LOGINDibeli dengan harga 100 juta yuan, Anli si gadis buta itu hanya dianggap sebagai istri kontrak untuk melancarkan rencana Qin Yuze yang ingin menenangkan neneknya. Namun, takdir berkata lain. Di malam ketika Yuze nyaris kehilangan nyawa, Anli, istri yang selalu diremehkan itu justru menyelamatkannya dengan kemampuan luar biasa yang ia dapatkan dari masa lalunya. Siapa sangka, ternyata Anli adalah seorang ... #SquelTabibCantikMilikPangeran
View More“Ayo!” bisik Yuze, serak, nyaris menyentuh kulit telinga.
Anli mengerutkan dahi, menoleh pelan. “Ayo apa?”
Yuze memutar wajah, sorot matanya gelap, menatap wanita dalam pelukannya. “Buat anak.” Napasnya memburu, jarak di antara mereka menipis dengan cepat.
“Hah?” Anli tersentak, tubuhnya menegang refleks. Kata-kata itu menghantamnya begitu saja.
Yuze, seolah tak memberi ruang untuk ragu, menggulung Anli kembali ke pelukannya lebih erat.
“Tuan—” Anli menarik napas pendek, suaranya pecah pada satu suku kata.
Sentuhan itu turun lagi, dan Anli bergerak sebelum garis itu terlewati. Jemarinya menahan pergelangan Yuze, cekatan dan tegas. “Bukankah Anda pernah bilang saya menjijikkan? Sekarang, mengapa Anda berbalik menginginkan saya?”
Napasnya memburu, kalimat itu terucap nyaris tanpa getar, tetapi jari Anli yang mencengkeram tangannya mengkhianati degup yang berantakan di dadanya. Yuze berhenti. Tatapannya menancap lekat ke mata Anli. Hitam, berat, terkoyak antara hasrat dan amarah yang menunju ke dirinya sendiri.
“Mengapa kau hanya bertanya padaku tentang itu?” Yuze membalas, suaranya serak namun bersinar tajam. “Bagaimana dengan Ibuku, yang dulu tidak pernah menganggapmu? Dan para pelayan yang dulu merendahkanmu? Mengapa kau tidak bertanya pada mereka… kenapa kini mereka segan padamu?”
Keheningan jatuh, menegangkan udara. Anli tidak langsung menjawab. Jemarinya masih memegang pergelangan Yuze, kini tidak hanya menahan, tetapi juga menakar getar urat nadi di sana. Detaknya cepat, bukan semata karena luka.
Tatapan Anli bergeser sedikit, buram namun tajam dengan caranya sendiri. “Saya tidak butuh jawaban mereka,” katanya akhirnya, tenang. “Saya butuh jawaban Anda.”
Yuze menelan pelan. Rahangnya bergerak, seperti menahan kata-kata yang terlalu panas untuk diucap. “Jawabannya sederhana,” desisnya rendah. “Kau ada di sini. Dan kau membuatku… tidak bisa tenang.”
***
“Cepat masuk! Hujan akan bertambah deras.”
Suara berat seorang pria berjas hitam memecah kesunyian jalan kecil yang berlumpur.Anli berdiri di tengah jalan itu, rambut panjangnya basah menempel di wajah. Mata pucatnya hanya mampu menangkap siluet abu-abu samar. Ia menunduk sedikit, meraba tanah dengan ujung sepatu sebelum melangkah. Butiran hujan menetes di pipinya, dingin tapi tidak membuatnya gentar.
Langkahnya terlatih. Bertahun-tahun lalu, seseorang pernah menanamkan satu hal dalam dirinya: mata bukanlah satu-satunya cara untuk melihat dunia. Sejak itu, ia terbiasa membaca arah lewat suara, mengukur jarak lewat hembusan angin, dan menjaga keseimbangan meski penglihatannya terbatas.
Di lehernya tergantung liontin perak kusam berbentuk oval, dengan ukiran satu kata: Anli. Liontin itu satu-satunya petunjuk asal-usulnya, ketika tujuh tahun silam sepasang pemulung menemukannya di tepi Sungai Beishan. Saat itu, kepalanya berlumuran darah, penglihatannya rusak, dan ingatannya hilang.
