"Apa yang ingin Mas katakan?" tanyaku pada Mas Candra.
"Mas cuma mau bilang, apa tidak sebaiknya kamu tinggal bersama Paman dan Bibi saja? Di sini kamu sendirian. Mas takut terjadi apa-apa denganmu jika hanya sendirian seperti ini!" ucapnya sambil memandangiku.
Permintaannya sama dengan Paman dan Bibi. Sama-sama memintaku untuk tinggal dengan Paman dan Bibi.
"Tidak, Mas! Aku tidak ingin tinggal dengan Paman dan Bibi. Aku ingin di sini. Aku merasa lebih nyaman di sini."
"Jika nanti tiba-tiba kamu ingin melahirkan bagaimana?"
"Tidak usah khawatir, Mas. Ada Bik Inah dan juga Pak Budi. Mereka bisa membantuku!"
Mas Candra menyandarkan punggungnya pada sandaran sofa. Dia menatapku dalam.
"Apa karena kamu masih sedih karena Yoga?" pertanyaannya membuatku menatapnya seketika.
"Apa maksud, Mas?"
"Mas pikir kamu masih sedih atas semua yang terjadi hingga tidak ingin Paman dan Bibi tahu semua itu."
"Benar, Mas. Aku tidak ing
Sedikit demi sedikit aku mampu mengobati luka hatiku akibat perlakuan Mas Yoga. Waktu yang ada kujalani dengan kebahagiaan. Mas Candra bertindak seakan menggantikan peran Mas Yoga dalam hidupku.Apapun yang aku butuhkan dengan cepat Mas Candra berikan. Tidak jarang dia yang mencarikan saat aku ngidam sesuatu. Aku merasa sedikit tenang. Aku punya tempat untuk berbagi. Itu semua aku dapatkan dari Mas Candra.Tiap hari tidak pernah sekalipun dia absen menanyakan keadaanku. Aku merasa bahagia mendapatkan perhatian darinya."Mas, hari ini aku mau periksa kandungan. Kandunganku sudah lebih dari delapan bulan. Aku ingin tahu keadaan calon anakku!" Mas Candra mendengarkan pembicaraanku melalui sambungan telpon."Jam berapa? Apa kamu sudah bikin janji sama dokter?" tanyanya."Sudah, Mas. Nanti jam sebelas siang. Mas bisa temenin aku?" aku berharap Mas Candra bisa menemaniku."Maaf, Riana. Mas ada persidangan jam segitu. Nggak bisa di undu
Mas Candra mengajakku menuju ruang pemeriksaan kandungan. Dia mengurus kembali jadwal pemeriksaan untukku. Karena aku sudah melewatkan jadwal pemeriksaan sebelumnya.Kami menunggu panggilan untuk di periksa."Mas, aku khawatir dengan keadaan Rindu. Dia terlihat tidak baik setelah operasi itu. Bagaimana jika terjadi sesuatu? Aku kasihan sekali pada anaknya!" ucapku dengan raut wajah khawatir.Mas Candra menggenggam erat jemariku. "Jangan terlalu di pikirkan. Semuanya akan baik-baik saja!" hiburnya.Aku menghela nafas berat. Rindu tak sadarkan diri setelah operasi itu. Aku selalu kepikiran anaknya. Ingin sekali menemui anak itu untuk mengecek keadaannya."Mas, kita ke ruangan bayi itu yok? Aku kepikiran dia!" ajakku berdiri dari dudukku.Dengan cepat Mas Candra menarik lagi lenganku agar kembali duduk."Nanti, setelah kita periksa kandunganmu, baru kita kesana!" jawabnya tak terima ajakank
Mas Candra memegangi pundakku dengan kuat. Aku sangat kaget mendengar kabar meninggalnya Rindu dari dokter yang merawatnya."Riana, yang kuat! Kita harus segera mengurus pemakaman Rindu!" ucap Mas Candra."Mas, aku bahkan tidak tahu dia punya keluarga lain atau bukan? Bagaimana jika mereka mencari Rindu? Kita harus mengabari keluarganya!""Nanti kita cari tahu setelah mengurus pemakamannya." Ucapan Mas Candra ada benarnya juga. Aku dan Mas Candra lalu mengurus pemakaman Rindu dengan cepat. Untung pihak rumah sakit memberikan bantuan sehingga kami tidak terlalu sulit mengurusnya.Aku menatapi gundukan merah kuburan Rindu. Sungguh aku tidak sedikitpun menyangka bahwa niatku ke rumah sakit untuk periksa kandungan membawaku bertemu dengannya.Dalam pelukanku tertidur pulas anak Rindu yang baru dia lahirkan. Aku menyentuh pipinya yang masih merah. Aku kasihan padanya. Sekecil ini dia sudah menjadi piatu. Sedangkan Ayahnya tidak tahu rimbanya
Aku sungguh merasa sangat kesakitan. Perutku rasanya sangat sakit. Aku bahkan tidak pernah membayangkan rasa sakit ketika melahirkan itu seperti ini.Pak Budi dan Bik Inah dengan cepat membawaku ke rumah sakit. Sampai di rumah sakit, dokter langsung memeriksa keadaan kandunganku."Baru bukaan dua, kamu yang kuat ya? Semoga bisa lahiran normal", ucap dokter itu sambil membuka sarung tangan setelah memeriksa kandunganku."Dok, harus berapa lama lagi aku menahan sakit? Rasanya sakit sekali!""Kita akan menunggu sampai pembukaannya sempurna. Baru setelah itu kamu bisa ngeden, sekarang jangan ngeden ya? Istigfar saja kalau rasa sakitnya muncul!" ucap dokter itu lagi."Sampai pembukaan berapa baru sempurna, Dok?" tanyaku lagi.Dokter tersenyum kecil padaku. Mungkin dia tahu bahwa ini adalah pengalaman pertama bagiku. Dan bodohnya aku, selama ini kurang mencari tahu informasi tentang melahirkan."Sampai pe
"Bi, ayo jawab? Dimana putriku? Kenapa Bibi hanya diam? Aku mohon! Bicaralah, Bi!" suaraku parau memaksa Bibi untuk bicara. Kenapa Paman dan Mas Candra belum datang juga? Apa anakku ada pada mereka?"Riana, kamu harus sabar dan kuat! Bibi yakin kamu anak yang kuat. Bibi harus menunggu Paman dan Candra dulu. Nanti, semua pertanyaanmu akan di jawab oleh mereka", bujuk Bibi padaku.Aku menatap raut wajah Bibi yang sembab. Dia seperti habis menangis seharian. Apa yang sebenarnya terjadi? Ada apa dengan putriku? Aku sangat cemas. Rasa sakit pada bekas jahitan cesar tak kuhiraukan. Aku harus mencari tahu keberadaan putriku. Aku berupaya untuk duduk. Tapi aku kesusahan. Bahkan untuk mereng ke kiripun aku tidak bisa."Bibi, aku mohon! Tolong bantu aku berdiri! Aku ingin mencari putriku!"Bibi semakin menangis mendengar ucapanku. Aku tambah ketakutan. Tidak biasanya Bibi bertindak seperti ini. Jarang sekali aku melihat Bibi menangis pasti hal besar sudah ter
"Mas, anterin aku ke makam putriku!" pintaku pada Mas Candra sebelum sampai ke rumah."Kamu belum pulih, Riana! Bagaimana jika nanti saja, jika keadaanmu sedikit lebih baik?" tolaknya."Mas, aku mohon! Jangan larang aku!""Baiklah!" Mas Candra dengan terpaksa membawaku ke tempat pemakaman putriku.Hatiku begitu perih, saat melangkahkan kaki mendekati pemakaman putriku."Ini, Riana! Ini pemakaman putrimu! Namanya Nadira Putri Yoga. Sesuai nama yang kamu pernah sebutkan pada mas!" ucap Mas Candra.Aku terduduk lesu di samping makam putriku. Memegangi pusara putriku dengan tangan bergetar."Nak, kenapa kamu tidak membiarkan mama memelukmu walau hanya sedetik saja?" aku menangis memeluk batu nisan pemakaman putriku. Hatiku sangat hancur. Ini kehilangan yang paling berat yang pernah aku alami.Masih terekam jelas dalam ingatanku betapa aktifnya dia saat dalam kandunganku. Dia adalah sumber kekuatanku. Sekarang semua itu
Sebulan sudah semenjak aku melahirkan. Sebulan juga aku berkabung atas meninggalnya putriku. Kulalui hari demi hari dengan keikhlasan yang susah payah aku bangun.Semua takdir yang aku hadapi ini terasa sedikit lebih bisa aku terima karena kehadiran Adam. Tiap kali aku rindu pada putriku, aku selalu memeluk erat Adam. Dia seperti penyemangat hidupku. Melalui dia juga, aku merasakan menjadi seorang Ibu seutuhnya.Dengan penuh kasih sayang aku memberikan dia ASI. Menyayanginya dengan setulus hatiku. Aku tak bisa membayangkan jika harus berpisah juga darinya. Mungkin aku bisa gila karenanya.Mas Candra sering datang ke rumahku hanya untuk memantau keadaanku dan Adam. Aku mulai merasa nyaman dan bahagia saat Mas Candra datang.Bahkan sering aku menelponnya hanya untuk bertanya saat dia tak bisa datang mengunjungiku. Perhatian dan kasih sayang yang Mas Candra berikan padaku sedikit banyaknya memberi aku kekuatan untuk menjalani kehidupanku.
Siang harinya, Mas Candra akhirnya menghubungiku juga."Apa apa, Riana? Panggilan telpon darimu banyak sekali sedari pagi?""Mas kemana? Kok susah aku hubungi?" tanyaku dengan sedikit heran."Mas ada persidangan tadi pagi. Jadi, nggak bisa jawab telpon. Ada apa?""Mas, Sakti datang ke rumah!" ucapku dengan sedih."Untuk apa dia datang ke sana? Apa dia membuat keributan?" tanya Mas Candra khawatir."Bukan, Mas. Dia mau mengambil Adam dariku!" Mataku berkabut karena menahan tangis. Aku tak sanggup jika dia mengambil Adam dariku."Sudah, kamu tenang dulu! Nanti sore mas akan datang kesana. Kamu jangan pikirkan itu dulu!" jawab Mas Candra berupaya menenangkanku."Baiklah, Mas!" tutupku.Aku meletakkan handphone di atas ranjang kamarku. Lalu kembali keluar menemui Adam.Aku sedikit tenang setelah bicara dengan Mas Candra. Aku yakin dia akan memecahkan semua masalahku ini. Aku sangat percaya padanya.