Retak Janji Pernikahan

Retak Janji Pernikahan

last updateTerakhir Diperbarui : 2025-09-30
Oleh:  Rina NovitaBaru saja diperbarui
Bahasa: Bahasa_indonesia
goodnovel16goodnovel
Belum ada penilaian
6Bab
5Dibaca
Baca
Tambahkan

Share:  

Lapor
Ringkasan
Katalog
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi

Karena hutang suaminya yang menumpuk, Vania terpaksa tidur dengan pria lain yang telah beristri. Namun, malam panas itu justru berujung dengan cinta dan rindu yang tak kunjung usai.

Lihat lebih banyak

Bab 1

Bab 1. Reuni SMA

“Cepat sedikit! Dasar lelet!”

Bentakan Mas Bimo, suamiku, lagi-lagi menggelegar memenuhi rumah kecil kami. Padahal aku lamban karena baru saja selesai membantunya menyiapkan diri untuk acara reuni SMA-nya.

“Aku udah siap, Mas,” ucapku pelan setelah rapi, menarik napas panjang untuk menahan hati yang bergetar sejak tadi dihantam omelan bertubi-tubi.

Bimo menoleh tajam, matanya meneliti penampilanku dari atas ke bawah. Ia mendengus kasar. “Astaga, Vania! Kenapa pakai baju itu, sih? Orang-orang pasti ketawa lihat kamu kampungan kayak gitu! Bikin malu aja!”

Aku menatap diriku, lalu kembali menatapnya. “Ini bajuku yang paling bagus, Mas. Aku ‘kan nggak pernah beli baju baru ….”

Sekejap wajah Mas Bimo memerah. “Mulai lagi kamu nyindir-nyindir! Udah tahu aku lagi banyak masalah, masih aja kamu minta macam-macam!” bentaknya lagi.

Sindiran? Minta macam-macam? Aku hanya menyatakan apa yang terjadi.

Akan tetapi, takut pertengkaran ini melebar, aku pun buru-buru diam, lalu mengikuti Bimo keluar. Motor bututnya sudah menunggu di halaman.

“Cepat naik! Jangan bikin kita telat. Kalau telat gara-gara kamu, aku yang malu!”

Aku menurut. Duduk di jok belakang, memegang ujung jaketnya erat.

Sepanjang jalan menuju rumah temannya, aku hanya bisa menunduk. Rasa minder makin menggerogoti saat mobil-mobil mewah melintas menuju lokasi reuni.

Rumah besar itu akhirnya terlihat. Lampu-lampu terang membuat bangunannya tampak seperti istana. Musik riang terdengar sampai keluar pagar. Mobil-mobil mengilap berderet rapi, kontras dengan motor reyot kami yang berisik.

Hatiku ciut. Ingin rasanya kabur pulang, tapi tentu saja mustahil.

“Turun!” perintah Bimo dingin.

Aku ikut langkahnya masuk ke dalam.

Di dalam, suasana ramai. Orang-orang bersalaman, tertawa, berpelukan melepas rindu.

“Selamat datang.”

Suara bariton itu terdengar jelas di antara riuh obrolan. Seorang pria melangkah maju dengan tenang, posturnya tegap dalam balutan jas abu-abu yang sederhana tapi berkelas. Cara berdirinya saja sudah cukup untuk menarik perhatian, mantap, percaya diri, namun tidak berlebihan.

Dia adalah Galang Pramono. Tuan rumah malam ini, sekaligus kenalan lama yang sering diceritakan Mas Bimo dengan nada iri. Entah dari latar belakangnya yang luar biasa, bisnisnya yang merajalela, juga kemampuan finansialnya yang seakan tiada tara.

Di sampingnya berdiri seorang wanita bergaun merah menyala, Ratna Ayusari, istrinya yang cantik dan sama rupawannya. Dari ujung rambut hingga ujung kaki, semua yang wanita itu kenakan tampak mahal.

“Bimo! Lama nggak ketemu!” Galang menyambut dengan ramah, menjabat tangan Bimo

Bimo ikut tertawa. “Iya, aku sibuk banget belakangan ini, Lang. Baru sempat datang sekarang.”

Kemudian, Galang beralih padaku, matanya menatapku dalam sebelum tersenyum sopan.

“Vania,” panggilnya, menganggukkan kepala sebagai sapaan.

Aku yang berdiri di samping membalas anggukan itu pelan, berusaha tersenyum.

Di saat itu, Ratna mendekat, senyum sinis mengembang di bibirnya. Ia mencondongkan badan, berbisik cukup keras hingga terdengar orang lain.

“Kamu nggak salah kostum kan, Vania? Ini acara reuni, loh. Bukan mau ke warung.”

Aku kaget, lalu cepat-cepat menunduk, menahan rasa malu yang menohok.

Bimo, alih-alih membelaku, justru terkekeh. “Hahaha, iya, Rat. Istriku ini emang nggak ngerti cara dandan. Sekali-kali kamu ajarin dong, biar bisa cantik dan modis juga kayak kamu!”

Mendengar suamiku sendiri menghinaku selagi memuji wanita lain, tawa beberapa orang di sekitar meledak. Mereka menatapku seolah sedang melihat sesuatu yang aneh. Aku pun menggigit bibir, berusaha menahan agar air mata tidak jatuh.

Sepanjang acara, Bimo tenggelam dalam euforia bersama teman-temannya. Ia terlihat bangga sekali bisa berada di tengah-tengah orang sukses, seolah-olah dia juga sudah sukses, meski aku tahu kenyataannya tidak seperti itu.

Sedangkan aku? Aku duduk di pojok sendirian, memegang gelas jus yang isinya bahkan tidak kusentuh. Aku hanya ingin cepat-cepat pulang.

“Eh, Van! Daripada duduk bengong sendirian di situ, mending kamu bantu-bantu sana di dapur,” suara Ratna tiba-tiba terdengar lagi. Kali ini lebih keras, membuat beberapa tamu menoleh.

Aku tersentak, tapi buru-buru mengangguk.

“Iya, Mbak.”

Aku melangkah ke dapur, mencoba menutupi rasa maluku. Lebih baik aku menghilang dari keramaian. Lagi pula aku tidak bisa membantah Ratna. Dia dan suaminya berkali-kali menolong ekonomi keluarga kami.

Di dapur, bersama dua orang pelayan, aku membantu menata piring, mengisi gelas, dan merapikan meja. Setidaknya di sini aku bisa sedikit bernapas lega. Namun, saat sibuk menuang minuman ke beberapa gelas, aku merasa ada seseorang memperhatikan. Ketika menoleh, kulihat Galang berdiri di ambang pintu.

“Kenapa kamu di sini?” tanya pria itu dengan alis tertaut. “Kamu tamu, kenapa malah ikut bantu-bantu?”

“Ah … itu … saya… hanya terbiasa beres-beres, Mas. Bosan juga nggak ada teman ngobrol, jadi lebih baik bantu-bantu ….”

Galang berjalan mendekat. “Jangan bohong. Ratna yang suruh kamu, ‘kan?” tembaknya, membuatku tersentak dan langsung menunduk. Sangat tidak enak ketahuan berbohong.

Melihatku terdiam, Galang menghela napas, lalu meraih jar berisi jus yang ada di tanganku. Setelah itu, dia menatapku dalam.

“Kamu tamu, jangan kerjain kerjaan ini,” ucapnya.

Namun, aku tersenyum tipis dan meraih jar itu kembali. “Saya sudah biasa, Mas ….”

Pancaran matanya sedikit menggelap, sekilas, sebelum dia lanjut berkata, “Aku lihat Ratna dan teman-teman yang lain tadi agak keterlaluan ke kamu. Aku wakilin istriku minta maaf, kuharap kamu nggak ambil ucapannya ke hati.”

Aku memaksakan senyum dan langsung menggeleng cepat. “Nggak apa-apa, Mas. Saya sudah kebal.”

Dia menatapku lama, dalam, seolah ingin menyingkap isi hatiku. Sedikit canggung, aku jadi agak salah tingkah dan ingin buru-buru pergi.

“Saya … lanjut kerja dulu, Mas,” ucapku buru-buru.

Galang hanya mengangguk samar, lalu berbalik pergi.

Tak lama, Ratna masuk dengan suara tajam. “Van, minuman sudah siap? Jangan bikin tamu nunggu!”

Aku cepat membalas, “Iya, Mbak.”

Kuletakkan beberapa gelas di atas nampan, lalu mengangkatnya hati-hati. Berat, tapi kupaksakan.

Aku keluar dapur, menyusuri lorong. Musik masih berdentum, tawa bersahutan. Aku fokus menjaga nampan agar tak goyah.

Tapi tiba-tiba—

“Eh!” Aku terkejut saat tanpa sengaja menabrak seseorang. Nampan hampir terlepas, tapi sebuah tangan kokoh segera meraih pergelangan tanganku, menahan tubuhku agar tidak jatuh.

“Kamu nggak apa-apa?” suaranya rendah, selagi tangannya menggenggamku hangat.

Terkejut, aku menoleh cepat, dan mataku bertemu dengan sorot mata tegas itu, begitu dekat.

Galang.

Tampilkan Lebih Banyak
Bab Selanjutnya
Unduh

Bab terbaru

Bab Lainnya

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Komen

Tidak ada komentar
6 Bab
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status