Pasangan tua itu tidak punya apa-apa kecuali tangan yang kasar dan bubur tipis yang mereka bagi setiap pagi. Namun mereka merawatnya, memeluknya ketika mimpi buruk menghampiri, dan menyebutnya dengan nama yang tertulis di liontin.
Sayang, kemiskinan selalu lebih kuat daripada rasa kasih. Hutang menumpuk, penagih datang silih berganti. Hingga pada akhirnya, keputusan pahit diambil: menjual Anli.
Pagi itu, gerimis turun lembut. Anli berdiri di ambang pintu gubuk reyot, menggenggam botol kecil berisi salep herbal yang ia buat sendiri. Jemarinya mengenali daun-daun kering dari tekstur dan aroma, meski ia tak lagi ingat siapa yang pernah mengajarinya. Yang tersisa hanyalah bayangan samar seorang perempuan dengan suara lembut yang dulu menyebutkan nama-nama tanaman di telinganya.
“Akan ada yang memberimu makan di sana,” suara bapak angkatnya bergetar di antara batuk tua.
“Dan atap yang tak bocor,” sambung istrinya. Jemari keriputnya mengusap liontin Anli, seolah ingin meninggalkan kehangatan terakhir.
Anli mengangguk tenang. “Kalian sudah memberiku tujuh tahun hidup. Itu lebih dari cukup.”
Tidak ada air mata, hanya suara lirih yang membuat dada mereka terasa sesak.Ia melangkah ke tanah becek. Di belakangnya, pasangan tua itu hanya bisa berdiri mematung, terlalu berat untuk mendekat, terlalu sakit untuk melepas.
Pintu mobil hitam terbuka. Pria berjas hitam tadi memegang payung besar, suaranya tegas: “Cepatlah. Hujannya semakin deras.”
Anli meraba tepian pintu mobil dengan hati-hati. Dari kejauhan, ia masih mendengar napas berat bapak angkatnya, dan isakan yang ditahan oleh ibu angkatnya. Liontin di leher terasa dingin menempel di kulit, jemarinya mengepalinya kuat-kuat. Itulah satu-satunya yang bisa ia bawa: aroma bubur jagung, suara batuk parau, dan hangatnya selendang yang dulu selalu dibetulkan dengan kasih.
Mobil bergerak, menelan bayangan gubuk reyot itu ke dalam kabut hujan.
---Malam sebelumnya, hujan juga turun. Gubuk reyot itu diterangi lampu minyak yang redup, cahayanya berkelip tiap kali angin menyusup dari celah papan.
Bapak angkat Anli duduk di kursi reyot, jemarinya yang kasar menggenggam amplop tebal. Tangannya bergetar, entah karena usia, entah karena beratnya isi amplop itu.
Di hadapannya berdiri seorang pria muda, jas hitam licin menempel rapi, sepatu berkilau tanpa setitik lumpur. Tatapannya tajam, dingin, tidak menyisakan ruang bagi belas kasihan. Qin Yuze.
“Seratus juta yuan.” Suaranya datar, setenang malam yang dingin. “Anggap lunas semua hutang kalian. Setelah ini, kalian tak punya urusan lagi dengannya.”
Bapak angkat Anli menelan ludah, menoleh ke istrinya yang duduk di sudut, memeluk lutut erat-erat. “Tuan Qin… dia anak yang baik. Dia bisa bekerja. Tidak perlu—”
“Kalau bisa bekerja, sudah dari dulu ia melunasi hutang kalian sendiri,” potong Yuze. Nadanya tetap datar, seolah sedang membacakan laporan. “Aku tidak peduli kemampuannya. Yang kubutuhkan hanyalah status pernikahan untuk menenangkan Nenek.”
Kalimat itu jatuh seperti batu ke lantai kayu, dingin, berat, tanpa rasa bersalah.
Ibu angkat Anli menegakkan tubuhnya, mata berkaca-kaca. “Tapi dia… buta, Tuan Qin.”
