Share

Bab 3

Author: Ricny
last update Last Updated: 2023-09-29 16:20:27

DIKIRA SUAMI PENGANGGURAN

Bab 3

🍀🍀🍀

Ibu dan sodara-sodara tiriku akhirnya diam dan balik ke tempat masing-masing.

"Wija tolong maafin sodara-sodaramu ya," kata Bapak pada suamiku.

Walau selama ini suamiku masih pengangguran, memang hanya bapak yang paling ikhlas menerima suamiku di rumah ini, beliau sabar sekali, bapak sering mengingatkanku juga agar aku banyak sabar dan terus mendo'akan suamiku supaya suamiku cepat punya pekerjaan.

"Kalau suamimu itu bermasalah solusinya dido'akan Yun, bukan ditinggalkan. Kalau suamimu sedang ada di bawah ya disemangati bukan diusir dan dikasari, Insya Allah kalau kamu ikhlas melakukan dan menerimanya nanti rejeki akan datang berlimpah, bahkan dari arah yang tak pernah kamu sangka-sangka," kata Bapak waktu itu, saat aku baru saja bertengkar dengan suami karena dia kerjaannya kelayapan gak jelas terus tiap hari.

"Iya Pak, tapi Yuni kesel Pak, masa iya rumah tangga mau begini terus? Belum lagi anak-anak ibu, suka nyindir-nyindir terus hidup kami."

"Makanya kamu harus banyak berdo'a Yun, doain begini suamimu itu, ya Allah ya Tuhanku, bukakanlah pintu rejeki-Mu yang seluas-luasnya untuk suamiku, bahkan dari arah yang tak pernah hamba sangka-sangka sebelumnya, berikanlah dia kesempatan agar dia bisa membahagiakan istri dan keluarganya, gitu."

Aku hanya diam saja saat itu, kalau bukan karena wejangan bapak, mana mungkin aku bisa tahan rumah tangga sama Bang Wija yang malesnya kebangetan.

"Gak apa-apa, Pak." Ucapan Bang Wija menarikku dalam kesadaran. 

Kutengok semua sodara tiriku masih bermuka masam setelah diomeli bapak.

"Tapi kamu yakin 'kan uang itu adalah uang halal?" tanya Bapak lagi memastikan.

"Iya Pak, demi Allah itu uang halal," jawabnya yakin.

"Nah denger 'kan kalian? Sudah, sekarang kalian semua pulang aja, sudah malem juga," perintah Bapak.

Akhirnya semua orang pun bubar meski wajah sodara-sodaraku itu tampak masih penasaran ingin menggali informasi asal muasal duit yang diberikan Bang Wija.

Tak kecuali denganku, di kamar aku tak mau melewatkan kesempatan, cepat kuajak suami bicara.

"Abang coba Abang jujur, itu duit dari mana sebetulnya? Kok bisa-bisanya Abang punya duit segitu banyak dan Yuni gak tahu."

"Malulah Yun, duit cuma dikit kok dibilang banyak," jawabnya santai.

Suami lalu berdiri dan mulai mematut diri di depan cermin.

"Hah dikit kata Abang? 80 juta itu loh Bang, 80 juta itu banyak, Bang."

"Dikit itu Yun, apalagi buat bantu sodara, kurang malah."

"Ya tapi masalahnya, itu duit dari mana sebenernya?"

"Sisa warisan, Yun."

"Haih tadi katanya bisnis."

"Abang malulah Yun kalau bilang itu duit warisan."

"Terus kenapa Abang punya warisan gak bilang-bilang? Tahu gitu duitnya biar dipegang sama Yuni aja," dengusku kesal.

Pantas saja suamiku punya duit banyak, tahunya dia dapat warisan. Kukira dia beneran bisnis, pantes aku gak percaya, masalahnya dia itu mau bisnis apaan? Bisnis nernak tuyul baru aku percaya. 

"Haih kamu tuh duit 80 juta buat apa? Meningan disumbangin buat acaranya  Mala 'kan lebih berguna," katanya ringan.

Mulutku menganga. Duit 80 juta katanya buat apa? Dia gila apa gimana sih? 

"Ya sudah Abang pamit mau ronda ya Yun," katanya lagi sambil berlalu keluar.

Hih kesel banget belum juga aku selesai ngomong sama dia, dasar pemalas, alesan aja mau ronda padahal mau main hape di pos biar kagak digangguin.

Awas aja kau Bang, udah mah duit dikasih gitu aja sama ibu sekarang mau ongkang-ongkang kaki di pos, hiiih gedeg banget rasanya.

***

Esok hari.

Pukul 9 pagi Bang Wija belum juga pulang.

"Kelayaban di mana itu orang? Udah tahu duit warisan habis semua, jam segini malah belum balik dari semalam, bukannya kerja kek nyari duit," gerutuku di kamar.

"Yuniii!" teriak Ibu dari dapur.

Gegas aku menghampiri, bahaya kalau sampe ibu teriak-teriak dan aku gak segera datang, bisa-bisa ibu ngomel 7 hari 7 malam.

"Ya, Bu? Kenapa?"

"Hari ini kamu ke pasar, beliin kue-kue kering, sisanya biar nanti sama Ibu."

"Iya," jawabku pendek. Masih kesal rasanya aku karena duit Bang Wija semua dikasih ke ibu.

"Ya udah sana pergi, nih duitnya."

Kuambil duit belanja dari ibu dan gegas jalan ke depan gang. Untunglah angkotnya cepet datang, kalau enggak mungkin aku udah makin kesel aja dibuatnya.

"Bang, stop, Bang," titahku pada sopir angkot saat aku baru setengah jalan.

Aku turun di depan sebuah pondok yang ada di pinggir jalan sebab melihat ada Bang Wija di sana.

"Hmm 'kan 'kan ape kata gue? Tuh laki emang malesnya kebangetan, semalam bilang mau ronda ternyata kelayaban jauh bener sampe ke jalan raya," kesalku sambil melangkah lebar-lebar ke arahnya.

"Abang!"

Bang Wija terkejut dan langsung berhenti haha hihi saat melihatku datang.

"Eh Yun, kamu di sini?" 

"Iya Yuni di sini, kenapa? Kaget? Abang lagi apa di sini? Maen judi ya?" cecarku dengan mata melotot.

"Hah judi? Mana ada Yun, lihat Abang, Abang lagi ngobrol ini," jawabnya sambil mengulurkan kedua tangannya yang kosong dan melirik ke arah beberapa orang laki-laki yang juga ada di sana.

Kutengok mereka satu-satu dengan wajah sinis. Kesal aku, pasti gara-gara mereka suamiku jadi seneng nongkrong gak jelas begini.

"Pada ngapain sih di sini? Pada gak ada kerjaan amat," ketusku pada mereka.

Mereka saling melirik dan nyengir kuda.

"Ini kita lagi kerja, Bu," ucap salah seorang di antaranya.

Bibirku terangkat sebelah. Kuamati mereka lagi. Baru kusadari ternyata penampilan mereka kok pada aneh semua. Mereka pakai sepatu dan kemeja rapih-rapih, mana ada yang sampe bawa tas dan laptop segala.

Ini sebenarnya mereka siapa sih? Pakean mereka kok pada rapih banget? Terus kenapa juga mereka malah ngumpul-ngumpul di sini? Lagi pada ngapain ya mereka?

Eh apa jangan-jangaaan ..? Mereka lagi pada main judi? Haih keterlaluan kalau sampe itu bener.

"Abang! Ayo buru ikut Yuni balik." Cepat kutarik tangan suami sebelum dia ngelak lagi.

"Eh tunggu dulu Yun, Abang masih ada urusan."

"Halah urusan apa? Gak penting banget."

Terus kutarik tangan suami sampai ada angkot yang lewat dan kami gegas naik.

"Duh Yuun, Abang masih ada urusan itu, kok kamu malah tarik-tarik Abang gini sih?" protesnya saat di dalam angkot. Wajahnya kelihatan resah tak karuan.

"Apaan sih? Enggak! Urusan Yuni jauh lebih penting," kecutku.

Akhirnya Bang Wija diam.

-

Sampai di toko kue, suami masih kelihatan resah.

"Abang ini kenapa sih? Antar istri kok kayak gak tenang gitu."

"Aduh mereka pasti masih nungguin Abang di sana Yun, gimana kalau Abang ke sana sebentar dulu? Nanti Abang balik lagi kalau kamu udah selesai belanja, nanti kamu telepon Abang aja," katanya sambil terus melirik ke arah luar toko.

"Gak ada, apaan ngobrol-ngobrol gak jelas begitu dipeduliin."

"Loh Yun tapi 'kan Abang lagi meeting itu."

"Hah? Hahaha dasar halu, makanya jadi suami tuh jangan males banget, begini 'kan akhirnya? Banyak halu," omelku sambil terus memilih kue-kue kering pesanan ibu yang ada di talase.

-

Sekitar setengah jam urusanku di toko kue selesai. Sebelum pulang sengaja kuajak  suami masuk ke toko baju.

"Beliin Yuni baju, Bang."

"Ya beli aja yang mana yang kamu suka Yun," katanya sambil terus sibuk melirik ke arah luar dengan wajah frustasi.

Aku makin kesel. Sengaja saja kuambil 5 potong baju gamis yang terjejer di toko itu. Biarin, biar tahu rasa tuh suamiku, orang bener mah udah jadi laki ya kerja kek buat nafkahin bini, eh ini malah ngobrol-ngobrol gak jelas pinggir jalan.

"Abang, bayar." Aku menepuk pundak Bang Wija yang masih saja telihat resah.

"Eh kok cepet beli bajunya Yun?"

"Ya cepetlah, ngapain buang-buang waktu? Emangnya Yuni kayak Abang? Buang-buang waktu gak jelas," sindirku.

Suami mengibaskan tangan, "haih kamu nih kalau ngomong makin ngaco aja ah," katanya sambil bangkit menuju kasir.

"Berapa semuanya, Mbak?"

"720 ribu, Mas," jawab si Mbak penjaga toko.

Aku terbelalak, 720 rebu? Haha rasain kau Bang Wija, kau pikir biaya hidupku murah? Mau apa kau sekarang? Mentang-mentang kemarin kau punya duit warisan jadi kau gak mau kerja, rasain kau rasaiiin. Mau gimana kau sekarang?

Aku tertawa puas dalam hati, tapi kemudian berhenti saat melihat suamiku mengeluarkan sebuah kartu dari dalam dompetnya.

"Bisa bayar pakai ini 'kan, Mbak?" tanyanya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Dikira Suami Pengangguran, Ternyata ...   Bab 91

    DIKIRA SUAMI PENGANGGURANBab 91 🍀🍀🍀Si Nayla mengangguk dan cepat mundur bersamaku. Sementara aku mempersilakan dua orang polisi itu untuk maju ke depan pintu.Tok tok tok!Musik terdengar dimatikan."Siapa sih ganggu aja? Si Inem pasti nih," gerutu mantan Ibu tiriku di dalam.Tok tok tok."Bentaaar! Sabar kenap-" Ucapannya terhenti saat ibu membuka pintu dan dia langsung melihat dua orang polisi tengah berdiri di depannya."Oh saya kira siapa. Ada apa ya, Pak?" tanyanya dengan nada suara yang melandai."Maaf apa Ibu yang bernama Ibu Halimah?""Y-a, kenapa?""Anda kami tangkap!""Ap-pa?!" Dia tampak terkejut bukan main. "Saya ditangkap? Kenapa? Apa salah saya, Pak? Kalian salah orang kali ah," cecarnya. Aku menangkap kecemasan pada nada bicaranya."Mohon kooperatif, Anda kami tangkap atas dugaan tindak kejahatan yang telah Anda lakukan, Anda sengaja membakar rumah Saudari Nayla ini dengan motif tertentu," terang petugas itu sambil dengan paksa memakaikan borgol di kedua pergelan

  • Dikira Suami Pengangguran, Ternyata ...   Bab 90 B

    DIKIRA SUAMI PENGANGGURANBab 90 B🍀🍀🍀***Setelah aku dibebaskan oleh si Nayla langsung yang segaja pulang dari Belanda, kami lanjut menjemput Nyonya Kinanti dari rumah sakit. Hari ini beliau diperbolehkan pulang karena kondisinya sudah membaik. Setelah mengurus administrasi, kami lalu dijemput Bang Wija di depan rumah sakit.Hah, aku bersyukur setelah seminggu di kurung akhirnya aku dibebaskan. Kalau bukan karena kebaikan hati Nyonya Kinanti yang terus membujuk si Nayla, mungkin kasus ini masih membelengguku. Pasalnya para petugas itu benar-benar lambat dalam menangani kasus kebakaran yang dilaporkan si Nayla itu. Sampai aku ngerasa waktuku terbuang sia-sia hanya untuk menunggu mereka mencari bukti."Mbak, sekali lagi aku minta maaf ya, aku cuma cemas aja saat aku diberitahu soal kondisi yang terjadi di rumah, apalagi saat aku dengar soal kondisi Ibu, aku udah gak bisa mikir apa-apa. Aku nyalahin kamu saat itu karena memang kamu 'kan yang bertanggung jawab di rumah. Belum lagi

  • Dikira Suami Pengangguran, Ternyata ...   Bab 90 A

    DIKIRA SUAMI PENGANGGURANBab 90 A🍀🍀🍀"Loh loh ya Ibu nggak bakalan diciduk dong Na, kamu 'kan tahu siapa yang akan jadi tumbalnya."Keningku mengerut. Yang akan jadi tumbalnya? Maksud dia apa?"Yuuun!"Aku berbalik dan cepat-cepat menjauh dari teras paviliun saat Bang Wija memanggilku di dapur. Gawat kalau sampai suamiku tahu aku sedang ada di pavilun hendak melabrak dua orang jahat itu, bisa-bisa Bang Wija ceramah lagi. Bisa ribet dah urusannya.Setelah kusembunyikan gelang itu pada saku cardiganku, aku gegas menghampiri Bang Wija."Ya, Baaang.""Kamu pulang toh Yun?""Iya Bang, Yuni mau lihat kondisi rumah sebentar. Oh ya, Abang belum berangkat kerja?""Udah Yun, ini Abang balik lagi karena ada yang ketinggalan."Mulutku membola, lalu kuelus lengannya, "lain kali dinget-inget dong, ketinggalan mulu perasaan."Dia nyengir. Kamipun jalan ke ruang depan, niat hati mau mengantarnya berangkat lagi, tapi kedatangan dua orang polisi yang sudah berdiri di depan pintu membuat langkah ka

