INICIAR SESIÓNAkibat utang sang suami yang wajib dilunasi, Vania berakhir harus menjual dirinya kepada orang lain demi uang. Akan tetapi, bagaimana ceritanya jika pria yang menawar tubuhnya ... adalah sahabat baik suaminya sendiri? Dan apa yang harus Vania lakukan ... ketika pria itu menuntut lebih dibandingkan hubungan satu malam semata?
Ver más“Cepat sedikit! Dasar lelet!”
Bentakan Mas Bimo, suamiku, lagi-lagi menggelegar memenuhi rumah kecil kami. Padahal aku lamban karena baru saja selesai membantunya menyiapkan diri untuk acara reuni SMA-nya. “Aku udah siap, Mas,” ucapku pelan setelah rapi, menarik napas panjang untuk menahan hati yang bergetar sejak tadi dihantam omelan bertubi-tubi. Bimo menoleh tajam, matanya meneliti penampilanku dari atas ke bawah. Ia mendengus kasar. “Astaga, Vania! Kenapa pakai baju itu, sih? Orang-orang pasti ketawa lihat kamu kampungan kayak gitu! Bikin malu aja!” Aku menatap diriku, lalu kembali menatapnya. “Ini bajuku yang paling bagus, Mas. Aku ‘kan nggak pernah beli baju baru ….” Sekejap wajah Mas Bimo memerah. “Mulai lagi kamu nyindir-nyindir! Udah tahu aku lagi banyak masalah, masih aja kamu minta macam-macam!” bentaknya lagi. Sindiran? Minta macam-macam? Aku hanya menyatakan apa yang terjadi. Akan tetapi, takut pertengkaran ini melebar, aku pun buru-buru diam, lalu mengikuti Bimo keluar. Motor bututnya sudah menunggu di halaman. “Cepat naik! Jangan bikin kita telat. Kalau telat gara-gara kamu, aku yang malu!” Aku menurut. Duduk di jok belakang, memegang ujung jaketnya erat. Sepanjang jalan menuju rumah temannya, aku hanya bisa menunduk. Rasa minder makin menggerogoti saat mobil-mobil mewah melintas menuju lokasi reuni. Rumah besar itu akhirnya terlihat. Lampu-lampu terang membuat bangunannya tampak seperti istana. Musik riang terdengar sampai keluar pagar. Mobil-mobil mengilap berderet rapi, kontras dengan motor reyot kami yang berisik. Hatiku ciut. Ingin rasanya kabur pulang, tapi tentu saja mustahil. “Turun!” perintah Bimo dingin. Aku ikut langkahnya masuk ke dalam. Di dalam, suasana ramai. Orang-orang bersalaman, tertawa, berpelukan melepas rindu. “Selamat datang.” Suara bariton itu terdengar jelas di antara riuh obrolan. Seorang pria melangkah maju dengan tenang, posturnya tegap dalam balutan jas abu-abu yang sederhana tapi berkelas. Cara berdirinya saja sudah cukup untuk menarik perhatian, mantap, percaya diri, namun tidak berlebihan. Dia adalah Galang Pramono. Tuan rumah malam ini, sekaligus kenalan lama yang sering diceritakan Mas Bimo dengan nada iri. Entah dari latar belakangnya yang luar biasa, bisnisnya yang merajalela, juga kemampuan finansialnya yang seakan tiada tara. Di sampingnya berdiri seorang wanita bergaun merah menyala, Ratna Ayusari, istrinya yang cantik dan sama rupawannya. Dari ujung rambut hingga ujung kaki, semua yang wanita itu kenakan tampak mahal. “Bimo! Lama nggak ketemu!” Galang menyambut dengan ramah, menjabat tangan Bimo Bimo ikut tertawa. “Iya, aku sibuk banget belakangan ini, Lang. Baru sempat datang sekarang.” Kemudian, Galang beralih padaku, matanya menatapku dalam sebelum tersenyum sopan. “Vania,” panggilnya, menganggukkan kepala sebagai sapaan. Aku yang berdiri di samping membalas anggukan itu pelan, berusaha tersenyum. Di saat itu, Ratna mendekat, senyum sinis mengembang di bibirnya. Ia mencondongkan badan, berbisik cukup keras hingga terdengar orang lain. “Kamu nggak salah kostum kan, Vania? Ini acara reuni, loh. Bukan mau ke warung.” Aku kaget, lalu cepat-cepat menunduk, menahan rasa malu yang menohok. Bimo, alih-alih membelaku, justru terkekeh. “Hahaha, iya, Rat. Istriku ini emang nggak ngerti cara dandan. Sekali-kali