“Aku tahu.” Tatapan Yuze tidak bergeser. “Justru karena itu dia sempurna. Dia tidak akan menuntut. Tidak akan ikut campur. Dan yang terpenting…” sudut bibirnya bergerak tipis, “dia tidak akan membuat skandal.”
Ia menurunkan pandangan ke jam tangannya, lalu menambahkan singkat, “Besok pagi, sopirku datang. Pastikan dia siap.”
Tanpa menunggu jawaban, ia melangkah pergi. Suara hujan menelan deru mesin mobilnya yang menjauh.
Di sudut ruangan, Anli duduk diam. Ia tak pernah melihat jelas wajah pria itu, hanya siluet tegap dan suara yang menusuk tanpa emosi. Namun ia mendengar setiap kata. Dan di tengah dinginnya malam, satu hal ia pahami, lelaki itu tidak membelinya untuk dicintai.
Zhenrui tidak menjawab. Ia berjalan pelan mengitari meja digital di tengah ruangan, matanya menatap peta hologram yang menampilkan lintasan pergerakan Yifan dan Ling Yue yang hilang di sektor hutan barat.“Tidak...” gumamnya akhirnya. “Kalau Yifan hanya ingin menyelamatkan dirinya, dia tidak akan membocorkan lokasi pamannya. Ia tahu konsekuensinya. Yuefang tidak akan pernah memaafkan pengkhianatan seperti itu.”Yuze menghela napas pelan. “Lalu kenapa dia melakukannya?”Zhenrui diam beberapa detik, lalu menjawab dengan suara rendah, nyaris seperti berbicara pada dirinya sendiri. “Entah karena rasa bersalah... atau sesuatu yang lebih rumit dari itu.”Ia menatap layar kembali, menelusuri wajah Yifan dari arsip foto buronan: pria muda berwajah dingin, sorot mata tajam, ekspresi nyaris tanpa emosi. Tapi di balik foto itu, Zhenrui menangkap sesuatu. Ekspresi keraguan.Ia memutar data satelit terakhir yang direkam sebelum sinyal Yifan lenyap. Sebuah titik merah kecil, dua bayangan bergerak b
Suara sepatu bot beradu dengan lantai batu dingin, bergema berat di lorong bawah tanah istana. Udara di sana lembap, bau logam dan karat bercampur dengan aroma minyak mesin dari sistem keamanan lama yang baru diaktifkan.Pintu baja terbuka dengan bunyi berat. Dua prajurit khusus masuk lebih dulu, diikuti oleh sosok berpakaian hitam yang menyeret seorang pria dengan tangan terikat rantai.Zhao Yuefang. Wajahnya babak belur, tapi matanya masih tajam dan licin seperti ular. Luka di pelipisnya mengering, namun senyumnya... senyum itu masih sama. Senyum seseorang yang bahkan di ambang kehancuran masih merasa dirinya menang.Zhenrui berdiri di hadapannya. Mantelnya berlumuran debu dan darah dari medan tempur. Tatapannya dingin, lebih dingin dari baja di dinding ruang interogasi.Ia menendang kaki kursi logam itu, memaksanya tegak. Rantai di tangan Yuefang berdering, bergesekan keras dengan gelang besi yang menahan pergelangan tangannya.“Jadi akhirnya aku tertangkap lagi olehmu,” kata Yuef
Ling Yue sempat tertegun. Untuk beberapa detik, otaknya masih mencoba memastikan apakah ia benar mendengar kata-kata barusan. Lalu, perlahan, sudut bibirnya terangkat. "Kamu mengoleksi fotoku?” Nada suaranya tenang tapi matanya berkilat geli.Wajah Yifan langsung memucat, lalu memerah dalam waktu yang sama. “S-saya tidak bermaksud aneh!” ujarnya cepat. “Hanya—hanya foto publik! Dari berita… konferensi… atau—” Ia menunduk makin dalam, nyaris menenggelamkan wajah di antara lututnya. “Saya sungguh tidak pernah… melaukan yang aneh-aneh…”Ling Yue menatapnya sejenak, lalu tertawa kecil. Tawa itu lembut, tapi cukup untuk membuat Yifan semakin salah tingkah.“Pffft. Tenanglah!” katanya sambil tersenyum. “Aku belum berpikir kamu seorang stalker… ya, setidaknya belum.”Yifan mengangkat wajahnya pelan, menatapnya dengan ekspresi yang sulit dijelaskan antara lega dan malu luar biasa. “Itu tidak membantu, Yang Mulia.”“Tapi jujur,” lanjut Ling Yue, nada suaranya kali ini lebih lembut, “aku tidak