  • Dikira Suami Pengangguran, Ternyata ...   Bab 89 B

    DIKIRA SUAMI PENGANGGURANBab 89 B🍀🍀🍀"Siap, Nyonya." Mbak Inem mengangkat kedua jempolnya lalu gegas pulang naik taksi.***"Hallo Mbak Inem, ada apa?" Pagi-pagi sekali Mbak sudah telepon."Nya, ada kabar penting. Semalam pas Inem pulang dari rumah ke paviliun, Inem denger si Bibik pegawai baru itu lagi cekikikan sama anak perempuannya. Gak jelas sih apa yang mereka ketawain, tapi yang Inem tangkep sih kayaknya mereka ngerasa puas banget karena Nyonya Kinanti masuk rumah sakit. Oh ya, saat Inem datang dari rumah sakit juga si Bibik itu juga langsung nanya-nanya soal kondisinya Nyonya Kinanti. Tapi anehnya, Inem kok ngelihat dia gak ada rasa khawatir-khawatirnya atau gimana gitu layaknya orang yang habis kena musibah," tutur Mbak Inem panjang lebar.Sontak saja tanganku mengepal. Bener dugaanku, pasti gak salah lagi, ini adalah ulah mantan ibu tiriku. Astaga kejam banget dia. Terbuat dari apa hatinya itu? Udah baik kuberi dia kesempatan, tapi malah dia sia-siakan. Oke, aku gak ak

  • Dikira Suami Pengangguran, Ternyata ...   Bab 89 A

    DIKIRA SUAMI PENGANGGURANBab 89 A🍀🍀🍀"Ya Tuhan, semoga Nyonya Kinanti baik-baik aja."Bang Wija cepat menyalakan APAR, dan tak lama dari itu Inem juga datang bersama Pak Wahyu yang juga membawa alat pemadam yang serupa. "Cepat telepon pemadam Nem, takut apinya makin membesar!" titah Bang Wija agak teriak.Inem mengangguk dan gegas lari ke arah meja telepon. Sementara aku yang mendadak lemas hanya bisa teriak-teriak memanggil Nyonya Kinanti."Ada apa ini Yun?" Bapak datang dengan wajah cemas."Kebakaran Pak, gas meledak kata Mbak Inem, Nyonya Kinanti di dalem.""Ya Allah terus gimana?""Banyak asap Pak, jangan ke sini, Bapak tunggu di depan aja. Bang Wija sama Pak Wahyu lagi coba memadamkan apinya kok." Cepat kubawa Bapak kembali ke ruangan depan.Setelah itu aku buru-buru balik lagi ke dapur. Untunglah saat aku kembali ke sana Nyonya Kinanti sudah berhasil diselamatkan meski sudah dalam keadaan pingsan dan terdapat beberapa luka bakar di wajah dan tubuhnya. "Ya ampun Nyonya Ki

  • Dikira Suami Pengangguran, Ternyata ...   Bab 88 B

    DIKIRA SUAMI PENGANGGURANBab 88 B🍀🍀🍀"Kurang sabar dan masih seneng ngomel, itu yang bikin kesel. Jangankan si Yuni sama Bapak, Viona aja kesel dengernya Ibu ngomel-ngomel gini," ketus Mbak Viona.Ibu diam. Kullihat dari kaca dia menyilangkan kedua tangannya untuk menahan kekesalan. Sementara aku cekikikan puas, mantan ibu tiriku iti lagi terbakar api cemburu rupanya, aih kayak ABG aja.Setelah puas mengintip, aku gegas kembali ke dapur mengambil jus kemasan dan membawanya ke gazebo. "Loh udah selesai tah belajar ngajinya?""Selesai Yun, istirahat dulu. Udah mau Dzuhur," jawab Bapak.Kamipun minum jus sebentar, setelah itu pergi ke masjid dekat rumah bersama Nyonya Kinanti juga. Rencana di sana Nyonya Kinanti ingin dituntun membaca Syahadat oleh pemuka agama yang biasanya juga menjadi imam masjid."Oh kalian di teras rupanya? Tolong beresin bekas minum kami di gazebo ya," titahku pada Ibu dan Mbak Viona, sebelum kami berangkat ke masjid.Aku tak melihat lagi bagaimana ekspresi w

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status