kamu ajarin dong, biar bisa cantik dan modis juga kayak kamu!” Mendengar suamiku sendiri menghinaku selagi memuji wanita lain, tawa beberapa orang di sekitar meledak. Mereka menatapku seolah sedang melihat sesuatu yang aneh. Aku pun menggigit bibir, berusaha menahan agar air mata tidak jatuh. Sepanjang acara, Bimo tenggelam dalam euforia bersama teman-temannya. Ia terlihat bangga sekali bisa berada di tengah-tengah orang sukses, seolah-olah dia juga sudah sukses, meski aku tahu kenyataannya tidak seperti itu. Sedangkan aku? Aku duduk di pojok sendirian, memegang gelas jus yang isinya bahkan tidak kusentuh. Aku hanya ingin cepat-cepat pulang. “Eh, Van! Daripada duduk bengong sendirian di situ, mending kamu bantu-bantu sana di dapur,” suara Ratna tiba-tiba terdengar lagi. Kali ini lebih keras, membuat beberapa tamu menoleh. Aku tersentak, tapi buru-buru mengangguk. “Iya, Mbak.” Aku melangkah ke dapur, mencoba menutupi rasa maluku. Lebih baik aku menghilang dari keramaian. Lagi pula aku tidak bisa membantah Ratna. Dia dan suaminya berkali-kali menolong ekonomi keluarga kami. Di dapur, bersama dua orang pelayan, aku membantu menata piring, mengisi gelas, dan merapikan meja. Setidaknya di sini aku bisa sedikit bernapas lega. Namun, saat sibuk menuang minuman ke beberapa gelas, aku merasa ada seseorang memperhatikan. Ketika menoleh, kulihat Galang berdiri di ambang pintu. “Kenapa kamu di sini?” tanya pria itu dengan alis tertaut. “Kamu tamu, kenapa malah ikut bantu-bantu?” “Ah … itu … saya… hanya terbiasa beres-beres, Mas. Bosan juga nggak ada teman ngobrol, jadi lebih baik bantu-bantu ….” Galang berjalan mendekat. “Jangan bohong. Ratna yang suruh kamu, ‘kan?” tembaknya, membuatku tersentak dan langsung menunduk. Sangat tidak enak ketahuan berbohong. Melihatku terdiam, Galang menghela napas, lalu meraih jar berisi jus yang ada di tanganku. Setelah itu, dia menatapku dalam. “Kamu tamu, jangan kerjain kerjaan ini,” ucapnya. Namun, aku tersenyum tipis dan meraih jar itu kembali. “Saya sudah biasa, Mas ….” Pancaran matanya sedikit menggelap, sekilas, sebelum dia lanjut berkata, “Aku lihat Ratna dan teman-teman yang lain tadi agak keterlaluan ke kamu. Aku wakilin istriku minta maaf, kuharap kamu nggak ambil ucapannya ke hati.” Aku memaksakan senyum dan langsung menggeleng cepat. “Nggak apa-apa, Mas. Saya sudah kebal.” Dia menatapku lama, dalam, seolah ingin menyingkap isi hatiku. Sedikit canggung, aku jadi agak salah tingkah dan ingin buru-buru pergi. “Saya … lanjut kerja dulu, Mas,” ucapku buru-buru. Galang hanya mengangguk samar, lalu berbalik pergi. Tak lama, Ratna masuk dengan suara tajam. “Van, minuman sudah siap? Jangan bikin tamu nunggu!” Aku cepat membalas, “Iya, Mbak.” Kuletakkan beberapa gelas di atas nampan, lalu mengangkatnya hati-hati. Berat, tapi kupaksakan. Aku keluar dapur, menyusuri lorong. Musik masih berdentum, tawa bersahutan. Aku fokus menjaga nampan agar tak goyah. Tapi tiba-tiba— “Eh!” Aku terkejut saat tanpa sengaja menabrak seseorang. Nampan hampir terlepas, tapi sebuah tangan kokoh segera meraih pergelangan tanganku, menahan tubuhku agar tidak jatuh. “Kamu nggak apa-apa?” suaranya rendah, selagi tangannya menggenggamku hangat. Terkejut, aku menoleh cepat, dan mataku bertemu dengan sorot mata tegas itu, begitu dekat. Galang.POV BIMOAku mondar-mandir di ruang tamu rumah, kepalaku penuh. Mama duduk di sofa dengan wajah tegang, jemarinya sibuk memutar-mutar tasbih kecil yang sejak tadi tak lepas dari tangannya. Sejak kejadian di restoran itu, suasana rumah terasa tegang. Aku seperti sedang menunggu bom waktu yang siap meledak kapan saja.“Ini nggak bisa dibiarin, Bim.” Suara Mama akhirnya memecah hening. “Perempuan itu makin berani. Masa mau gugat cerai segala?”Aku menghela napas kasar. “Aku juga lagi mikir, Ma.”Kita sama-sama tahu, ancaman paling ampuh sekarang ini adalah bayi itu. Fajar. Tapi pasti sulit. Bayi itu masih butuh ASI. Tidak mungkin kita menariknya paksa tanpa risiko besar. Dan yang lebih menyebalkan, Vania terlihat jauh lebih siap daripada yang kukira.“Kalau pakai cara biasa, susah,” lanjut Mama, suaranya menajam. “Kamu juga jangan kelihatan lemah. Dia itu istrimu. Tanpa persetujuanmu, mana bisa cerai?”Aku mengangguk, meski di dalam dada ada kegelisahan yang sulit ditepis. Selama ini aku
POV VANIAAku tidak lagi peduli dengan apa yang terjadi antara Bimo dan ibunya di ruang private itu. Suara Bu Marni yang meninggi, atau wajah Bimo yang mungkin sedang pucat ketakutan, sama sekali tidak ingin kupikirkan lagi. Kepalaku terlalu lelah untuk menampung emosi mereka.Aku melangkah cepat menuju paviliun.Begitu pintu tertutup di belakangku, suasana langsung berubah sunyi. Ankala sedang terjaga di ranjang kecilnya, sementara suster Lani baru saja selesai membersihkan botol-botol susu Ankala.Aku mendekat, menggendong Ankala dengan hati-hati, lalu duduk di kursi sofa yang biasa aku gunakan untuk menyusui bayiku itu . Aku menyusui Ankala perlahan, sambil mengelus punggungnya.“Tenang ya, Nak,” bisikku lirih. “Mama nggak akan biarin siapa pun menyakitimu.” Aku menyusui Ankala sampai bayiku puas kekenyangan. Tak lama kemudian, Suster Lani masuk membawa perlengkapan mandi bayi. Ia memandikan Ankala dengan cekatan, penuh kehati-hatian. Setelah selesai, ia mengeringkan tubuh kecil i
POV VANIA“Mana Vania?!”Suara Ratna terdengar lantang dari pintu masuk restoran. Dari dalam ruang private yang sebagian dindingnya terbuat dari kaca, aku bisa melihat Ratna dengan jelas. Wajahnya tegang, matanya menyala penuh emosi. Untungnya, keluarga besar Bimo sedang fokus menikmati hidangan, tertawa kecil dan saling berbincang, sehingga mereka tidak mendengar suara Ratna. Hanya beberapa pelanggan yang duduk dekat pintu masuk yang sempat menoleh sekilas.Dadaku langsung berdegup kencang. Aku tidak bisa membiarkan Ratna membuat keributan di sini.Aku segera bangkit dari kursiku dan melangkah cepat keluar dari ruang private, menghampirinya sebelum suasana menjadi semakin buruk.“Mbak Ratna?” sapaku pelan. “Ada apa, Mbak?”Meski suaraku bergetar, aku berusaha terlihat setenang mungkin. Sebenarnya aku panik. Kedatangan Ratna yang tiba-tiba, dengan ekspresi seperti itu, jelas bukan pertanda baik.Ratna melotot tajam ke arahku. “Heh, Vania! Aku perlu bicara sama kamu. Empat mata.”Aku
POV VANIA“Memangnya Bimo kenapa?”Pertanyaan itu meluncur dari salah satu tamu, seorang tante berusia lima puluhan yang sejak tadi duduk di ujung meja. Suaranya terdengar santai tapi tatapannya sangat penasaran.Aku menarik napas perlahan. Tanganku refleks mengelus punggung Ankala yang masih terlelap di gendonganku. Jantungku berdetak lebih kencang. Aku tahu, kalimatku barusan pasti akan membuat Bimo dan mamanya ketakutan.“VANIA!” Bu Marni memekik lantang. Matanya melotot, wajahnya merah padam. “Kamu jangan coba-coba jelek-jelekan suami kamu di depan orang-orang! Istri macam apa sih kamu ini!”Suaranya penuh amarah, tapi aku bisa menangkap sesuatu yang lain di sana, ketakutan. Bu Marni jelas panik. Dia tahu, kalau aku mulai bicara, semua cerita versinya tentang aku akan runtuh.Aku menatapnya datar. Dadaku memang panas, tapi anehnya kepalaku justru terasa jernih. Mungkin karena terlalu lama ditekan, akhirnya aku kebal.Belum sempat aku menjawab, pintu ruang private terbuka.“Sudah-
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
reseñas