Share

02. Perjanjian

Terkesiap, Zavy nyaris terlonjak dari kursinya. Dia langsung menoleh dan menjawab tegas, “Vinna, kau sedang mabuk. Sebaiknya kau tidak usah bicara terlebih dahulu. Fokuslah menyetir.” Zavy kembali menghadapkan wajahnya ke depan. Dia jauh lebih khawatir ketimbang nona sopir di sebelahnya.

“Tidak. Tidak. Aku tidak mabuk. Aku sadar sekarang,” tepis Vinna dengan suara serak tapi jelas.

Meskipun memang sedikit mabuk, Vinna sadar apa yang dia bicarakan. Dia terus bicara walaupun Zavy menyuruhnya berhenti. Selama dalam perjalanan Vinna menceritakan permasalahan yang sedang dia hadapi, lalu berharap dia menemukan solusinya pada pria tampan di sebelahnya ini.

“Zavy, aku mau dinikahkan sama pria tua bangka penyakitan yang jeleknya minta ampun. Ya, sebagian besar orang akan berpikir sebaiknya tidaklah mengapa karena duit dia banyak. Tapi aku tidak suka dan tidak akan pernah mau. Najis!” sungut Vinna dengan wajah yang ketus.

“Masih ada cara lain untuk membayar utang keluargamu di Bank Platinum dan mencari pinjaman baru. Tidak mungkin tidak ada jalan lain.”

“Wayne Chad akan brutal kalau dalam waktu dua minggu kami tidak bisa melunasi utang lama. Parahnya, perusahaan bakal dipastikan pailit oleh pengadilan.”

Wayne Chad akan memberikan kelonggaran terhadap utang lama dan memberikan dana segar yang baru jika Vinna mau menjadi istrinya meskipun dalam waktu yang tak lama. Dari sanalah Keluarga Charlton beranggapan bahwa masih untung Vinna tidak menyerahkan dirinya begitu saja, dengan kata lain Vinna bukan seorang pelacur, melainkan istri sah.

Bisa jadi setelah satu atau dua tahun pernikahan, di saat perusahaan telah bangkit dan utang telah lunas semua, barulah Wayne Chad akan menceraikan Vinna. Hal tersebut sudah masuk dalam kesepakatan awal di antara Keluarga Charlton dan Wayne Chad. Kedua pihak setuju dan sama-sama diuntungkan dalam hal ini.

Namun,Vinna tetap tidak sudi walaupun dia bukanlah dianggap sebagai pelacur kotor. “Aku pernah menolak pria konglomerat karena aku tidak suka. Entahlah sudah berapa pria biasa-biasa saja yang aku campakkan. Aku hanya ingin fokus mengurus perusahaan keluarga yang hampir hancur ini. Belum terpikir ingin menikah.”

‘Kau Presiden Direktur yang jutek!’ umpat Zavy dalam hati.

Ketika Charlton Property Group di bawah kepemimpinan Ferdy Charlton, utang perusahaan jauh lebih banyak dan manajemen pun jauh lebih buruk dari sekarang. Namun, perusahaan berguyur bangkit saat di bawah kendali Vinna Charlton. Lebih dari separuh utang telah terlunaskan tanpa harus bertindak aneh-aneh dan segelintir pejabat dan karyawan korup pun telah lenyap.

“Sekarang, mereka masih saja menjadikan aku sebagai alat agar perusahaan keluarga seratus persen lepas dari masalah dan membaik,” keluh Vinna dengan raut wajah yang amat kesal. “Aku tidak mengungkit kebaikan dan pencapaianku selama tiga tahun terakhir semenjak aku menjabat sebagai Presdir, tetapi aku juga butuh dihargai dan tidak selalu dibebani masalah.”

Zavy menghela napas pendek, mengangguk dan memahami apa yang sedang dirasakan oleh Vinna. Kendati begitu, menyamar menjadi seorang pria konglomerat dan menjadi suaminya merupakan hal konyol.

“Vinna, aku hanya seorang barista dan mahasiswa yang tidak tahu bakal lulus atau tidak. Terus terang saja, sekarang aku pun sedang ada masalah yang cukup serius.”

Vinna menoleh beberapa saat sebelum bertanya, “Kau tidak yakin bakal lulus? Bagaimana bisa? Apa masalah mu?”

“Aku menunggak bayar uang kuliah selama empat semester. Sepertinya aku bakal kena DO.”

Sekitar dua tahun yang lalu, Zavy difitnah telah mencuri barang di cafe tempat dia bekerja oleh bosnya dan ketika dia sedang diperiksa, di sana terjadi adu pukul karena Zavy merasa dirinya benar. Tiga orang suruhan bosnya tersebut harus masuk rumah sakit dikarenakan keberingasan Zavy seorang diri. Akibatnya Zavy harus membayar lebih dari lima ribu dollar untuk biaya rumah sakit dan juga termasuk barang yang dianggap hilang.

“Aku juga telat bayar sewa rumah selama tiga bulan. Kemungkinan besar aku bakal kena usir.”

Jika dilihat dari masalah yang dia hadapi, sebenarnya Zavy bukan orang yang ceroboh dan bodoh, hanya saja dia terjebak dalam lingkaran takdir yang begitu menyebalkan. Dia sesungguhnya tidak mau terjebak dalam semua masalah tersebut. Sama seperti Vinna juga. Intinya, masalah yang mereka hadapi bukanlah berasal dari ulah dan kesalahan sendiri, melainkan kejahilan orang di sekitarnya.

Di tempat bekerja, Zavy termasuk karyawan rajin dan tidak pernah bikin ulah. Namun kepolosan dan kebaikannya tersebut dianggap remeh oleh sebagian orang. Sementara di lingkungan kampus, dia termasuk mahasiswa yang cerdas, hanya saja ketika mengharapkan beasiswa, dia tidak pernah bisa mendapatkannya dengan alasan data administrasinya kurang lengkap.

“Asal usul keluargaku tidak jelas. Aku tidak tahu siapa ayah dan ibuku. Aku tidak punya kerabat,” ungkap Zavy. “Pas masih kecil, aku tinggal di panti asuhan, karena tidak betah, akhirnya pas SMP aku melarikan diri dan mulai belajar mencari uang untuk memenuhi kebutuhanku sendiri. Sampai sekarang, aku hidup seorang diri.”

Pelik, pahit, menyedihkan.

Setidaknya, Zavy tidak seperti Vinna yang sering diperalat dan dimanfaatkan oleh keluarga dan kerabatnya. Meski begitu, hingga saat ini Zavy tidak pernah merasakan manisnya dalam hidup berkeluarga, tidak pernah diberikan mainan oleh orang tuanya, tidak pernah diberikan uang jajan, tidak pernah diberikan fasilitas belajar. Tidak ada kenikmatan.

Meskipun Zavy tidak dibesarkan dan dididik oleh orang tua dan keluarganya, namun dia banyak belajar dari pengalaman hidup yang pahit selama ini, di mana karakternya terbentuk dari beragam masalah yang pernah dan sedang dia hadapi. Orang bijak mengatakan, kepahitan hidup akan membesarkan jiwa dan membuka cakrawala jalan pikiran.

Vinna tercenung, memahami apa yang sedang dirasakan Zavy. “Aku turut prihatin terhadap masalah yang sedang kau hadapi, Zavy.” Setelah itu, Vinna memberikan pujian yang cukup banyak. “Aku salut pada mu. Kau cerdas dan punya keberanian. Ketika tadi aku melihat kau begitu heroik saat menghajar dua begundal barusan, aku merasa takjub. Aku tidak pernah melihat pria seberani kau sebelumnya, Zavy.”

Zavy menggeleng lalu menjawab dengan nada yang dingin karena dia tidak suka menerima pujian. “Mereka sedang dalam kondisi mabuk. Aku pikir, anak SMP saja bisa mengalahkan mereka. Aku sangat biasa dan tidak ada yang spesial dariku.” Zavy berusaha tetap rendah hati meskipun dia layak mendapatkan pujian.

Vinna berdeham dan berkata tegas. “Aku sudah tahu apa masalah yang sedang kau hadapi dan kau pun tahu apa masalah yang sedang aku hadapi.” Vinna berencana membantu Zavy supaya bisa terlepas dari masalah yang sedang dia hadapi.

“Zavy, kita buat sebuah perjanjian. Aku yakin kau mau menerimanya.”

Zavy mengerutkan keningnya. “Perjanjian?” 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status