“Atau pilihan ketiga. Ini pilihan yang paling menarik. Kamu boleh resign, tapi menikah dengan saya. Pilih salah satu di antara ketiga itu,” tambah Brama serius.“Sir, dari kemarin Anda bicara pernikahan. Sekarang menawarkan pernikahan. Apa yang membuat Anda begitu bersikukuh ingin menikahi saya? Keuntungan apa yang Anda dapat?” tanya Nawa.Brama terdiam. Tidak mungkin ia berkata demi memenuhi sebuah janji yang pernah diucapkan pada Yadi. Ia pria sejati. Sumpah dan memenuhi sumpah itu adalah harga mati baginya. Lalu jika beralasan karena cinta, Nawa jelas tidak percaya. Bisa-bisa ia ditertawakan wanita itu.Cinta. Sebuah alasan klise yang memang itulah kebenarannya. Rasa aneh itu menyusup secara tidak masuk akal. Berinteraksi dengan Nawa ketika masih menyamar sampai sekarang, mungkin perasaannya sebesar gundukan pasir. Tidak tinggi, tidak terlalu kokoh, tetapi butuh waktu melelahkan jika menghancurkannya.Brama sendiri tidak tahu kenapa bisa cinta secepat itu tumbuh. Mungkin hanya pela
Hari ini, Nawa berjalan menuju kantor dengan langkah sangat ringan. Belum pernah ia merasa seringan ini sebelumnya. Wanita anggun itu membawa berkas penting di tasnya. Ia tidak peduli tanggapan Brama nanti tentang berkas tersebut. Yang penting, ia ingin segera lepas dari kekuasaan sang Presdir.Dari kemarin, banyak pesan dan panggilan dari ‘Bos Kejam’ di ponsel Nawa. Namun, diabaikan.Tin!Bunyi klakson terdengar. Frengki membuka helm, lalu berhenti di samping Nawa.Meskipun kemarin Nawa kembali menolak, Frengki tidak gentar terus mengejar.“Maaf, Mas. Aku nggak bisa. Aku belum bisa membuat hubungan baru dengan pria lain atau meminta seseorang menungguku. Aku masih trauma. Aku masih ingin hidup bebas kayak gini tanpa beban apa pun. Aku harap Mas Frengki mengerti,” tolak Nawa kemarin.Frengki memang iya di luar, tetapi hatinya tidak gentar terus berjuang.“Mau dibonceng?” ajak Frengki.“Motornya sudah oke?”Frengki mengangguk.Nawa terdiam sebentar, lalu mengangguk. Sesekali tidak apa
Nawa menggeleng. “Saya sama sekali tidak percaya. Karena pria seperti Anda ini sangat pintar membual dan mempermainkan wanita.”Brama tersenyum miring. “Sama, saya pun juga tidak percaya kenapa kalimat tadi saya ucapkan. Sengaja, buat mengetes kamu. Dan ternyata kamu lulus tes. Kamu bukan wanita baperan.”Nawa lagi-lagi harus menahan amarah. Sepertinya sekarang ia harus menyetok banyak kesabaran sebab Brama punya banyak cara memancing tekanan darahnya naik.Brama kian mendekatkan wajah sampai Nawa harus menjauhkan diri.“Sir, menyingkir.” Nawa menunjuk dada kiri Brama, lalu menekannya agar tubuh Brama mundur.Brama tersenyum. Ia pun memundurkan badannya. “Jadi bagaimana? Kamu tetap keberatan menjadi sekretaris saya?”“Ya. Bukankah seharusnya Anda ini senang karena saya tidak meminta tanggung jawab apa pun setelah Anda merusak saya?”“Sayangnya saya tidak senang kalau harus pisah sama kamu. Kamu itu ibarat permainan, Nawa. Bermain-main sama kamu itu menyenangkan. Ada sensasi kesal, pua
“Halo, Sir. Saya ada di sini.” Nawa melambai di dekat pintu ketika Brama mengabaikannya; sibuk memijat kening. “Saya mau mengabarkan kalau auditor sudah datang.”Brama menoleh. Bola matanya melotot, giginya mengetat. Sungguh, Nawa sudah membuatnya stres tingkat dewa.“Katamu akan datang sejam lagi?”“Ralat. Ternyata beliau sudah datang lebih awal.”Brama mengatur napas, lalu mengangguk. “Suruh masuk.”“Siap.” Nawa lalu kembali keluar memanggil auditor.Wanita itu tersenyum puas karena hari ini bisa mengubah pion permainan si bos songong itu menjadi dalam kendalinya.“Jangan macam-macam sama Nawa, ya, Tuan Brama. Meskipun terlihat alim, wanita ini bisa brutal kalau sedang tertindas.”Nawa pun segera menyiapkan proposal yang sudah dikerjakannya kemarin, lalu mempersilakan tim auditor untuk memasuki ruang Brama.Mereka berdiskusi untuk langkah-langkah selanjutnya. Audit eksternal akan segera dilakukan di perusahaan tersebut. Brama ingin kantor yang ada dalam naungannya, laporan keuangann
Nawa menelepon Dany. Ia ingin meminjam jaket agar setidaknya bisa pulang tanpa memperlihatkan baju basah yang memperlihatkan lekuk tubuh seperti ini. Dany pun dengan senang hati memberikan jaketnya.“Mas Dan, saya pakai dulu jaketnya, ya. Nanti kan Mas dan tim ngatar saya kembali ke kosan, nah, saya copot dan kembalikan ke Mas lagi jaketnya. Nggak apa nggak saya cuci dulu?” tanya Nawa saat keduanya bersisian keluar kafe hendak pulang.Dany tertawa. “Udah, buat kamu aja. Buat kenang-kenangan. Oh, ya, masalah honormu, barusan sudah saya transfer.” Keduanya berhenti di halaman kafe. Tim Dany sudah ke mobil dulu.“Duh, jadi nggak enak. Kesannya jadi kayak malak. Atau nanti saya paketkan aja jaketnya setelah dicuci?”“Nggak usah, Nawa. Saya masih punya banyak stok jaket di rumah. Dikasih satu ke kamu nggak bikin saya kere kali.”Nawa tertawa.“Hai, Guys. Kali ini gue ada di sebuah kafe yang sedang hits di kota ini. Dan di sini gue ketemu sama konten kreator terkenal. Hai, Dan. Apa kabar?”
Nawa mengepalkan tangan. Ia siap menyembur Brama dengan serangan api amarah, tetapi suara ketukan di pintu terdengar dan membuatnya urung.“Bram, ini Mommy. Buka pintunya!”Pintu di ruangan Presdir memang didesain khusus. Jika ada yang berteriak dari dalam ketika pintu tertutup, tidak akan terdengar dari luar. Sementara bagian luar pintu diberi sensor suara hingga suara bisa terdengar dari dalam.Brama pun menekan remote dan pintu pun terbuka. Sementara Nawa memasukkan barang aneh yang tidak seharusnya ada di laci seorang Presdir tersebut ke dalam plastik, dijadikan satu dengan barang yang akan dibuang. Nawa akan mengambilnya lagi saat di luar nanti.“Mom.” Brama bangkit menyambut.Gahayu memeluk sang putra.“Mommy sehat?”“Sehat. Kamu?”“Ya. Mommy sendirian?”Gahayu mengurai pelukan. “Sama seseorang. Mommy mau membuat kejutan untuk kamu. Gimana kerja di sini? Betah?”“Hm. Mommy datang sama siapa? Bimbim?”“Bukan, tapi seseorang yang spesial. Sayang, masuk!”Pintu masih terbuka hingga
“Sir! Apa yang hendak Anda lakukan?” Nawa bergerak mundur ketika Brama sedikit membungkuk di hadapannya.“Menggotongmu, membawa ke rumah sakit.”“No! Jangan berlebihan! Ini nggak parah!” Nawa terus menolak.“Apa kamu dokter sampai tahu ini nggak parah? Nawa, itu tadi kopi panas. Kakimu melepuh!”Nawa mengangkat tangan. “Enggak. Saya cukup memberinya salep pasti sembuh. Dan satu lagi. Di pundak saya, ada nama pesantren, di kepala saya ada doa dan tirakat kiai saya. Jadi, jangan menyentuh saya sembarangan. Saya tidak suka dan saya tidak mau!”Brama berdecak. “Jangan sok bersih. Malam itu–““Jangan diungkit lagi! I-itu saya dalam kondisi yang entah. Kesurupan mungkin.” “Baiklah. Saya tidak akan menyentuhmu. Tapi kita harus tetap ke rumah sakit.”“No, Sir!”“Nawa, jangan keras kepala! Kalau kamu sampai sakit, saya juga yang repot nggak ada yang saya suruh-suruh. Kalau tetap menolak, saya gendong beneran kamu.”“Iya iya. Tapi saya bisa jalan sendiri.”“Oke. Sebentar.” Brama menghubungi Ya
Nawa terdiam. Harusnya malam ini ia mengamuk karena Brama jelas-jelas sudah membohongi dan membodohinya. Namun, permintaan Brama dengan nada memohon itu seperti dirasa diucapkan dengan tulus. Nawa tidak sampai hati memaki pria itu. “Saya menyamar karena ingin tahu siapa yang tulus dan masih bekerja secara bersih di Sunmond. Beberapa parasit utama sudah saya hempaskan dari kantor. Di sana tinggal yang bersih. Semoga begitu. Tapi ada satu bibit kotor yang suatu saat juga akan saya depak,” ujar Brama. “Siapa? Saya? Ayo depak saya.” Brama menyentil pelan kening Nawa. “Didepak ke pelaminan. Mau?” “Dih, ogah.” Brama tertawa. “Bisnis memang basic saya. Tapi saya lebih suka bisnis yang bekerja secara online, bukan perusahaan nyata dan besar seperti Sunmond. Sebenarnya hanya sedikit yang saya tahu tentang Sunmond, tapi tiap hari selalu saya pelajari. Apalagi ada kamu yang selalu membantu saya. Nawa, saya mohon. Kali ini saya mohon dengan sangat, lupakan perjanjian sebulan kita itu. Batalka