Selama sehari cuti, Nawa tidak melakukan apa pun di kamar kos-kosannya. Ia hanya menangis sampai matanya bengkak. Atau hanya rebahan dan kalau senggang ditemani Agung.
“Nggak kerja?” tanya abdi negara itu melalui panggilan video.
“Dikasih libur habis refreshing.” Nawa lagi-lagi berbohong.
“Sudah periksa, kan?” tanya Agung.
Nawa mengangguk.
“Mana coba lihat obatnya.”
“Gitu amat, sih? Mentang-mentang ngasih transferan.”
Agung tergelak. “Buat memastikan kalo transferannya tepat sasaran. Takutnya malah kamu gunakan CO keranjang orange atau keranjang kuning.”
“Emang boleh?”
Agung tergelak.
Nawa pun mengambil Paracet*mol, antibiotik, dan vitamin yang kemarin dibeli di Bali.
“Itu aja obatnya? Dikit amat.”
“Ya, karena memang aku nggak kenapa-napa. Emang dasar Mas aja yang lebay.”
“Bukan lebay, tapi buat memastikan kesehatanmu. Rontgen atau CT Scan lengkap juga gih.”
“Mas, jangan berlebihan.”
“Nawa–“
“Aku nggak apa-apa, beneran. Aku yang jatuh, aku yang tahu kondisi diriku sendiri. Jadi, jangan khawatir berlebihan. Oke?” Nawa benar-benar tidak menyangka kebohongannya sampai membuat Agung khawatir seperti itu.
Agung mengembuskan napas panjang. “Ya sudah terserah kamu. Tapi kalau kondisimu memburuk, cepat berobat.”
“Iya iya.”
Sementara di kantor, Tomi sang HRD tengah berhadapan dengan Brama.
“Sir, yakin dengan semua ini?”
“Yakin. Dan ingat, hanya kamu yang tahu kalau saya Brama anaknya Boby. Kalau sampai yang lain tahu, berarti kamu yang membocorkan.”
“Baik, Sir. Semoga kejanggalan keuangan dan pekerjaan tidak manusiawi di sini bisa Anda atasi. Jujur, saya tidak suka dengan kepemimpinan Pak Arbi. Sebentar lagi saya pensiun. Makanya sebelum saya pensiun dan perusahaan makin kacau, saya memberanikan diri lapor ke Mr. Boby dengan sedikit bukti yang saya miliki.”
Brama mengangguk-angguk.
“Mari ikut saya. Akan saya perkenalkan pada staf di bagian keuangan.”
“Oke. Di depan mereka, jangan panggil saya dengan sebutan sir.”
“Siap, Sir.”
Brama pun mengekor di belakang Tomi.
Tomi lantas memperkenalkan Brama menjadi bagian dari divisi keuangan karena memang kebetulan ada satu staf yang mengundurkan diri.
“Namanya Brama, karyawan baru yang menggantikan Lusi. Semoga kalian bisa bekerja sama dengannya,” tutur Tomi.
Beberapa staf lain termasuk Frengki menahan senyum.
“Siap, Pak.”
Mereka mengangguk, lantas menyalami Brama.
Sepeninggal Tomi, Frengki mendekati Brama.
“Nggak salah Pak Tomi menerima kamu? Tompelan, gigi hitam, berkacamata tebal. Yakin kamu menguasai masalah keuangan?”
Brama tersenyum. Ia memang menyamarkan diri dengan keadaan begitu buruk. Demi melancarkan aksinya, ia membuat KTP palsu dengan identitas baru agar Arbi tidak curiga. Toh KTP itu hanya digunakan di kalangan perusahaan. Setelah misinya menangkap mafia keuangan di perusahaan berhasil, ia akan segera membongkar jati dirinya yang asli.
“Mana tahu dia. Mungkin tahunya hanya buku diktat tebal yang isinya cara membuat wajah jadi tampan. Sampai-sampai kacamata kuda dipakai,” timpal yang lain.
Mereka tergelak.
“Berikan pada saya satu pekerjaan, agar kalian tahu saya ini tidak seharusnya kalian remehkan,” ujar Brama berani.
Frengki menuju kubikel miliknya, lalu melempar berkas pada Brama. “Selesaikan laporan keuangan itu. Kuberi waktu satu jam.”
Brama membukanya sekilas. “Setengah jam saya pastikan selesai.”
Frengki tersenyum miring. “Oke, jangan hanya menunjukkan kalau gigimu memang hitam, tapi buktikan juga otakmu itu sedikit encer.”
Brama hanya menyunggingkan bibir. Ia menuju kubikelnya dan melaksanakan pekerjaan pertama yang diberikan paksa oleh Frengki.
“Kalian kira aku ini pria culun yang dungu? Enak saja,” gumamnya.
Brama mulai mempelajari dan mengerjakan perintah di berkas tersebut pada PC di hadapan. Tiga puluh menit kemudian, ia bangkit.
“Selesai. Silakan diperiksa.” Brama menyerahkan laporan yang sudah selesai di-print.
Salah satu rekannya melihat dan hasil pekerjaan Brama tidak mengecewakan. Sementara Frengki menatap tidak suka.
“Good. Ujian pertamamu lulus. Kamu pelajari dulu yang lainnya di PC. Di situ sudah ada contoh mengerjakan keuangan perusahaan. Ingat, harus seperti yang ada di contoh.”
Brama mengangguk dan mulai mempelajari laporan keuangan bulan-bulan sebelumnya. Banyak sekali kejanggalan yang ditemukan. Mulai dari perencanaan, perancangan, dan laporan keluar masuk yang menurutnya tidak masuk akal.
“Ck, apa-apaan ini?” gumam pria itu.
Hari pertama, Brama dibuat kesal. Apalagi setumpuk berkas diberikan Frengki diletakkan di mejanya. Meskipun di Amerika Brama berkutat pada pembuatan aplikasi, ia sudah khatam dengan segala hal yang berbau keuangan. Tidak sulit baginya mengerjakan. Hanya saja, ia menandai siapa saja bibit karyawan toksik yang ada di sana.
Jam istirahat tiba. Brama yang sempat melupakan tujuan utamanya masuk perusahaan ini, mulai mencari apa yang diinginkan. Ia mulai berjalan-jalan santai di tiap divisi dan memeriksa kubikel.
“Eeh, siapa kamu?” tanya seorang staf.
“Saya Brama, karyawan baru.”
“Berani, ya, karyawan baru tapi masuk divisi lain?”
“Saya hanya melihat-lihat.”
“Astaga, karyawan baru tapi ditanya belagu amat.”
Brama hanya mengedikkan bahu. Ia lalu menuju divisi marketing dan memeriksa kubikel di sana. Nawa tetap tidak ada.
“Apa mungkin dia sedang di kantin?” gumam Brama.
Pria itu lalu menuju kantin. Sebagai putra sang CEO, tidak sulit baginya mencari tiap ruangan di sana karena memang sebelumnya pernah berkunjung di kantor tersebut.
Tiba di kantin, Brama mengedarkan pandang. Ia tetap tidak mendapati Nawa.
“Ke mana ini anak?”
Brama yang merasa lapar setelah dihajar habis-habisan oleh pekerjaan, memutuskan untuk memesan makan. Urusan Nawa, nanti bisa dicari lagi.
Sepiring soto dan segelas jeruk hangat sudah didapat Brama. Ia duduk di sebuah kursi dan mulai melahap makanan yang sebenarnya bukan seleranya.
“Nggak ada kamu kurang rame, Wa? Semoga lekas sembuh. Kira-kira besok udah bisa masuk apa belum?”
Brama sedikit mengerutkan kening saat wanita yang duduk di depannya menyebut nama ‘Wa’.
“Sar, lagi video call-an sama Nawa, ya?” Frengki datang, duduk tanpa permisi di samping Sari.
Uhuk!
Brama tersedak saat Frengki menyebut nama Nawa. Beruntung Frengki dan Sari tidak curiga.
“Wa, sudah periksa?” Frengki berlagak sok peduli.
“Sudah. Semoga dibuat istirahat dan minum obat lekas sehat lagi.” Nawa di seberang menjawab.
Brama berdiri, mengintip ke arah ponsel yang mereka buat video call. Di layar ponsel itu, tampak Nawa tengah meletakkan kepala di atas bantal. Posisi wanita yang memakai bergo warna army itu seperti tengkurap. Meski begitu, tetap terlihat cantik.
Brama menatap Nawa khawatir. “Sepertinya aku benar-benar sudah merusak gadis itu. Apa waktu itu kuperlakukan dia secara sadis? Sepertinya tidak?” Ia membatin.
“Wanita lemah, kita lihat saja nanti apa yang bisa kulakukan lagi untukmu. Menyuruhmu melayaniku lagi misalnya?” Brama menggeleng. Setelah disakiti dan dikhianati Elea, tidak sulit baginya menemukan permainan baru.
“Cari tahu di mana Nawa tinggal.” Brama mengirim pesan pada Yadi. Namun, pesan itu lekas dihapus lagi, tidak jadi dikirim.
Pria itu memilih bangkit dan membayar makanannya, lalu menemui Tomi untuk meminta alamat Nawa. Sebab dari biodata yang dibaca kemarin, alamat Nawa tidak di kota ini.
**
Sore harinya, pintu kos-kosan Nawa ada yang mengetuk. Begitu dibuka, ada seorang kurir yang mengirimkan paket.
“Saya nggak ngerasa beli sesuatu, loh, Mas,” tolak Nawa.
“Tapi di sini tertulis nama dan alamat Mbak. Diterima dulu, mungkin kiriman dari orang terdekat Mbak. Saya permisi.” Sang kurir pun berlalu.
Nawa menelisik paket berukuran lumayan besar tersebut. Tidak ada nama pengirim. Ia mulai berpikir mungkin itu dari Agung yang sengaja memberi kejutan. Lekas ia kembali masuk dan mengirim pesan pada abdi negara tersebut.
“Mas Agung ngirim aku paket?”
Belum dibaca.
“Mungkin iya, ini dari dia. Namanya namaku, alamat juga. Buka aja deh.” Rasa penasaran membuat Nawa cepat-cepat membuka paket itu. Begitu dibuka, ada banyak makanan ringan, vitamin, kerudung, baju, dan ada satu benda yang membuatnya langsung melempar peket tersebut.
“Testpack? Si-siapa yang udah ngirim paket ini?”
Tangan Nawa gemetar. Dadanya naik turun menormalkan keterkejutan.“Astagfirullah. Jangan-jangan ... pria asing itu yang mengirim paket ini?”Cepat-cepat Nawa membungkus kembali semua isi paketnya, lalu membuangnya ke tempat sampah luar kamar.Nawa kembali tersedu-sedu. Entah apa maksud pengirim paket itu, tetapi yang pasti hidupnya mulai sekarang tidak lagi tenang sama seperti dulu. Ia harus kuat dengan serangan teror yang mungkin akan kembali lagi.Sesak dada Nawa rasanya hingga kesulitan bernapas. Ia tidak tahu harus berbagi masalah ini dengan siapa. Jika berbagi pada sahabatnya, bisa saja nanti malah tambah runyam. Aibnya bisa menyebar. Namun, ketika memendam sendiri seperti ini, ia tidak kuat dengan tekanan demi tekanan yang ada.Nawa bukan wanita bebas yang mungkin jika melakukan z*na tidak merasa menyesal. Ia beda. Wanita itu terbiasa hidup dalam lingkungan pesantren, keluarga yang menekankan hal keagamaan, juga selalu berusaha menjaga diri. Sekali kecolongan, Nawa terus memikir
“Nawa!” pekik Frengki.Sama halnya dengan Frengki, Brama bergumam sangat lirih menyebut nama wanita ayu itu.Brama sejenak mematung. Ketika melihat Nawa, ingatannya tertuju pada malam panasnya bersama wanita itu. Nawa saat itu terlihat begitu seksi. Sekarang Nawa berpenampilan tertutup. Mata Brama mengabsen seluruh inci tubuh Nawa dari balik kacamata tebalnya.“Ada apa ini?” Nawa mendekat.“Oh, nggak ada apa-apa. Ini hanya membetulkan kemeja si Brama yang berantakan.” Frengki yang awalnya mencengkeram kerah kemeja Brama, ganti mengelus kerah itu.“Aku nggak buta, ya, Mas. Aku tahu kalo Mas Frengki sedang berlagak menjadi preman. Dan apa kamu karyawan baru?” Nawa menatap Brama.“Iya.” Brama mengedip, memastikan sudah memakai softlens agar Nawa tidak mengenali warna matanya.“Mas Frengki, jangan lagi, ya? Soalnya aku pernah ada di posisi dia yang di-bully pas awal-awal kerja. Rasanya tertekan. Harusnya Mas Frengki yang udah senior, ngasih contoh yang baik. Dibimbing, Mas, jangan disiksa
“Sebentar, aku ke kamar mandi dulu. Kebelet,” kilah Brama sambil masuk ke toilet.Nawa menatap punggung Brama sampai hilang dari pandangan.“Kalau sampai dia tadi lihat kalau tompel ini hanya tempelan, mati aku,” gumam Brama sambil membenahi lagi penunjang penampilan buruk rupanya itu.Gigi depan beberapa menghitam, warna mata hitam, dan tompel telah terpasang. Tinggal membubuhkan kacamata. Sempurna. Brama pun keluar kamar mandi dan sudah tidak mendapati Nawa di sana.“Syukurlah. Sepertinya sebentar lagi jam kerja dimulai lagi.”Nawa pergi dan tidak jadi menunggu Brama karena rekannya memanggil untuk melihat hasil pengambilan video tadi.“Aku kok kurang sreg sama hasilnya ya? Kita ubah konsep aja gimana? Jadi gini. Ada dua adegan, satu pasutri dari kalangan orang kaya, satunya dari pasutri orang biasa. Bagaimana cara mereka mencuci itu jelas beda. Orang kaya pakai mesin cuci dan yang pasti baju mereka hanya kotor kena keringat. Kalau orang biasa ada yang pakai mesin cuci, tapi kebanya
Wajah Nawa yang dari tadi sendu, tambah mendung. Ia belum yakin meneruskan keseriusan bersama Agung. Wanita itu sadar diri, tidak lagi suci.“Wa, kok kayak nggak seneng gitu?”Nawa berusaha menarik sudut bibirnya. “Seneng. Seneng, kok. Ini tuh ekspresi terkejut, Komandan.”“Alhamdulillah. Setelah aku pulang, seperti yang sudah kita rencanakan. Kita lamaran, lalu nikah.”Nawa menunduk, menyembunyikan sudut matanya yang sudah mengembun.“Berarti siap jadi Ibu Persit?”Nawa mengangguk lemah. Hati dan tindakannya tidak sinkron. Ia menghapus sudut matanya.“Mas, aku ini wanita buruk, nggak pantas buat Mas Agung. Aku banyak kurangnya. Yakin tetap mau sama aku?”“Apa pun kekuranganmu, aku terima. Aku pun punya banyak kekurangan, Wa.”Kali ini air mata Nawa kembali menitik. “Mas Agung pria baik, sangat baik. Makin ke sini, aku ngerasa nggak–““Apa ada pria lain? Maksudku, kamu sengaja mengatakan ini karena tidak mau serius sama aku?”Nawa menghapus air matanya. “Nggak ada. Sama sekali nggak a
Prang! Saking tidak konsentrasi mengaduk teh ditambah pertanyaan Heru, membuat Nawa memecahkan gelas dan mengenai kakinya. “Enggaklah, Pak. Aku selalu jaga diri, kok.” Nawa berusaha agar suaranya tidak terdengar grogi. “Suara apa itu tadi?” “Oh, itu tetangga kos. Nggak tahu kenapa.” Nawa terpejam. Akhir-akhir ini ia banyak sekali berbohong. “Alhamdulillah. Kamu anak Bapak satu-satunya, jadi Bapak sangat takut kalau kamu sampai terpengaruh pergaulan bebas. Apalagi kamu ada di kota besar dan jauh dari Bapak. Bapak suka ketar-ketir Hati-hati. Ya sudah, sana istirahat.” “Iya. Bapak juga hati-hati, jaga kesehatan.” “Pasti. Bapak tunggu kepulanganmu. Hari Minggu nanti pulang, ya? Bapak mau nagih oleh-olehmu dari Bali itu. Sudah hampir sebulan, tapi belum dikasih juga.” Nawa tertawa. “Iya, Bapak.” Telepon pun diakhiri setelah saling bertukar salam. Nawa terduduk di kursi. Ia memijat kening sambil terpejam. Hamil? Satu kata yang menjadi momok setelah kejadian nahas malam itu. Jika s
“A-apa? A-aku hamil?” Nawa memastikan. Ia mengubah posisi menjadi duduk.Brama celingukan, memastikan tidak ada yang mendengar percakapannya dengan Nawa.“Ya.”“Benarkah aku hamil?” Mata Nawa berembun.“Untuk apa aku bohong? Katakan, siapa yang harus bertanggung jawab dengan keadaanmu saat ini? Apa pacarmu itu?”Embun di mata Nawa turun. Setetes demi setetes berjatuhan. Remuk-redam hatinya mengetahui kenyataan ini.“Pe-pergilah, Mas. Aku ingin sendiri.”“Nawa, bukankah kita teman? Ayo, kita berbagi. Katakan, siapa yang harus aku temui agar ada yang bertanggung jawab? Aku yakin pasti pacarmu yang anggota TNI sialan itu.”“Kamu nggak tahu apa-apa. Jadi jangan ikut campur. Terima kasih karena sudah membawaku ke sini. Pergilah, bukankah kamu harus bekerja?”“Nawa, lihat aku! Aku akan membantumu. Percaya sama aku.”“Enggak! Aku ini kotor. Pergilah, Mas.” Nawa kian tersedu-sedu. Ia memukuli perutnya yang masih rata.“Stop, Nawa! Jangan lakukan ini.” Brama menahan tangan Nawa. “Dia nggak ber
Agung justru tertawa. “Wa, ulang tahunku masih lama. Jangan nge-prank gini. Aku nggak suka.”Nawa mengambil napas panjang lalu mengembuskan pelan. Ia menguatkan diri untuk mengakhiri hubungannya dengan Agung. Ada halangan berupa janin yang telah bersemayam di rahimnya.“Mas, aku serius. Maaf, aku nggak bisa melanjutkan hubungan kita menuju keseriusan. Aku nggak bisa. Kamu berhak dapat wanita yang jauh lebih baik dariku. Aku–“ Suara Nawa yang bergetar, terputus. Rasanya sulit melanjutkan kalimat.“Nawa, apa kamu salah minum obat?” Agung mencoba mengganti panggilan dengan panggilan video, tetapi Nawa enggan mengangkat.“Apa yang terjadi? Kenapa kamu ngelantur kayak gini? Ayo cerita,” tanya Agung. Ia mendengar suara isak tangis dari seberang.“Nggak ada apa-apa. Hanya saja, aku nggak siap berkomitmen. Carilah wanita lain."“Nggak masalah kalau kamu belum siap berkomitmen. Kita bisa menikah nanti. Bulan depan, tahun depan, atau depannya lagi. Atau lima tahun lagi. Asal kita punya status d
“Agung menjadi korban kerusuhan, Nduk,” ujar Heru.“Apa!” pekik Nawa. “Kejadiannya kapan, Pak? Apa parah?”“Kejadiannya tadi malam. Katanya, mendadak sekelompok orang menyerang pos tempat berjaga TNI. Agung sebenarnya tidak sedang bertugas, tapi dia datang untuk membantu rekan-rekannya. Rame diberitakan.”“Aku semalam masih ngobrol sama dia, lho, Pak. Tepatnya jam berapa kejadiannya?”“Bapak juga kurang tahu.”Nawa terpejam, menyandarkan kepalanya di sandaran kursi. “Aku ini sedang perjalanan pulang, Pak. Aku sakit, dikasih cuti. Dan aku memutuskan untuk pulang buat istirahat di rumah.”“Owalah mau pulang? Hati-hati di jalan. Sudah sampai mana?”“Masih di tol.”“Bapak tunggu. Perlu dijemput nggak? Kamu naik apa?”“Nggak usah dijemput. Aku naik taksi online. Ribet mau naik kendaraan umum karena badanku lemes banget, Pak.”“Ya sudah. Nanti kalau sampai rumah Bapak panggilkan tukang urut. Kecapian kamu.”“Ya, Pak.”“Hati-hati.”Telepon pun dimatikan setelah bertukar salam.Air mata Nawa