***Anita hanya bisa memejamkan mata dengan erat melihat Cahyo yang babak belur mendapat serangan dari Bagas.Sementara di dalam mobil, Sea berkali-kali menggigit kuku guna menyalurkan rasa cemas yang dia rasakan."Apa perlu kita masuk, Cit?"Citra menggeleng tegas. "Tidak! Aku tidak mau masuk ke dalam rumah itu lagi, Sea. Kamu gila! Bagaimana kalau Bagas kalah dan kita menjadi mangsa selanjutnya?"Sea semakin panik. Ingin menghubungi Tomi tapi apa yang akan dia katakan. Dia menggigit bibir bawah dengan gelisah, berharap sosok Bagas keluar dari dalam pagar yang menjulang tinggi di depan sana."Sebenarnya siapa Anita, kenapa dia ingin menghancurkan Bagas?"Citra mengedikkan bahu. "Aku belum tau semakin dalam, Se. Sungguh, masuk ke dalam rumah itu aura jahat terasa sekali dan aku ... aku sangat takut kalau sampai ketahuan menyelinap tadi.""Tidak ... tidak! Aku harus kesana dan memastikan kalau Mas Bagas baik-baik saja!""Jangan gila kamu!""Berani kamu menolak ajakanku, maka orang tuam
***"Darimana kamu?"Sea menoleh dengan terkejut. Terlihat Gina berdiri dengan bersedekap dada melihat putrinya yang masuk ke dalam rumah dengan mengendap-endap."Eh, Bu ....""Darimana?""Anu, itu ... dari rumah teman."Gina menautkan kedua alisnya. Tidak biasa Sea pergi tanpa pamit apalagi tanpa membawa mobilnya. "Teman yang mana, kenapa nggak pamit, trus berangkat pakai apa kalau mobil kamu ada di rumah, hem?"Sea terkekeh. Dia memeluk Gina dengan erat seraya bermanja-manja dengan Ibunya yang masih nampak cantik di usia yang sudah tidak muda lagi."Kenapa sih, Bu? Ibu takut aku punya cowok?"Gina memukul lengan Sea dengan kasar. "Jawab Ibu!""Aku pergi ke rumah teman, Bu. Ibu nggak kenal, dia teman baru. Cewek, Demi Allah!"Gina luluh. Setiap kali melibatkan Tuhan dalam setiap perkataan maka dia akan selalu percaya. Sea memang benar, dia bertemu dengan rekan barunya yakni Citra, tidak ada yang salah dengan kejujurannya pada Gina saat ini."Kenapa nggak bawa mobil, kamu nggak lagi
***Bagas memarkirkan mobil di depan rumah. Dengan langkah lebar dia masuk tanpa mempersilahkan Anita untuk masuk pula padahal ada Halimah dan Vano sedang duduk berbincang di ruang tamu."Buru-buru amat, Gas, mau kemana?" selidik Halimah membuat langkah Bagas terhenti. "Eh, ini kenapa baju bisa kotor semua, kamu habis darimana?" Suara Halimah naik satu oktaf, dia menelisik wajah Bagas yang nampak begitu murung. "Berkelahi dengan siapa? Apa penyakit gelud ayahmu sekarang menurun padamu, hem?"Bagas menghela napas kasar. Dia menoleh ke arah Vano yang terlihat mengedikkan bahu karena Halimah mengatakan jika penyakit gelud yang dia miliki adalah keturunan dari Vano. "Gelud bukan penyakit, Sayang. Kita laki-laki memang dituntut untuk menjadi yang terkuat, demi keluarga ....""Jangan mencoba membela apapun saat ini, Mas! Sudah cukup kamu membahayakan Bagas waktu menyelamatkan Nenek Anita!"Bagas menoleh. Dia tidak menyangka jika Halimah mengetahui semuanya. Dia kembali menatap Vano dan la
***"Bukan maksud Ayah dan Ibu ikut campur urusan kalian. Maaf kalau kamu dan Bagas merasa seperti itu, apalagi kalian berdua memang belum menikah, mungkin tidak seharusnya Ayah masuk ke dalam masalah yang sedang kalian hadapi," tutur Vano. Dia menjeda ucapannya dan meminta Halimah untuk duduk di sebelahnya. "Tapi, setelah Bagas memutuskan untuk meminang kamu, Nit. Saat itu juga Ayah dan Ibu yakin jika kebahagiaan Bagas mungkin bersarang padamu. Sekarang kami berdua melihat kalian saling diam, dan Bagas memutuskan untuk membatalkan acara pertunangan kalian berdua. Sehebat apa masalah yang terjadi sampai Bagas dan kamu memutuskan untuk membatalkan semuanya? Ayah dan Ibu hanya ingin tau, jika memang alasan kalian bisa kami terima, lalu kami bisa apa selain menyetujui?"Anita melirik ke arah Bagas yang kini sedang menyandarkan punggungnya di sofa, sementara Vano dan Halimah terlihat seakan-akan mengintimidasi dirinya karena tidak satupun dari mereka yang melihat ke arah Bagas. Seolah sem
