MENCINTAIMU ADALAH RASA SAKIT

MENCINTAIMU ADALAH RASA SAKIT

last updateLast Updated : 2025-09-30
By:  Mumun0409Updated just now
Language: Bahasa_indonesia
goodnovel18goodnovel
Not enough ratings
18Chapters
10views
Read
Add to library

Share:  

Report
Overview
Catalog
SCAN CODE TO READ ON APP

Alya hanya ingin hidup sederhana—mengelola toko buku kecil peninggalan ayahnya, menikmati kesunyian, dan perlahan melupakan masa lalunya. Namun semua itu buyar ketika Raka, mantan kekasih yang dulu ia tinggalkan, kembali muncul. Raka bukan sekadar mantan biasa. Ia adalah luka, kenangan pahit, sekaligus bayangan yang tak pernah rela melepaskan. Obsesi Raka pada Alya berubah menjadi bayangan kelam yang mengintai setiap langkahnya. Di saat yang sama, hadir Ardi, sahabat lama yang kini kembali ke kehidupannya. Kehangatan dan ketulusan Ardi menjadi sandaran Alya, membuatnya perlahan berani membuka hati. Tapi semakin ia mencoba bangkit, semakin kuat pula jerat yang Raka pasang. Cinta bagi Alya seharusnya indah, tapi mengapa justru terasa seperti rasa sakit yang terus membekas? Apakah ia bisa benar-benar bebas dari bayangan masa lalu? Dan beranikah ia memperjuangkan cinta yang tak menyakitkan bersama seseorang yang dengan sabar menunggunya? Mencintaimu Adalah Rasa Sakit adalah kisah tentang luka, obsesi, dan keberanian untuk menemukan cinta yang sehat. Sebuah drama kehidupan sehari-hari yang penuh air mata, ketakutan, sekaligus harapan baru. ---

View More

Chapter 1

Senyum Yang Menyakitkan

Hujan deras mengguyur kota sore itu, seakan langit sedang menumpahkan segala resahnya ke bumi. Butir-butir air menetes deras di kaca jendela sebuah kafe kecil, meninggalkan jejak yang seakan berlomba turun ke bawah. Kafe itu tak terlalu ramai, hanya ada beberapa meja terisi oleh orang-orang yang sibuk dengan laptop, secangkir kopi, atau sekadar menatap keluar jendela, menunggu hujan reda.

Di sudut dekat jendela, seorang gadis duduk sendiri. Wajahnya teduh, rambut hitam panjangnya dibiarkan terurai, sedikit lembap karena sisa hujan yang menempel. Jemarinya menggenggam ponsel, sesekali menekan layar, lalu berhenti, lalu menunggu. Ia menunggu pesan yang sudah pasti ia tahu akan datang, tapi entah kenapa tetap saja membuat jantungnya berdegup tak karuan.

Namanya Alya. Seorang perempuan yang mungkin bagi banyak orang terlihat biasa, tapi di balik tatapan matanya tersimpan lautan perasaan yang tak pernah ia tunjukkan pada siapa pun. Baginya, cinta bukan sesuatu yang harus diumbar ke dunia. Cinta adalah tentang menjaga, menyimpan, dan mengorbankan.

Ponselnya bergetar. Notifikasi muncul. Jantung Alya seakan ikut bergetar membaca nama yang muncul di layar.

“Aku di depan, tunggu ya.”

Alya tersenyum kecil. Senyum itu hadir begitu saja, tanpa bisa ia cegah. Senyum yang bahkan bisa muncul hanya dengan membaca pesan singkat dari orang yang selalu ia nanti.

Raka.

Sosok lelaki yang sudah lama mengisi hidupnya, entah disadari atau tidak. Mereka tumbuh bersama, dari masa kecil penuh tawa sampai kini sama-sama beranjak dewasa. Tapi waktu mengajarkan Alya satu hal: kedekatan tak selalu berarti kebersamaan.

Pintu kafe terbuka, dan dari balik tirai hujan, seorang lelaki masuk dengan langkah cepat. Jaket hitamnya basah oleh hujan, rambutnya sedikit berantakan, tapi senyum itu—senyum yang selalu Alya tunggu—muncul jelas di wajahnya.

“Maaf ya, lama?” suara Raka terdengar serak, tapi tetap hangat.

Alya buru-buru menggeleng, menyembunyikan fakta bahwa ia sudah menunggu hampir satu jam. “Enggak kok, aku juga baru datang.”

Raka tertawa kecil, menaruh tasnya di kursi, lalu duduk di hadapannya. Ia mengibaskan rambutnya sedikit, lalu melirik ke arah Alya dengan tatapan yang selalu membuat hati gadis itu bergetar.

“Masih suka nungguin aku sambil pesen air putih aja?” goda Raka sambil menunjuk gelas bening di hadapan Alya.

Alya tersenyum tipis. “Aku nggak terlalu suka kopi. Lagian kan aku tahu kamu pasti pesan sesuatu yang bisa aku icip juga.”

Raka tertawa lepas, membuat suasana seakan langsung menghangat.

Bagi Alya, kebersamaan seperti ini sudah cukup. Duduk berdua, berbincang ringan, dan melihat senyum Raka dari dekat. Meski hatinya sering kali berbisik, ‘Seandainya aku bisa lebih dari sekadar teman…’

Obrolan mereka mengalir seperti biasa. Tentang pekerjaan Raka di kantornya, tentang bosnya yang cerewet, tentang tugas-tugas kecil yang sering membuatnya lembur. Alya mendengarkan dengan penuh perhatian, sesekali tertawa, sesekali mengangguk. Ia suka mendengar cerita Raka, bahkan hal-hal kecil yang bagi orang lain mungkin membosankan, bagi Alya justru berharga.

Sampai akhirnya, percakapan itu berbelok.

“Ly, aku mau cerita sesuatu,” kata Raka, kali ini suaranya terdengar lebih serius.

Alya menegakkan tubuhnya, mencoba menyiapkan hati untuk apa pun yang akan ia dengar. “Apa?” tanyanya, dengan nada selembut mungkin.

Raka menatap meja sebentar, lalu menghela napas. “Aku… aku mau melamar Dinda bulan depan.”

Detik itu juga, dunia Alya seakan berhenti. Kata-kata itu menusuk telinganya, menembus dadanya, dan menghantam hatinya tanpa ampun.

Dinda. Nama yang sudah sering ia dengar. Gadis cantik yang selalu ada di sekitar Raka sejak dua tahun terakhir. Alya tahu betul bahwa Raka menyukai Dinda, tapi selama ini ia masih berharap—berharap bahwa suatu hari, mungkin, perasaan itu akan berubah.

Senyum di wajah Alya menegang. Ia berusaha keras agar matanya tidak menunjukkan gejolak di hatinya. ‘Jangan nangis. Jangan sekarang. Jangan di depannya,’ batinnya berteriak.

“Tentu, Rak,” ucap Alya, suaranya sedikit serak. “Aku selalu doain yang terbaik buat kamu.”

Raka tersenyum lega, matanya berbinar penuh kebahagiaan. Ia tak menyadari badai yang sedang berkecamuk di hati gadis di depannya.

“Thanks, Ly. Kamu selalu orang pertama yang aku pengen cerita. Kamu tahu kan, kamu penting buat aku,” kata Raka tulus.

Kalimat itu, bagi Raka mungkin hanya sekadar ucapan jujur. Tapi bagi Alya, kata “penting” itu seperti pisau bermata dua. Ia bahagia, tapi sekaligus hancur. Penting… tapi bukan berarti dicintai. Penting… tapi bukan berarti dipilih.

Alya tersenyum lagi, meski hatinya retak sedikit demi sedikit. “Aku seneng kok, Rak. Beneran.”

Dan sepanjang percakapan setelah itu, Alya hanya mendengar setengah hati. Ia melihat bibir Raka bergerak, mendengar suaranya bercerita tentang rencana pernikahan, tentang cincin, tentang restu keluarga. Tapi pikirannya sibuk menahan tangis.

Hujan di luar masih deras. Seakan langit sedang menangis bersama dirinya.

Langit malam menyisakan rintik hujan ketika Alya melangkah keluar dari kafe. Udara lembap menusuk kulitnya, aroma tanah basah bercampur dengan sisa-sisa kopi yang masih menempel di inderanya. Ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan dada yang terasa sesak.

Raka berjalan di sampingnya, memayungi dengan payung hitam besar yang selalu ia bawa di motor. Lelaki itu masih tersenyum, matanya berbinar seakan dunia sedang baik-baik saja.

“Pulang bareng aku aja ya,” katanya ringan.

Alya ingin menolak, ingin berkata kalau ia bisa pulang sendiri, kalau ia butuh waktu sendirian untuk mengurai benang kusut di hatinya. Tapi bibirnya seperti terkunci. Ia hanya mengangguk, membiarkan Raka membawanya.

Perjalanan di motor terasa lebih panjang dari biasanya. Bukan karena jalanan macet, melainkan karena Alya sibuk menahan diri. Angin malam menusuk wajahnya, tetes hujan sesekali menerpa, tapi semua itu tak lebih perih dibandingkan rasa yang menghantam dadanya.

Ia duduk di belakang, memeluk tasnya erat-erat. Tangannya ingin sekali meraih pinggang Raka, seperti dulu sering ia lakukan saat masih remaja. Tapi kali ini, ia tahan. Ia sadar, rasa itu tak boleh lagi ia pelihara terlalu dekat.

Sampai akhirnya, motor berhenti di depan rumah sederhana milik Alya.

“Thanks, Rak,” ucap Alya singkat. Ia berusaha menampilkan senyum, meski wajahnya hampir retak menahannya.

Raka balas tersenyum. “Kamu hati-hati ya. Jangan lupa makan. Jangan terlalu sering begadang.”

Pesan itu sederhana. Kalimat yang sudah sering Raka ucapkan sejak dulu. Tapi di telinga Alya, kata-kata itu justru seperti cambuk. Kenapa kamu selalu begitu perhatian, kalau akhirnya kamu nggak milih aku?

Alya hanya mengangguk, lalu melangkah masuk ke rumah. Baru setelah pintu tertutup rapat, ia biarkan tubuhnya jatuh bersandar di baliknya. Air mata yang sejak tadi ia tahan, akhirnya jatuh deras.

Tangisnya pecah.

“Aku capek, Rak…” bisiknya di antara isak. “Kenapa harus kamu? Kenapa aku jatuh ke orang yang nggak pernah lihat aku lebih dari teman?”

-----

Kamar Alya terasa begitu hening malam itu. Hanya suara jarum jam yang terdengar, berdetak seakan mengejeknya. Ia duduk di tepi ranjang, menatap layar ponsel yang masih menampilkan pesan terakhir dari Raka. Pesan sederhana, tapi lagi-lagi membuat hatinya tak tenang.

“Thanks ya udah mau ketemu. Aku seneng bisa cerita ke kamu duluan. Kamu emang beda, Ly.”

“Beda…” Alya mengulang kata itu lirih.

Ya, ia memang beda. Raka selalu melihatnya sebagai tempat pulang, sebagai pendengar yang baik, sebagai orang yang selalu ada ketika ia butuh. Tapi tidak pernah lebih. Tidak pernah sebagai seseorang yang pantas ia perjuangkan.

Air mata kembali jatuh.

Alya menggenggam bantalnya erat, membenamkan wajahnya ke sana. Ia ingin berteriak, ingin meluapkan semua yang ia simpan. Tapi yang keluar hanya isakan kecil, teredam oleh kain.

Dalam kepalanya, bayangan Raka terus berputar. Senyumnya, tawanya, cara ia menatap dengan mata yang hangat. Semua itu seperti hantu yang menghantui malamnya.

“Kenapa aku nggak bisa benci kamu?” tanya Alya pada dirinya sendiri. “Padahal jelas-jelas kamu bikin aku sakit.”

-----

Hari-hari berikutnya pun berjalan dengan rasa yang sama. Alya tetap beraktivitas seperti biasa—bekerja di sebuah toko buku kecil yang ia kelola bersama temannya, menyusun rak, melayani pembeli, mencatat stok barang. Dari luar, semua terlihat normal.

Tapi setiap kali ponselnya bergetar dengan nama “Raka” muncul di layar, hatinya kembali kacau.

Raka masih sering menghubunginya. Masih bercerita banyak hal. Tentang pekerjaannya, tentang keluarganya, bahkan tentang persiapan melamar Dinda. Alya hanya bisa mendengarkan, memberi saran, tersenyum di antara kalimat-kalimat singkatnya.

Di setiap percakapan itu, ada dua versi Alya.

Yang pertama, Alya yang didengar Raka—teman yang perhatian, yang selalu mendukung.

Yang kedua, Alya yang berteriak dalam hati—seorang perempuan yang hancur perlahan karena harus pura-pura kuat.

Suatu malam, Raka menelponnya. Suaranya terdengar ceria.

“Ly, aku pengen tanya deh. Menurut kamu, cincin tunangan itu mending yang simpel tapi elegan, atau yang agak rame biar keliatan mewah?”

Alya menutup mata, mencoba menahan gejolak. Kenapa kamu tanya aku? Kenapa bukan Dinda?

Ia menarik napas panjang, lalu menjawab dengan suara bergetar yang ia sembunyikan sebaik mungkin. “Kalau aku sih lebih suka yang simpel, Rak. Elegan itu nggak pernah salah. Nggak usah terlalu rame, nanti malah keliatan norak.”

Raka tertawa. “Haha, iya ya. Kamu emang selalu punya cara mikir yang beda. Thanks ya, Ly.”

Percakapan berlanjut, tapi Alya hampir tak bisa lagi mendengar dengan jelas. Pikirannya dipenuhi luka.

Setelah telepon berakhir, Alya membiarkan dirinya jatuh di ranjang. Ia menatap langit-langit kamar, air mata mengalir begitu saja.

Ia merasa seperti boneka—dibelikan rasa perhatian, tapi tidak diberi tempat di hati.

------

Di suatu sore, Alya berjalan pulang sendirian dari toko buku. Jalanan kota mulai padat, lampu-lampu jalan mulai menyala. Ia berhenti di sebuah taman kecil, duduk di bangku sambil menatap anak-anak kecil yang berlarian.

Tiba-tiba, ponselnya berbunyi. Pesan dari Raka.

“Ly, aku jadi pengen ketemu lagi minggu depan. Mau sekalian nunjukin cincin yang aku pilih. Kamu pasti suka deh liatnya.”

Alya menatap layar itu lama sekali. Rasanya ingin ia buang ponsel itu jauh-jauh. Tapi di saat yang sama, ada bagian kecil dari hatinya yang tetap berdebar, hanya karena ia masih diajak untuk melihat sesuatu yang begitu penting bagi Raka.

Ia menutup mata, mengusap wajahnya pelan.

“Apa aku harus berhenti? Apa aku harus menjauh dari kamu, Rak? Tapi… gimana caranya? Aku bahkan nggak bisa bayangin hidup aku tanpa kamu.”

Hatinya seakan terbelah dua. Satu sisi ingin melepaskan, sisi lain masih menggenggam erat.

Dan di senja itu, Alya hanya bisa duduk termenung.

Sambil menatap langit yang mulai gelap, ia sadar: mencintai Raka bukan lagi sekadar rasa. Ia sudah menjadi luka yang hidup dalam dirinya. Luka yang ia peluk erat, entah sampai kapan.

Expand
Next Chapter
Download

Latest chapter

More Chapters

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Comments

No Comments
18 Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status