"Aku akan turun jika kamu membahas perihal perasaan, Mas." Gina mengancam sengit. Bukan tanpa alasan, dia tidak ingin Kusaini merasa bahwa dirinya masih memiliki perasaan yang sama. Padahal sejatinya rasa cinta untuk Tomi belum juga sirna.
Kusaini meraup udara dengan rakus. Dia tau jika perasaannya mungkin tidak berbalas. Tapi tetap saja, mendapat penolakan dari mantan istri membuat lidahnya mendadak kelu.
"Berhenti di jejeran ruko depan," pinta Gina.
Tanpa menjawab sepatah katapun, laki-laki itu menghentikan motornya tepat di depan sebuah bengkel yang lumayan besar dengan nama Tom Reparasi.
"Tutup, Gin. Apa mungkin Mas Tomi libur ya?"
Gina mengedikkan bahu. Dia membuka ponsel berharap ada pesan masuk dari Tomi. Tapi nihil. Nomor Tomi bahkan terakhir dilihat beberapa hari yang lalu.
"Susah sekali mencari orang di kota besar," gumam K"Tamu siapa, Hal?"Tomi keluar dari dalam kamar membuat Kusaini tersentak dan kembali menguasai dirinya. Bagaimanapun, Gina sudah bukan bagian dari hidupnya, tidak etis rasanya jika dia begitu mengulik urusan pribadi mantan istrinya itu."Mas ...," sapa Kusaini seraya berdiri dan menjabat tangan Tomi. Laki-laki itu menepuk pundak Kusaini dan bertanya, "Aku kaget banget kamu bisa sampai disini, Kus. Bagaimana kabar Hesti?"Kusaini mengulas senyuman tipis. Lagi-- dia mengucapkan rasa terima kasih pada keluarga Halimah untuk yang kesekian kalinya."Tidak masalah, Kus. Lagi pula Ki Kusumo sudah tertangkap. Insya Allah kita sekarang hidup dengan tenang," tutur Tomi, "Ngomong-ngomong bagaimana kamu tau rumah kami?"Kusaini menyingkir dari hadapan Tomi, membuat laki-laki itu seketika menyadari jika Kusaini tidak datang sendirian. Ada Gina sedang duduk di salah
Halimah tersentak mendengar bentakan Vano. Kedua mata wanita itu berkelindan air mata saat suaminya melayangkan tatapan tajam."Mas ... kamu membentakku?""Lalu apa Mas akan membiarkan kamu berbicara tidak sopan pada Mas Tomi, begitu?" Halimah melengos. "Kamu istriku, Hal. Jika kamu salah sudah sepantasnya Mas mengingatkan.""Tapi Mas Tomi ....""Berkali-kali aku bilang jangan mencampuri urusan hati Mas Tomi, apalagi kamu sampai mengungkit-ungkit apa yang sudah kita berikan. Sebagai adik kamu tidak pantas berbuat seperti itu, Halimah!"Halimah menunduk lesu. Dia berjalan gontai mendekati Leha dan memeluk Ibunya dengan erat, "Aku hanya tidak mau Mas Tomi gagal untuk yang kedua kalinya, Bu. Apa aku salah, Bu?"Leha membawa anak perempuannya duduk di atas sofa sementara Karim menepuk pundak Tomi dan berkata, "Duduklah. Kalian sesama saudara jangan sering bertikai. Selesaikan masalah yang kalian
"Boleh Mas tau dimana kamu sekarang tinggal, Gin?""Tidak perlu. Mas bilang saja mau turun dimana, nanti biar aku antar. Lagipula sebentar lagi aku ada urusan," sahut Gina ketus. "Aku tidak mau orang-orang mengira kita ada hubungan, Mas ....""Kamu takut jika Tomi mengira kita akan rujuk?"Gina terdiam. Dia melengos saat menyadari Kusaini mampu membaca hatinya saat ini. "Jangan ikut campur urusanku, Mas. Katakan saja kamu akan turun dimana?"Kusaini seketika menghentikan motornya tepat di tepi jalan tempat dimana orang-orang sedang menunggu angkot. Suasana cukup sepi membuat Kusaini dengan tanpa ragu mencekal pergelangan tangan mantan istrinya."Lepas, Mas!" teriak Gina. "Jangan berani menyentuhku hanya karena aku sudah membantumu! Kita bukan mahram!"Bukannya takut melihat tatapan mata Gina, Kusaini justru menyeringai dan mencekal dagu wanita di depannya. "Apa sekarang Ginaku sudah ber
***Sementara di tempat lain ...."Mas Tomi akan kembali pulang ke kampung, Bu," ujar Astri. "Apa aku dan Tirta datang saja ke rumah Bu Leha. Siapa tau dia mencari kami.""Untuk apa lagi, As? Dia bukan suamimu, Tirta juga bukan anaknya. Jadi jangan merasa kalau kalian berdua itu orang-orang penting dalam hidup Tomi," sahut Ibunya tegas. "Cobalah untuk membuka hati. Biarkan Tomi bahagia dengan hidupnya saat ini. Jika memang dia menaruh iba pada Tirta, itu hanya sekedar iba pada anak kecil, bukan pada darah dagingnya sendiri."Air mata Astri menggenang di pelupuk mata. Teringat masa-masa dimana hidup tanpa kekurangan karena Tomi cukup bertanggung jawab selama menjadi seorang suami. Belum lagi saat dirinya kekeuh ingin menguasai uang kiriman Halimah dulu, Tomi selalu mengalah dengan keinginan Astri meskipun tau Bapak dan Ibunya pun serba kekurangan."Tapi siapa tau Mas Tomi ....""Cukup, Astri. Cukup!
***"Mau kemana, Mas?" Vano mencegat Tomi di depan pintu kamar saat dia melihat betapa terburu-buru Tomi dalam melangkah."Aku harus pergi, Van.""Kemana? Apa ada masalah?"Mendengar Kakak dan suaminya berbicara, Halimah keluar dari dalam kamar dan menimpali, "Ada apa, Mas?""Entahlah. Mas Tomi sepertinya terburu-buru.""Aku ... aku minta maaf, Mas. Tapi jangan pergi dari sini ...."Tomi mendesah kuat. Dia mengusap pucuk kepala adik perempuannya dengan lembut. Bagaimanapun seorang kakak laki-laki tidak bisa menyakiti wanita di dalam keluarganya, baik Ibu maupun Halimah. Tomi begitu mencintai keduanya hingga mengesampingkan luka yang sejenak dia rasakan tadi."Mas sudah memaafkan kamu, Hal. Mana ada seorang kakak yang bisa marah pada adik sebaik kamu?"Mata Halimah berkaca-kaca. Dia memeluk Tomi dengan erat selayaknya seorang adik kecil yang sedang merajuk. Mel
***Halimah terlihat gugup. "Maksudku, jangan mencoba menghubungi nomor Mbak Gina. Kita tidak tau apa yang sedang dia rencanakan, bukan? Bagaimana jika Mas Kus tau kalau Mbak Gina sudah menghubungi Mas Tomi sebelumnya dan dia memutar rencana?"Tomi berdecak kesal. Apa yang Halimah katakan memang benar. Tapi menunggu sampai ke Jalan Ganggang dan menanti panggilan dari Gina sepertinya bukan pilihan yang benar."Tapi Mas sudah nggak sabar, Hal ....""Tenangkan dirimu, Tom!" tegur Karim tegas. "Jagan gegabah dalam mengambil tindakan atau apa yang kamu lakukan hanya akan merugikan orang lain.""Pak ... bagaimana jika Gina sudah ....""Buang pikiran buruk! Berdoa saja semoga Gina bisa menyelamatkan diri sebelum kita sampai disana."Mendengar Karim yang berbicara dengan tegas membuat Tomi seketika mengangguk patuh. Halimah menggenggam jemari Ibunya dengan perasaan takut. Tidak ada yang tau ap
***Halimah tersentak mendapat bentakan dari Vano. Melihat kedua mertuanya yang sejak tadi diam, seketika Vano meredam emosinya dan memilih untuk ikut diam sementara Tomi berkali-kali mencoba memanggil nomor Gina. Sudah banya dering yang dia dengarkan, tapi panggilannya tidak kunjung mendapat jawaban."Apa aku salah lagi, Mas?" tanya Halimah parau. "Mbak Gina sudah keterlaluan. Dan kalian masih saja membelanya?"Mereka tidak ada yang menjawab, sampai semuanya masuk ke dalam mobil, Vano mulai mencecar istrinya meskipun dengan nada lembut, tetap saja bagi Halimah terasa menyakitkan."Apa Mas pernah mengajarimu mengumpat, Dek?""Kamu secara tidak langsung sudah membuat harga diri Mas hancur. Di depan Bapak dan Ibu kamu berani berkata yang tidak pantas. Apa kamu tidak berpikir bagaimana pandangan orang lain kepadamu? Tidakkah mereka akan menganggap aku sebagai suami yang tidak becus mengurus dan membimbing istri?"
***"Ahahaha ... Iya, Mas. Ini Kusaini, kebetulan Gina sedang sama saya. Kami sedang ... emh ... ya begitulah, Mas," papar Kusaini malu-malu.Wajah Tomi memerah. Kini dia memahami apa yang sedang Halimah khawatirkan. Ternyata Gina memang bukan wanita baik-baik."Bisa aku bicara dengan Gina, Kus?""Aduh, maaf sekali Mas Tomi. Dia sedang tidur, sepertinya lelah sekali karena maklum saja ini adalah pertemuan pertama kita setelah berpisah hampir satu tahun."Suasana di dalam mobil mendadak panas dan hening. Halimah melengos saat melihat rahang Tomi mengatup keras. Kebencian yang hampir saja menguap, kini memanas lagi setelah Kusaini menelpon kakaknya."Maaf karena Gina mengirim pesan seperti tadi, Mas. Dia iseng saja, sebenarnya saya juga tidak enak mengatakan ini ...."Mereka saling berpandangan. Kebetulan Tomi memang tengah meloud speaker panggilannya kali ini."Tida