***"Kamu yakin dengan keputusan kamu, Gas?"Bagas bergeming. Dia memijit-mijit pelipisnya dan menyandarkan punggungnya di sofa sementara Halimah tiba-tiba menepuk lengan Sang Anak agar menjawab pertanyaan Vano."Apa, Bu?""Dengarkan apa kata Ayah!""Apalagi? Apa Ayah dan Ibu bisa memaafkan kesalahan Anita?"Vano mengulas senyum tipis. Dia tahu, Bagas pasti kecewa mengetahui calon tunangannya yang ternyata adalah kaki tangan orang lain untuk membuatnya dia dan keluarganya malu serta hancur. Tidak dipungkiri, Vano dan Halimah pun merasakan demikian tadi saat mereka mengetahui kebenarannya."Sepertinya Anita memang benar benar, Gas, kalian tidak akan bertemu jika Cahyo tidak mengutusnya menghancurkan kamu," seloroh Vano tenang. "Mungkin ini memang jalan jodoh kamu, Gas. Jangan terlalu keras memikirkannya karena bagaimanapun sekarang Anita sedang terjebak dengan hatinya sendiri.""Dan Ayah percaya saat dia mengatakan benar-benar tulus padaku saat ini dan menyesali semua perbuatannya?"Va
***Dua hari berlalu, Anita dan Bagas masih saja saling diam tanpa bertukar kabar. Keduanya memilih untuk menenangkan diri sementara kasus Cahyo sudah mulai mendapat penanganan dan berujung dengan menginapnya dia di hotel prodeo.Siang ini Anita diminta datang untuk memberikan kesaksian. Jantungnya berdegup kencang, kedua tangannya terasa begitu dingin membayangkan dia harus bertemu lagi dengan Cahyo, laki-laki yang hampir saja membuat harga dirinya rusak jika Bagas tidak segera datang.Mengingat tentang Bagas, Anita lagi-lagi mengusap air matanya dengan kasar. Hatinya kembali perih jika membayangkan betapa Bagas selama ini sudah menjadi pahlawan dalam hidupnya, bahkan dalam keadaan apapun."Besok Nenek sudah boleh pulang, sekarang Anita mau ijin pergi sebentar, Nenek nggak papa sendirian dulu?"Haryati mengangguk mantap. Dua hari belakangan dia merasa Anita seperti sedang menyembunyikan sesuatu, tapi dia tau ... jika Anita masih bungkam dan enggan cerita maka Haryati pun tidak ingin
***"Hai, Nit," sapa Ambar, wanita yang selama ini menjadi majikan Anita, yang tidak lain adalah orang tua tunggal Cahyo.Anita mengangguk sungkan seraya tersenyum kikuk. Bingung harus bereaksi bagaimana karena selama ini meskipun ucapan Ambar terlalu pedas, tapi untuk urusan gaji dia termasuk majikan yang royal."Saya sengaja datang kesini menemui kamu, polisi bilang kalau kamu hampir saja menjadi korban pelecehan Cahyo, benarkah?""Kalau saya mengatakan itu adalah kebenaran, apa Bu Ambar akan percaya?"Ambar tertawa lebar. Dia menyilangkan kaki dan bersedekap dada menatap Anita dengan pandangan meremehkan. Pandangan bagaimana selayaknya orang kaya sombong terhadap orang-orang yang mereka anggap miskin."Di ruangan ini hanya ada kita bertiga, Anita. Aku dan kamu, dan ya ... dia adalah calon ayah baru Cahyo, jadi kupastikan dia akan tutup mulut dengan semua yang akan kita bicarakan saat ini. Jadi, aku harap kamu bisa menuruti semua yang kubilang, kamu tentu tidak lupa bukan siapa yang
***"Ka-- kamu nggak marah lagi, Mas? Kamu ... kamu ....?""Sssttt, diamlah! Kita cari makan dulu, setelah jelaskan kenapa kamu tidak memberitahuku kalau pihak Kepolisian meminta kesaksianmu hari ini," tutur Bagas tegas.Anita mengangguk pasrah. Hatinya benar-benar lega mendengar Bagas yang tidak lagi menjaga jarak. Keduanya melangkah menuju sebuah Cafe yang letaknya tidak jauh dari kantor kepolisian. Sepanjang perjalanan, Bagas menggenggam jemari Anita dengan erat, meyakinkan diri sendiri bahwa wanita di sampingnya tidak akan lagi merasakan luka seperti sebelum-sebelumnya. Vano benar, tanpa Cahyo mungkin keduanya tidak akan bertemu. ***"Ternyata benar kan yang saya bilang, kamu itu murahan, Anita." Ambar berdiri di sebelah kursi yang Anita duduki. Melihat kedatangan Ambar yang tiba-tiba membuat Anita sedikit berjingkat dan seketika menunduk. Ucapan wanita paruh baya dengan tampilan glamour itu mampu membuat beberapa mata para pengunjung melirik ke arah dimana Anita dan Bagas sedang