Share

6. Seperti Apa Reaksimu?

“Baiklah. Katakan di mana posisi yang kamu inginkan.” Boby tersenyum. Pria blasteran itu cukup lega sang putra mau menerima tawarannya.

“Marketing,” jawab Brana tanpa ragu.

“Kenapa harus di bagian marketing? Bram, masalah kita di bagian keuangan. Kalau kamu ingin mengungkap lingkaran hitam para tikus itu, masuk di bagian keuangan!”

“Daddy-mu benar, Bram. Masuklah ke bagian keuangan biar kamu lebih tahu detail bagaimana mereka mengelola dan melaporkan keuangan. Sebenarnya kami akan langsung menunjukmu sebagai Presdir di sana.” Gahayu, mommy-nya ikut bersuara.

“Aku sudah bilang, aku mau membantu asal aku dibebaskan memilih posisi.” Brama meradang.

“Bram, apa kata orang-orang kalau kamu ada di posisi rendah?” Gahayu kembali mengompori.

Seperti biasa, Brama masih tetap terlihat tenang.

Dari Bali, siang harinya Brama langsung bertolak menuju kota seribu industri, di mana pusat Sunmond Grup dan rumah orang tuanya berada.

Di Tangerang, letak pabrik Sunmond Food dan Sunmond Beauty. Sementara di Gresik letak pabrik Sunmond Care. Di Gresik inilah Nawa bekerja.

Sunmond Grup sebenarnya pabrik milik keluarga yang turun-temurun. Hanya saja, yang ditunjuk sebagai CEO saat ini adalah Boby karena sebagian besar saham dipegang olehnya. Itu pun juga setelah rapat para anggota pemilik saham hingga diputuskan Boby sebagai CEO.

“Bukankah niatku nanti mengusut? Jadi, aku akan menyamar,” ujar Brama tenang.

“Menyamar? Apa maksudmu?” Roby menatap putranya intens.

“Aku akan mengubah penampilan agar tidak ada yang tahu kalau aku adalah Brama, anak kalian. Katakan, siapa yang masih bersih di Sunmond Care?”

“Tomi, HRD di sana. Dia yang mengabarkan pada Daddy kalau perusahaan di sana sedang kacau. Pria itu juga sudah puluhan tahun mengabdi di perusahaan.”

“Presiden Direkturnya siapa?”

“Saudara sepupumu, Arbi.”

“Bilang ke Tomi kalau aku akan gabung di perusahaan. Tapi biarkan hanya dia yang tahu identitas asliku. Kalian memintaku masuk bagian keuangan, oke. Dan aku akan menyamar biar mereka bekerja seperti biasanya, nggak cari muka.”

Boby mengangguk. “Terserah bagaimana caramu. Dan ingat, Bram. Kalau kamu berhasil membersihkan tikus di sana, kembangkan Sunmond Care sebesar-besarnya karena nanti kamu yang akan mengambil alih kepemimpinan. Sekarang masih Arbi, tapi secepatnya harus berpindah ke tanganmu. Tanam saham yang banyak dan bekerjalah sebaik mungkin agar pemilik saham yakin menjadikanmu the next CEO menggantikan Daddy.”

Brama berdecak. “Anak Daddy tiga, pasti Daddy juga menanamkan hal yang sama pada yang lain. Itu artinya kami harus bersaing. Bisa-bisanya mengadu anak sendiri.”

Brama berjalan meninggalkan orang tuanya.

“Bram, kamu mau ke mana!” teriak Gahayu.

“Pulang.”

“Ini rumahmu. Sekali-kali tidurlah di sini.”

Ucapan sang mommy tidak diindahkan oleh Brama.

“Anak satu itu dari dulu paling susah diatur. Tidak seperti dua saudaranya,” gumam Boby.

“Setidaknya dia sudah mau ikut turun tangan mengatasi Sunmond. Ini sudah cukup. Nanti kalau merasa nyaman, dia pasti nggak mau lepas sama perusahaan.” Gahayu menenangkan.

“Kalau penyakit jantungku nggak sering kumat, sudah pasti aku atasi sendiri. Sayangnya tenagaku tidak seperti dulu. Terpaksa anak pembangkang itu yang kumintai tolong.”

“Sudahlah, yang penting kesehatanmu dulu. Masalah perusahaan, biar diurus anak-anak.”

Dari dulu, Boby dan Brama memang tidak akur. Boby yang ambisius, terus meminta anak-anaknya menjadi apa yang diinginkan. Sementara Brama tipe anak yang tidak mau diatur. Ia memiliki mimpi dan cita-cita sendiri dan memilih membangkang dari keinginan orang tuanya.

**

Rombongan Nawa akan kembali ke Gresik sore harinya. Nawa yang biasanya ceria, mendadak murung sejak kejadian semalam. Apalagi pria asing itu malah memberinya kenang-kenangan yang membuatnya muak.

“Wa, are you okey? Kuat naik pesawat?” tanya Sari saat masih di hotel.

Nawa mengangguk. “Kuat. Tapi untuk besok mungkin aku mau izin cuti sehari.”

“Periksa aja, ya?”

“Ya, besok aja kalo udah di Gresik.”

“Barangmu udah semua?”

“Udah.”

“Ayo turun. Yang lain mungkin udah nunggu di lobi.”

Nawa mengangguk. Keduanya lantas keluar dan turun ke lobi.

Sepanjang berjalan, Nawa menatap setiap inci bangunan itu. Di hotel tersebut, hidup Nawa berubah hanya dalam satu malam, semua tidak akan dilupakan.

“Grand Anna Bali, aku nggak akan melupakan hotel ini.” Nawa membatin. Air matanya kembali lolos, tetapi lekas dihapus kasar.

Nawa ingin menutup aib ini jika bisa. Namun, menjadi istri seorang prajurit biasanya ada tes keperawanan. Masihkah ia lolos tes itu? Agung pasti sangat kecewa dengannya jika terbukti ia tidak lagi gadis.

Tiba di lobi, semua karyawan sudah berkumpul. Tinggal menunggu manajer operasional. Mereka sengaja berangkat ke bandara lebih awal agar tidak ketinggalan pesawat.

“Wa, apa yang terjadi padamu semalam? Aku khawatir sama kamu.” Frengki langsung mendekat saat melihat Nawa.

“Khawatir kenapa?”

“Ya, khawatir katanya kamu dikabarkan hilang. Padahal semalam kita sempat ngobrol sebelum kamu pamit kembali ke kamar.”

“Hanya kecelakaan kecil. Tapi nggak apa-apa.” Nawa yang polos, tidak curiga sama sekali dengan Frengki.

“Syukurlah. Berarti semalam tidak terjadi apa-apa sama kamu? Nggak ada yang menyakitimu?”

“Maksudnya?”

“Ma-maksudnya selama kamu jatuh, nggak ada yang jahatin kamu.”

Nawa hanya menggeleng lemah.

“Percobaan pertama gagal. Masih ada kesempatan lain lagi. Untung kamu nggak jatuh ke tangan pria lain. Kamu harus jadi milikku, Nawa. Pers*tan dengan kabar yang katanya pacarmu seorang TNI.” Frengki membatin.

Nawa melakukan selfie yang menampakkan separuh wajahnya dengan latar tulisan nama hotel. Ini akan menjadi foto sebagai pengingat bahwa ia pernah melakukan dosa besar.

Setelah sang bos turun, Nawa dan rombongan pun bertolak menuju bandara, lalu terbang menuju bandara Juanda. Dari Juanda, mereka kembali melakukan perjalanan menuju Gresik. Tiba di kantor, mereka mende*ah lega karena liburan itu me-refrash otak mereka yang biasa bekerja keras. Nawa langsung kembali ke kos-kosan tidak jauh dari kantor dengan berjalan kaki seraya menggeret koper.

Malam harinya, Nawa menatap langit malam melalui jendela. Ia tidak bisa tidur padahal tubuhnya lumayan lelah. Untuk membuang bosan, Nawa mengambil ponsel, mengirim pesan pada Agung.

“Lagi dinas?”

Beberapa menit berlalu, tidak ada balasan. Nawa pun mengambil koper dan mengambil kaus couple yang dibelinya dari Bali.

“Biar kayak anak muda lain.” Caption itu menyertai foto dua kaus berwarna hitam lengan panjang.

Karena belum terbaca, Nawa menghubungi bapaknya saja.

“Assalamualaikum, Pak.”

“Waalaikumussalam. Bagaimana liburannya?”

“Alhamdulillah lancar. Bapak sehat, kan?”

“Sehat. Nduk, pas kamu di Bali, Ayah mimpi ada ayam jago mendatangi Ayah. Kata orang-orang, biasanya mimpi itu tanda akan ada pria datang ke rumah. Mungkin melamarmu.”

Nawa tertawa. “Mimpi hanya bunga tidur, Pak.”

“Tapi semoga saja iya dan kayaknya iya. Tadi Bapak ketemu sama Pak Lukman, katanya Agung sebentar lagi pulang dari Papua. Begitu Agung pulang, Pak Lukman sekeluarga ingin bersilaturahmi ke rumah kita untuk meresmikan hubungan kalian.”

Mata Nawa berkaca-kaca. “Bapak serius?”

“Iya. Bapak sangat bersyukur kamu bakal menjadi bagian keluarga mereka. Mereka itu sangat baik, santun. Meskipun orang berada, tapi tetap menerima kamu sebagai menantunya meski kita dari keluarga sederhana. Nduk, jaga dirimu baik-baik. Jangan sampai mengecewakan mereka.”

Kaca-kaca di mata Nawa pun pecah. Ia merasa gagal menjaga kehormatan, kesucian, dan harga dirinya. Bukankah ia sangat beruntung akan dipersunting seorang prajurit? Terlebih ia diterima baik oleh keluarga Agung. Hanya saja, musibah yang baru saja menimpa, membuatnya kerdil dan hina.

“Nduk, kamu nangis?”

“A-aku bahagia, Pak. Sangat bahagia.” Nawa berbohong.

“Bapak juga. Agung laki-laki yang baik, sholeh. Insyaallah kamu akan bahagia sama dia.”

“Aamiin, aamiin.” Nawa sesenggukan.

“Ya sudah, kamu istirahatlah. Pasti capek banget.”

“Iya. Aku ada oleh-oleh untuk Bapak. Kalau pulang ke rumah, nanti aku bawa. Atau mau dipaketkan?”

“Sepulangnya kamu saja. Ingat, Nduk. Jaga diri baik-baik.”

“Iya. Bapak juga harus jaga kesehatan.”

“Pasti. Bapak harus sehat sampai nanti menjadi wali nikahmu.”

Setelah mengobrol lama, panggilan dimatikan. Nawa kembali menangis.

“Allah, entah apa yang harus hamba lakukan dan katakan? Hamba takut, sangat takut karena telah mengecewakan banyak orang. Hamba harus apa? Haruskah menolak lamaran Mas Agung?”

Sementara di bawah langit Tangerang, Brama tengah menatap layar laptop yang menampilkan foto Nawa.

“Annawa Salsabila. Besok pagi aku akan terbang ke sana dan kita akan bertemu lagi. Kira-kira akan seperti apa reaksimu?”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status