiba, suara nyaring seorang perempuan memecah suasana.“Oh, jadi ini perempuan yang menggantikan Risa? Aku kira lebih dari Risa. Ternyata seleramu rendah juga, Dennis.”Dennis spontan menoleh. Wajahnya menegang. Saras mematung, darahnya seakan berhenti mengalir.Perempuan setengah baya itu berdiri di ambang restoran, tatapannya tajam Wik
“Dennis…” suara Clarissa pecah, “aku tahu aku salah. Aku tahu aku sudah melukai kalian.”Namun Dennis hanya menghela napas, tanpa menoleh.“Kamu bukan cuma melukai aku, Clar. Kamu juga membuat anak kita belajar kecewa terlalu cepat.”Air mata Clarissa jatuh tanpa ia sadari. Tangannya gemetar, seolah tubuhnya sendiri menolak kenyataan itu.Ia ingin menjelaskan, ingin membela diri, tapi setiap kata terasa sia-sia. Semua yang dulu ia miliki, cinta, keluarga, rasa dihargai, kini terasa seperti bayangan yang perlahan menghilang.Dennis berdiri, mengambil piring Alvin dan membawanya ke dapur. “Aku akan tidurkan Alvin,” katanya singkat, lalu pergi tanpa menoleh.Clarissa menatap punggung suaminya yang menjauh, dan untuk pertama kalinya ia menyadari,keheningan bisa lebih menyakitkan daripada pertengkaran.“Pa, Mama sudah nggak sayang Alvin. Mama lebih sayang pekerjaan.”Suara Alvin pelan, tapi tajam, seperti pisau kecil yang menembus diam di ruang keluarga itu. Matanya berkaca-kaca, bibirnya
Pagi itu suasana ruang kerja Dennis terasa berbeda. Biasanya wajahnya kaku dan tegang, tapi kali ini ada senyum samar yang belum juga hilang sejak tadi. Aldo, yang memperhatikan dari sisi meja, tak bisa menahan rasa heran.“Pak, sepertinya Anda tampak bahagia hari ini?” tanyanya hati-hati, memilih nada serendah mungkin agar tak menyinggung.Dennis menghentikan ketikan di laptopnya, lalu menoleh. Tatapannya tenang, tapi ada cahaya disana, sesuatu yang sudah lama tak Aldo lihat.“Kamu tahu, Aldo,” ujarnya pelan, namun ada nada ringan dalam suaranya, “ternyata Saras bekerja di perusahaan Papa. Aku bertemu dengannya kemarin.”Senyum kecil muncul di wajah Dennis, senyum yang bukan dibuat-buat. Sekilas, lelaki itu tampak seperti dirinya yang dulu, sebelum amarah dan kekecewaan menutup semua sisi lembutnya.Aldo mengangguk pelan, setengah terkejut, setengah mengerti. “Pantas saja,” gumamnya lirih, nyaris hanya untuk dirinya sendiri.Ia menatap bosnya itu diam-diam. Dalam hati, ia tahu nama
“Saras, ayo kita ke ruangan Pak Handika. Data dan laporan yang aku minta kemarin sudah selesai dikerjakan belum?”Suara Dita terdengar tegas, tapi hangat, saat ia menutup laptop dan berdiri dari kursinya.“Sudah, Bu. Semua sudah selesai,” jawab Saras cepat, senyum tersungging di bibirnya.Sejak pertama kali melangkah ke perusahaan itu, semangat Saras seakan tak pernah padam. Setiap hari baginya adalah kesempatan baru untuk belajar dan tumbuh. Lingkungan kerja yang bersahabat, rekan-rekan yang suportif, dan atasan yang bijak membuatnya merasa dihargai lebih dari sekadar karyawan biasa.Dita dan Pak Handika, dua nama yang begitu berarti baginya. Bagi Saras, mereka bukan hanya atasan, melainkan mentor yang membentuknya menjadi pribadi yang lebih kuat, lebih percaya diri.“Benny, Pak Handika ada?” tanya Dita sambil melangkah cepat ke arah meja resepsionis. Saras menyusul di belakangnya, membawa map tebal berisi laporan.Benny, asisten sekaligus orang kepercayaan Pak Handika, segera berdir






Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments