Drrt... Drrt...Dering ponsel berbunyi saat mata Renita sudah hampir terpejam. Malas sekali rasanya untuk membuka mata Iagi. Namun, suara getaran yang terus menerus membuat Renita akhirnya terpaksa bangun dari tidurnya.“Halo...” Ucap Reni dengan suara serak saat panggilan terhubung.[Halo, Ma. Tolong Dio, Ma! Tolongg!!]Di seberang telepon, terdengar suara panik dari Dio, membuat Renita seketika membuka matanya dengan lebar.“Halo Dio. Kamu kenapa, Nak?” Tanya Renita panik.Renita langsung duduk di tepi ranjang, ia menajamkan telinga untuk mendengarkan cerita putranya.“Halo, ada apa Dio? Kamu kalau cerita yang jelas!” Tanya Renita lagi, mendesak.[Ma, Papa sakit, Ma. Bantuin Dio urus untuk Papa dong, Ma. Dio gak bisa nih ngurusin Papa dua puluh empat jam, Dio kan harus kuliah, Ma]“A-Apa?! Jadi Papa kamu selama ini tinggal sama kamu?” Tanya Renita terkejut.[Iya, Ma. Udah tiga hari Papa sakit, Ma]“Ya udah tinggal bawa berobat aja di klinik, Dio. Kamu bikin Mama panik aja, kirain ad
“Diam kamu, Aisyah! Kamu gak usah ikut capur!! Di mana Renita sekarang, hah? Suruh dia keluar sekarang juga!!” Sentak Indri teriak-teriak.Sedang Aisyah tetap santai menghadapi pelakor di hubungan mertuanya.“Mama Renita gak ada waktu untuk nemuin Tante!! Lebih baik Tante pergi aja sana! Tante gak pantes menginjakkan kaki di rumahku ini!!” Jawab Aisyah masih dengan tenang.Dada Indri jadi naik turun penuh emosi, bisa-bisanya wanita itu malah mengusirnya.“Heh, Aisyah!! Jangan kurang ajar kamu ya sama orang tua! Kamu itu lagi hamil, mau aku sumpahin keguguran sama kamu?!” ucap Indri dengan suara yang melengking.Dada Aisyah memburu mendengar Indri menyumpahinya yang tidak-tidak. Namun, ia tetap berusaha untuk tenang.“Sumpah dari seorang pelakor itu gak akan mempan! Hati-hati lho, doa buruk itu akan kembali buruk pada orang yang mendoakan!” Balas Aisyah kemudian segera berbalik badan dan meninggalkan Indri begitu saja.“Aisyah tungguu! Suruh Renita keluar sekarang jugaa! Jangan sembun
Waktu terasa begitu cepat berlalu... Sudah satu bulan Wijaya pisah rumah dengan Renita. Selama itu juga, Wijaya juga tak bersama Indri. Nomor ponsel Wijaya tiba-tiba tidak bisa di hubungi oleh Indri sejak kepergiannya izin ke kantor sebulan yang lalu. Indri jadi kalang kabut mencari kabar Wijaya yang tiba-tiba menghilang bak di telan bumi. Padahal, Wijaya sudah janji akan tinggal bersama Indri, tetapi sampai sekarang Wijaya tak juga menghubunginya. “Kemana sebenarnya kamu, Mas Wijaya? Di rumah lama kamu, kamu gak ada, di kantor juga kata karyawan kamu gak ada,” Gumam Indri, merasa khawatir. la sudah mencari Wijaya ke rumah pria itu, bahkan sampai ke kantor. Namun, karyawan di kantor itu bilang bahwa Wijaya tidak pernah lagi datang ke kantor. “Atau jangan-jangan Renita sengaja menyembunyikan Mas Wijaya? Atau diam-diam mereka kembali tapi sengaja menyembunyikan semuanya dari aku?” Gumam Indri lagi, tiba-tiba memiliki prasangka seperti itu. Menurut Indri, tak mungkin Wijaya mengh
Renita tiba di rumah Galih dengan selamat. Ia segera turun dan masuk ke dalam rumah. Di dalam, Aisyah yang tengah bersantai di delan tv langsung menyambut Ibu mertuanya dengan wajah sendu. ‘Kasian Mama, wajahnya sembab setiap hari,’ Batin Aisyah saat melihat Renita berjalan masuk. “Mama...” Panggil Aisyah lembut. Renita langsung berjalan menghampiri Aisyah dan memeluk begitu saja. “Maafin Mama ya, Syah. Maaf karena Mama membuat kamu cemas. Mama akan akhiri semuanya biar kita semua kembali tenang,” Ungkap Renita, walaupun rasanya berat, tapi memang inilah jalan yang terbaik menurutnya. Aisyah terkejut, “Maksud Mama?” Tanyanya bingung. “Mama sudah memutuskan akan pisah dari Papa, Syah. Mama bener-bener gak bisa maafin Papa gitu aja, hati Mama terlalu sakit, Mama trauma kalau nanti malah kembali di khianati lagi,” Ungkap Renita lagi sembari melepas pelukannya pada Aisyah. Renita kemudian duduk dan menyandarkan tubuhnya di sofa dengan wajah yang kusut. “Bi Ani, tolong biki
“Ikut aku, Renita!!” Seru Wijaya kemudian mendorong tubuh Renita untuk masuk ke dalam mobil. “Apa-apaan kamu, Wijaya?!” Bentak Renita tak terima Wijaya hanya diam, tak menggubris teriakan Renita. Ia kemudian ikut masuk ke kursi pengemudi, lalu segera melajukan mobil dengan kecepatan tinggi. “Kamu mau bawa aku ke mana kamu, Wijaya?? Hentikan mobilnya sekarang juga!!! Kamu itu udah gak punya hak untuk bawa aku seperti ini!!” Teriak Renita sedikit panik. Wijaya tersenyum menyeringai, menoleh sejenak pada Renita yang menatapnya tajam, “Kenapa tidak? Kamu saja bebas melakukan apa yang kamu mau kan, maka aku juga bisa bebas melakukan apa yang aku mau!!” Jawab Wijaya. Napas Renita jadi memburu, ia sekarang benar-benar takut dengan Wijaya yang bisa saja melakukan sesuatu di luar kendali. “Renita, Renita... Aku sudah berusaha membujuk kamu dengan baik-baik. Tapi, kamu sepertinya memang sudah tidak bisa di ajak bicara baik-baik!” Ucap Wijaya lagi, membuat Renita semakin ketakutan. “Janga
“Mas, kita mau ke mana?” Tanya Indri penasaran. Kini, mereka berada di dalam taksi yang sama. Wijaya juga tak bisa membawa mobilnya, karena dalam isi surat perjanjian pra nikah itu memang semua aset termasuk mobil dan segalanya akan menjadi hak milik Renita apabila Wijaya sampai terbukti berselingkuh. “Sekarang kita ke rumah kamu,” Jawab Wijaya, santai. Indri terkejut mendengar ucapan Wijaya, “Ke rumahku, Mas? Kamu mau tinggal sama aku?” Tanyanya lagi memastikan, raut wajahnya begitu bahagia. Wijaya mengangguk. “Untuk sementara waktu, sampai Renita mau melunakkam hatinya dan mau memaafkan aku!” Jawabnya. “Emang sebenernya gimana sih, Mas? Kok bisa kamu di usir dari rumah kamu sendiri? Terus kenapa kamu juga gak bawa mobil?!” Tanya Indri lagi, penasaran. Indri sangat yakin jika Wijaya tak akan mungkin bisa miskin. la menebak pasti hanya Renita lah yang merencanakan itu semua. Wijaya hanya diam, matanya menatap lurus ke depan. Memikirkan bagaimana caranya agar Renita mau memaafkan