Yuze mendekat, wajahnya serius. “Yang Mulia, tim medis sudah mengevakuasi korban. Kami tak menemukan sinyal tubuh di radius satu kilometer. Tapi…” Ia menyerahkan sebuah benda kecil yang dibungkus kain hitam. “…ini ditemukan tidak jauh dari titik darah.”Zhenrui membuka kain itu. Di dalamnya, sebuah chip data seukuran kuku, setengah hangus di pinggirannya.Ia menatap benda itu, lalu mengambil scanner portabel dari pinggangnya. Cahaya biru berpendar, menampilkan serangkaian kode terenkripsi di udara.Yuze mengerutkan kening. “Kode militer? Apakah ini versi yang hanya digunakan oleh pasukan internal sebelum sistem baru diterapkan?"“Tidak,” sahut Zhenrui perlahan. “Ini bukan kode pasukan… ini kode sistem pribadi peretas kelas A.”Ia mengetik beberapa perintah cepat di layar kecil di pergelangan tangannya. Teks di udara berubah, menampilkan tanda tangan digital dengan simbol berbentuk naga melingkar.Zhenrui mengangkat wajahnya mengenali tanda itu. Matanya berkilat tajam.“Zhao Yifan…”Na
Langit mulai memerah di barat saat konvoi udara Yancheng menembus lembah berbatu. Suara baling-baling mengguncang udara, disusul pantulan cahaya dari lambung baja helikopter tempur.Di bawah sana, asap hitam membubung dari jalan raya yang sudah hancur separuh. Puluhan kendaraan terbakar. Api menjalar liar di antara puing-puing, disertai letupan amunisi yang terlambat meledak.“Koordinat sesuai laporan!” seru perwira komunikasi di headset. “Sinyal terakhir Putri Bai Ling terdeteksi di sektor C-7, di dekat tebing utara!”Zhenrui menatap dari jendela. Matanya tajam.“Turunkan ketinggian! Buka kanal komunikasi dengan pasukan darat! Aku akan turun.”“Yang Mulia, itu terlalu berbahaya!” Yuze yang duduk di sebelahnya menahan, tapi Zhenrui sudah membuka sabuk pengamannya.“Tidak ada waktu,” jawabnya datar. “Jika aku terlambat, yang tersisa hanya abu dan diplomasi yang gagal.”Helikopter menukik cepat. Begitu roda menyentuh tanah berdebu, Zhenrui melompat turun. Mantelnya berkibar, sepatu botn
Langit sore mulai berubah warna. Matahari condong ke barat, meninggalkan kilau oranye di antara tebing perbatasan.Konvoi Bai Ling melaju di jalan raya berbukit. Lima kendaraan lapis baja ringan dengan lambang kerajaan bergerak beriringan, diapit dua drone pengintai yang melayang di atas jalur udara.Di dalam kendaraan utama, Putri Ling Yue duduk diam sambil menatap layar peta digital di pergelangan tangannya. Garis rute biru menunjukkan jalur aman menuju pos lintas selatan. Tapi sesuatu terasa aneh, koordinat yang baru saja diperbarui menunjukkan sedikit pergeseran arah.Ia mengerutkan kening. “Ai Fen, siapa yang mengganti jalur?”Ajudannya yang duduk di kursi depan menoleh cepat. “Sistem navigasi otomatis menerima pembaruan dari server Yancheng, Yang Mulia. Jalur lama ditutup karena longsor kecil.”Ling Yue menatap tajam ke layar. Jalur lama seharusnya masih bisa dilalui, dan yang paling mengganggunya, sinyal satelit tiba-tiba menurun drastis.“Matikan autopilot,” perintahnya. “Kita
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments