LOGINSaras tidak pernah menyangka hidupnya akan berbalik arah begitu cepat. Dikhianati dan diceraikan saat mengandung, ia memilih menutup hati dan menjalani hari hanya bersama anak kecil yang menjadi dunianya. Hidupnya tenang, meski penuh luka yang tak terlihat. Luka masa lalu membuatnya menutup rapat pintu hati, terutama pada pria kaya yang selalu identik dengan kesombongan dan permainan kuasa. Hingga Dennis datang pengusaha dingin dengan rumah tangga di ambang kehancuran. Pria itu penuh luka, tapi kehadirannya perlahan menghangatkan ruang hati yang lama beku. Di antara keraguan dan trauma yang membelenggu, Saras harus memilih, tetap bertahan dengan dinding pertahanan yang ia bangun untuk melindungi dirinya dan anaknya, atau berani membuka hati pada Dennis, seorang pria yang terluka, namun mungkin bisa menghadirkan kebahagiaan baru.
View MoreSuasana restoran siang itu awalnya terasa canggung. Hanya denting sendok dan musik lembut yang terdengar di antara mereka bertiga, Dennis, Saras, dan tentu saja Aldo.Namun perlahan, percakapan ringan mulai mencairkan udara. Saras berusaha menata nada suaranya, menahan debar yang tak mau tenang setiap kali Dennis menatapnya.Dennis menatap Saras dengan pandangan yang sulit dijelaskan, tajam, namun hangat. Aldo, di sisi lain, hanya memperhatikan. Dalam hati ia ingin pindah meja, tapi Saras melarang. "Takut fitnah," katanya pelan.Perbincangan santai terus berlanjut, sesekali ada tawa kecil diantara mereka. Aldo permisi untuk ke belakang sebentar.Tiba-tiba, suara nyaring seorang perempuan memecah suasana.“Oh, jadi ini perempuan yang menggantikan Risa? Aku kira lebih dari Risa. Ternyata seleramu rendah juga, Dennis.”Dennis spontan menoleh. Wajahnya menegang. Saras mematung, darahnya seakan berhenti mengalir.Perempuan setengah baya itu berdiri di ambang restoran, tatapannya tajam Wik
“Dennis…” suara Clarissa pecah, “aku tahu aku salah. Aku tahu aku sudah melukai kalian.”Namun Dennis hanya menghela napas, tanpa menoleh.“Kamu bukan cuma melukai aku, Clar. Kamu juga membuat anak kita belajar kecewa terlalu cepat.”Air mata Clarissa jatuh tanpa ia sadari. Tangannya gemetar, seolah tubuhnya sendiri menolak kenyataan itu.Ia ingin menjelaskan, ingin membela diri, tapi setiap kata terasa sia-sia. Semua yang dulu ia miliki, cinta, keluarga, rasa dihargai, kini terasa seperti bayangan yang perlahan menghilang.Dennis berdiri, mengambil piring Alvin dan membawanya ke dapur. “Aku akan tidurkan Alvin,” katanya singkat, lalu pergi tanpa menoleh.Clarissa menatap punggung suaminya yang menjauh, dan untuk pertama kalinya ia menyadari,keheningan bisa lebih menyakitkan daripada pertengkaran.“Pa, Mama sudah nggak sayang Alvin. Mama lebih sayang pekerjaan.”Suara Alvin pelan, tapi tajam, seperti pisau kecil yang menembus diam di ruang keluarga itu. Matanya berkaca-kaca, bibirnya
Pagi itu suasana ruang kerja Dennis terasa berbeda. Biasanya wajahnya kaku dan tegang, tapi kali ini ada senyum samar yang belum juga hilang sejak tadi. Aldo, yang memperhatikan dari sisi meja, tak bisa menahan rasa heran.“Pak, sepertinya Anda tampak bahagia hari ini?” tanyanya hati-hati, memilih nada serendah mungkin agar tak menyinggung.Dennis menghentikan ketikan di laptopnya, lalu menoleh. Tatapannya tenang, tapi ada cahaya disana, sesuatu yang sudah lama tak Aldo lihat.“Kamu tahu, Aldo,” ujarnya pelan, namun ada nada ringan dalam suaranya, “ternyata Saras bekerja di perusahaan Papa. Aku bertemu dengannya kemarin.”Senyum kecil muncul di wajah Dennis, senyum yang bukan dibuat-buat. Sekilas, lelaki itu tampak seperti dirinya yang dulu, sebelum amarah dan kekecewaan menutup semua sisi lembutnya.Aldo mengangguk pelan, setengah terkejut, setengah mengerti. “Pantas saja,” gumamnya lirih, nyaris hanya untuk dirinya sendiri.Ia menatap bosnya itu diam-diam. Dalam hati, ia tahu nama
“Saras, ayo kita ke ruangan Pak Handika. Data dan laporan yang aku minta kemarin sudah selesai dikerjakan belum?”Suara Dita terdengar tegas, tapi hangat, saat ia menutup laptop dan berdiri dari kursinya.“Sudah, Bu. Semua sudah selesai,” jawab Saras cepat, senyum tersungging di bibirnya.Sejak pertama kali melangkah ke perusahaan itu, semangat Saras seakan tak pernah padam. Setiap hari baginya adalah kesempatan baru untuk belajar dan tumbuh. Lingkungan kerja yang bersahabat, rekan-rekan yang suportif, dan atasan yang bijak membuatnya merasa dihargai lebih dari sekadar karyawan biasa.Dita dan Pak Handika, dua nama yang begitu berarti baginya. Bagi Saras, mereka bukan hanya atasan, melainkan mentor yang membentuknya menjadi pribadi yang lebih kuat, lebih percaya diri.“Benny, Pak Handika ada?” tanya Dita sambil melangkah cepat ke arah meja resepsionis. Saras menyusul di belakangnya, membawa map tebal berisi laporan.Benny, asisten sekaligus orang kepercayaan Pak Handika, segera berdir
Sampai rumah terjadi pertengkaran hebat antara Risa dan Dennis.“Jadi selama ini kamu diam-diam dekat dengan wanita itu?!” bentak Risa, matanya memerah menahan amarah, sekaligus luka yang belum sembuh.“Aku nggak dekat dengan siapa-siapa, Risa. Tapi aku memang sudah nggak bisa pura-pura baik-baik saja setelah tahu kamu menggugurkan anak kita.”Risa mengepalkan tangan. “Aku punya alasan! Kamu pikir aku bahagia hamil di tengah semua tekanan ini? Kamu sibuk dengan pekerjaan, dengan Alvin, bahkan dengan dia!” Suaranya meninggi.“Jangan lempar kesalahan ke orang lain!” bentak Dennis. “Aku sibuk karena aku berusaha menjaga keluarga kita. Tapi kamu? Kamu bahkan nggak berusaha sedikitpun jadi ibu yang baik buat Alvin!”Clarissa terdiam. Kata-kata Dennis bagai tamparan keras di wajahnya. Ia berdiri memunggungi Dennis. Bahunya naik turun menahan tangis yang semakin sulit dibendung. Sementara Dennis hanya berdiri mematung, pikirannya berkecamuk.Dennis menatap punggung wanita yang dulu begitu ia
Suara tawa anak-anak terdengar ramai di arena bermain. Althaf berlari kecil sambil tertawa, tangan mungilnya menggenggam erat boneka karakter yang baru saja ia menangkan dari mesin capit. Saras tersenyum lebar, melihat ekspresi bahagia anak semata wayangnya.Mall ini… pikirnya. Tempat yang dulu sempat membawa perasaan campur aduk. Tempat ia pernah bertemu dengan Dennis. Waktu itu hidupnya masih penuh tekanan dan luka, tapi sekarang, semuanya mulai membaik. Ia masih berjuang, iya. Tapi kali ini dengan tenang, dengan arah.“Nda, liat!” Althaf menunjuk ke arah jungkat-jungkit.“Ayo!” Saras menggandeng tangan anaknya dan berjalan ke arah permainan.Sambil mengawasi Althaf bermain, Saras duduk di bangku panjang.Tiba-tiba, suara tawa seorang anak memecah kesibukan mal sore itu.Saras menoleh dan seketika langkahnya terhenti. Alvin.Anak kecil itu sedang berlari kecil sambil membawa balon biru di tangannya. Tak jauh di belakangnya, Dennis berdiri dengan senyum hangat dan lambaian tangan yan
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments